Membenahi KoperasiAhmad Subagyo ; Peneliti Koperasi Bank Dunia Kantor Jakarta |
KOMPAS, 12 Agustus 2014
PADA usia ke-67, koperasi Indonesia yang berkonsep kerakyatan seharusnya sudah mendunia ternyata masih menjadi pemain lokal dan itu pun kurang diperhitungkan. Seratus koperasi terbesar Indonesia yang diumumkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2012 belum ada yang tercatat sebagai koperasi besar dunia, apalagi go international. Sebuah bangsa yang memiliki saka guru perekonomian ”koperasi”, tetapi penduduk yang menjadi anggota koperasi hanya 14 persen (33,68 juta orang). Bandingkan dengan Singapura yang lebih dari 50 persen penduduk menjadi anggota koperasi (1,6 juta orang). Di Malaysia 6,78 juta orang (27 persen dari penduduk) menjadi anggota koperasi. Di Jepang satu dari tiga keluarga adalah anggota koperasi, India dengan 239 juta anggota koperasi, dan di Selandia Baru 40 persen dari penduduk dewasa menjadi anggota koperasi (ILO, 2012). Dari 100 koperasi terbesar di Indonesia, 90 persen adalah koperasi simpan pinjam (KSP/USP) dan sisanya baru koperasi produsen. Padahal, produk-produk multinasional yang berbasis koperasi di luar negeri telah membanjiri Indonesia, seperti Nestle dari koperasi susu di Swiss, ACE Hardware dari koperasi ritel USA, dan produk jasa keuangan seperti Rabo Bank dari Belanda dan MayBank dari Malaysia. Di Indonesia justru koperasi-koperasi menjadi besar dan eksis lantaran ditopang oleh unit simpan pinjamnya. Hak anggota Rata-rata usia koperasi besar kita berkisar 25-50 tahun. Namun, yang merisaukan adalah koperasi kita tidak menjamin keadilan bagi para anggotanya sendiri. Dengan sistem simpanan pokok dan simpanan wajib sebagai basis modal koperasi, dampaknya adalah nilai (value) perusahaan koperasi sebagai badan usaha yang berkembang tidak sepenuhnya bisa dinikmati pendirinya. Misal, koperasi yang didirikan oleh 20 orang dengan modal awal Rp 10 juta, setelah berjalan 25 tahun, nilai asetnya menjadi Rp 200 miliar. Lalu ada anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia. Apabila mengikuti regulasi yang ada saat ini, anggota tersebut hanya menerima Rp 500.000 dari simpanan pokok/wajib yang disetorkan, padahal dalam perspektif keuangan modal awal Rp 500.000 itu telah berkembang senilai Rp 10 miliar karena nilai total aset koperasi sudah menjadi Rp 200 miliar. Kontribusi anggota selama 25 tahun membesarkan koperasi pun hanya dihargai honor plus SHU. Lalu, nilai tambah Rp 10 miliar per anggota menjadi milik siapa? Hal ini harus segera diantisipasi karena ujung-ujungnya terjadi konflik kepemilikan aset koperasi dan indikasinya sudah mulai muncul. Hal ini terjadi karena uang yang disetorkan oleh anggota bukan sebagai modal, melainkan berupa simpanan sehingga tidak dapat berkembang seperti modal. Melihat kecenderungannya di Indonesia, pergeseran dari koperasi produsen ke koperasi simpan pinjam dewasa ini menjadi suatu keniscayaan. Koperasi simpan pinjam adalah salah satu institusi keuangan sehingga memiliki fungsi intermediari. Artinya, di satu sisi menjalankan fungsi pooling fund dan di sisi lain fungsi lending/financing. KSP akan menjadi besar ketika didukung oleh pooling fund yang kuat dan sebaliknya. Sumber pendanaan selalu berasal dari pemilik modal (perseorangan/perusahaan). Simpan pinjam Mengacu ke UU No 25/1992, simpanan pokok dan simpanan wajib cenderung nilainya kecil karena biasanya anggota koperasi adalah UMK sehingga hasil akumulasi simpanan pokok dan simpanan wajib sangat terbatas. Untuk mempercepat pertumbuhan, biasanya KSP/USP akan mencari daya dongkrak (leverage) berupa utang dengan berbagai variasinya. Sementara pooling fund berjalan, penyalurannya pun harus lancar. Karena jumlah anggota terbatas, dicarilah calon anggota sebanyak-banyaknya. Di sinilah terjadi pergeseran prinsip koperasi berdasarkan UU tersebut. Alasan KSP cukup masuk akal karena sebagai institusi bisnis selalu ingin mencapai skala ekonomis dengan cara meningkatkan omzet. Sementara omzet bisa naik jika nasabahnya terus bertambah sehingga pendapatannya dapat menutup seluruh biayanya, bahkan harus surplus (laba) untuk bertumbuh dan bertahan. Jelas dalam posisi seperti ini, pengguna jasa sebagian besar bukanlah pemilik (anggota) dan nilai tambah yang diperoleh koperasi akan mengalir ke pemilik modal (deposan/investor) dan pemilik dana lainnya, seperti bank dan lembaga keuangan lainnya. Lagi-lagi kita bertanya, apakah koperasi semacam ini yang kita idam-idamkan? Sejatinya, kita sedang membangun koperasi atau korporasi? Bagaimana regulasi akan mengaturnya? Apakah akan menyesuaikan diri dengan proses bisnis koperasi yang ada saat ini atau justru koperasi yang harus menyesuaikan diri dengan regulasi? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar