Dilema Pendatang BaruKadir ; Bekerja di Badan Pusat Statistik |
KORAN TEMPO, 08 Agustus 2014
Selepas Lebaran, Jakarta selalu dibanjiri pendatang baru yang kepincut gemerlap Ibu Kota. Tahun ini, jumlah warga baru yang datang ke Jakarta bersama arus balik Lebaran diperhitungkan bakal mencapai 68 ribu orang. Sebanyak 60 persen di antaranya diyakini akan menetap secara resmi (Koran Tempo, 4 Agustus). Ibarat buah simalakama, arus pendatang baru tersebut selalu memunculkan dilema. Di satu sisi, migrasi ke Jakarta-karena dorongan ekonomi-untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik merupakan hak setiap orang, yang tentu saja tak boleh dihambat. Di sisi lain, kehadiran para pendatang baru tersebut justru menambah runyam berbagai persoalan sosial di Ibu Kota, seperti meningkatnya kemiskinan kota, kriminalitas, dan kekumuhan. Faktanya, para pendatang baru yang mengadu nasib ke Jakarta bersamaan dengan arus balik Lebaran umumnya berpendidikan rendah dan minim keahlian. Dengan kata lain, mereka sejatinya tidak diinginkan oleh pasar tenaga kerja di Ibu Kota yang lebih ditopang oleh sektor industri dan jasa. Tidak membikin heran, bila selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menunjukkan "resistansi" terhadap arus pendatang baru ke Ibu Kota. Hal ini tecermin dari penerapan operasi yustisi kependudukan yang kerap dilakukan secara intensif selepas Lebaran. Yang terbaru, resistansi tersebut tecermin dari penerapan perjanjian pidana untuk para pendatang baru yang terjaring razia masalah sosial, sebelum mereka dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Seperti halnya operasi yustisi, penerapan perjanjian pidana sebetulnya tetap saja tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya: kemiskinan. Sejatinya, arus urbanisasi ke Ibu Kota merupakan konsekuensi dari sulitnya merengkuh kesejahtaraan di desa. Karena itu, arus pendatang baru dalam jumlah besar selepas Lebaran ke Jakarta bakal terus berulang selama sektor pertanian-pedesaan masih menjadi pusat kemiskinan. Secara faktual, dari jumlah total penduduk miskin yang mencapai 28,28 juta orang pada Maret 2014, sebesar 63 persen di antaranya tinggal di desa. Mereka tidak hanya miskin secara ekonomi, karena pendapatan yang rendah, tapi juga kapabilitas (utamanya pendidikan). Tak bisa dibantah, sebagian besar pendatang baru Jakarta adalah warga pedesaan yang bergantung pada ekonomi usaha tani. Dan faktanya, kegiatan usaha tani di negeri ini selalu identik dengan hidup serba pas-pasan. Berdasarkan hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP-2013) yang dirilis BPS pada Juli lalu, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata hanya sebesar Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan. Rumusnya sederhana, bila desa tetap miskin dan tertinggal, arus pendatang baru Jakarta akan terus berlangsung dan sulit dibendung. Karena itu, perekonomian pedesaan harus dibangun. Salah satu caranya adalah dengan menggenjot aktivitas ekonomi di luar usaha tani (off-farm), seperti usaha kecil-menengah, perdagangan, dan jasa di desa. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan bagi penduduk pedesaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya bergantung pada ekonomi usaha tani (on-farm). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar