Jokowi dan Zaken Kabinet 2014-2019Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
SINAR HARAPAN, 12 Agustus 2014
Langkah Jokowi-JK membentuk kantor transisi pemerintahan guna merumuskan visi-misi selama kampanye ke dalam produk kebijakan dan membentuk tim formatur kabinet guna mencari figur tepat untuk mengisi posisi menteri adalah langkah inovatif. Hal tersebut disebabkan Jokowi sudah merevolusi tradisi formasi pengisian kabinet yang selama ini hanya seremonial dan transaksional berbasis oligarkis partai. Adanya partisipasi publik dalam memilih sosok menteri ideal lewat audiensi online yang digerakkan relawan pendukung juga langkah yang revolusioner. Publik secara langsung bisa memberikan masukan, sanggahan, maupun kritikan kepada presiden terkait track record para calon menteri ini. Ketiga langkah tersebut mengindikasikan, sekarang ini sedang dimulai era street level government, yakni pemerintahan yang dipilih dan dikontrol mekanisme publik secara langsung maupun tidak langsung. Kristalisasi dari berbagai langkah awal yang inovatif tersebut adalah terbentuknya kabinet presidensialisme yang tangguh ke depannya. Adanya peran partai politik (parpol) yang diminimalkan dalam pembentukan kabinet juga mengindikasikan kabinet 2014-2019 ini akan lebih berkarakter kabinet ekstra parlementer. Selama eskperimentasi demokrasi langsung sejak Pemilu 2004-2009, kita bisa melihat rancang bangun kabinet presidensialisme didominasi logika politik dagang sapi partai-partai koalisi. Adanya kondisi tersebut yang menjadikan pemerintahan presidensialisme menjadi tersandera dan terperangkap oligarki partai. Hal itulah yang menjadikan kabinet pemerintahan menjadi semi parlementer. Kuasa parpol lebih besar. Anasir Scott Mainwaring (1993) dalam Presidentialism, Multiparty, and Democracy, menunjukkan gejala pembentukan kabinet jika dikuasai logika transaksional parpol. Pertama, akan terjadi deadlock dalam pengajuan persetujuan undang-undang maupun produk kebijakan. Itu karena perbedaan koalisi partai antara legislatif dengan eksekutif. Kedua, koalisi antarpartai dalam tubuh kabinet berpotensi menimbulkan adanya friksi internal. Ketiga, munculnya polarisasi ideologi cukup kuat yang akhirnya menyandera kabinet beserta progam kebijakan yang akan dilaksanakan. Jika mengikuti pengalaman historis dan anasir Mainwaring tersebut, pilihan Jokowi membentuk zaken kabinet adalah pilihan rasional untuk menghindari adanya politik transaksional maupun politik dagang sapi. Namun, pilihan Jokowi untuk mendirikan zaken kabinet pada pemerintahan 2014-2019 untuk meminimalkan adanya pengaruh parpol koalisi dalam pembentukannya juga perlu melihat beberapa situasi dan kondisi. Pertama, zaken kabinet yang pernah diberlakukan di Indonesia membutuhkan adanya dukungan parpol kuat. Soekarno selama masa kepemerintahan Demokrasi Parlementer 1950-1959 telah beberapa kali gonta-ganti kabinet, mulai dari Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamijojo, Burhanuddin Harahap, hingga Djuanda. Pembentukan kabinet pada era tersebut merupakan bentuk kompromi antara logika teknokratis dan politis. Namun, porsi lebih mengutamakan pada asas profesionalitas. Tetap saja koalisi partai yang tidak stabil ditambah friksi di partai internal pengusung membuat kabinet-kabinet pada era tersebut jatuh bangun. Kedua, zaken kabinet terjadi pada era Soeharto yang dikenal dengan Kabinet Pembangunan. Para teknokrat banyak menduduki posisi penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti halnya Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Habibie, dan lain sebagainya yang memang sudah diplot untuk menjadi menteri. Konstelasi politik melalui parpol kemudian ditekan habis dengan lebih mengedepankan adanya stabilitas politik. Secara garis besar, memang zaken kabinet terpenuhi dengan stabilitas politik yang represif. Namun yang kurang adalah matinya artikulasi kepentingan publik dari bawah yang diajukan parpol. Kondisi tersebut yang menjadikan pemerintahan zaken kabinet berada di puncak menara gading, tetapi miskin aspirasi bawah. Jika melihat porsi pembentukan kabinet Jokowi-JK sangat didukung kekuatan relawan. Megawati sudah memandatkan pada Jokowi untuk membentuk koalisi ideal dalam pembagian kursi. Oleh karena itu, kepemimpinan preogratif Jokowi perlu ditegaskan dalam memilih menteri, baik dari unsur relawan maupun partai. Harus diakui dengan posisi sekarang ini, Jokowi sudah banyak dilobi partai-partai koalisi agar menitipkan kadernya menjadi menteri dengan alasan pamrih politik. Kondisi seperti itu merupakan bentuk keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Karena itu, visi Jokowi terhadap zaken kabinet sangatlah tergantung pada sikap Jokowi. Ini agar ia jangan sampai terseret logika pamrih transaksional koalisi partai dan juga perlu melihat sosok kredibel dari kaum relawan dan simpatisan di akar rumput. Jokowi perlu menegaskan posisinya sebagai kepala pemerintahan negara yang dipilih secara demokratis, bukan kepala pelayan kepentingan, baik itu koalisi partai maupun unsur relawan atau simpatisan yang kemudian mengharap balasan ketika Jokowi menang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar