Kebaharian dan KemaritimanCharles Beraf ; Nelayan Lamalera, Sedang Belajar di University of the Philippines, Los Banos, Filipina |
KOMPAS, 23 Juli 2014
ARTIKEL Arif Satria, ”Revolusi Kebudayaan Bahari” (Kompas, 9/6/2014) menunjukkan bahwa revolusi kebudayaan bahari hanyalah sebuah strategi politik untuk mendongkrak kehidupan ekonomi dan berekologi masyarakat Indonesia. Benarkah demikian? Secara semantik, saya melihat ada kesimpangsiuran pemahaman atas arti maritim dan bahari, yang barangkali juga menjadi sebab mengapa revolusi kebudayaan menjadi terlampau sederhana, sekadar modus operandi di tengah entitas ekonomi dan ekologi. Pengertian maritim sesungguhnya paralel dengan urusan perdagangan (pelayaran), sedangkanbahari lebih bersangkut kait dengan kebudayaan, yang dalam istilah Kamus Umum Bahasa Indonesiadisebut lampau, dahulu kala. Saya memahami itu sebagai kebudayaan, dan dalam pengertian ini tidak lain obyeknya adalah laut. Karena itu, amat naif jika hal merevolusi kebudayaan bahari dikerangkai dengan urusan ekonomi kemaritiman, seperti perdagangan atau pelayaran. Patut dimafhumi bahwa laut dan kelautan sesungguhnya tidak sekadar persoalan maritim, tetapi mencerminkan kebudayaan. Laut dan kelautan di Indonesia tidak hanya menunjuk pada hal mata pencarian, tetapi terutama menunjuk pada weltanschauung, suatu cara memandang dunia dancollective mind masyarakat. Hal ini terlalu sering dilupakan, baik di ranah teoretis-akademis maupun dalam ranah praksis hidup kelautan. Akibatnya, laut dan kelautan dipandang sebelah mata; sekadar persoalan ekologis atau ekonomis. Lebih dari maritim Tanggal 29 Agustus 2007 Indonesia dan Jepang membangun kemitraan ekonomi dalam Indonesia Japan Economics Partnership Agreement (IJEPA). Bagi pemerintah Jepang dan Indonesia, IJEPA adalah babak baru kerja sama ekonomi yang aspeknya lebih luas daripada pengaturan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Secara khusus dalam sektor perikanan, kemitraan ini mendongkrak ekspor perikanan nasional dan pemenuhan kebutuhan ikan dalam negeri. Dalam data KKP dan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) per September 2010, disebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir pemanfaatan sumber daya ikan terus meningkat. Konsumsi ikan dalam negeri melonjak lebih dari 34 persen menjadi 30 kilogram per kapita per tahun. Ekspor perikanan melonjak menjadi 911.674 ton (2008) dari 854.329 ton (2007). Jika sektor perikanan masih tetap dalam jalur pro ekspor dan perluasan industri, keberlanjutan dunia perikanan kita bisa berakhir. Apalagi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan amat menyederhanakan dunia perikanan (kelautan) semata sebagai komoditas bisnis. UU tersebut menyebutkan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya, mulai dari pra produksi, produksi, pengelolaan, sampai pemasaran, dalam suatu sistem bisnis perikanan. Karena itu, laut pun secara sederhana dipandang sebagai arena bisnis (maritim). Tanpa disadari, penyederhanaan itu berdampak buruk, tidak hanya dalam soal keberlanjutan ekonomis, tetapi juga dalam hal keberlanjutan budaya masyarakat nelayan dan komunitas pesisir. Nilai-nilai budaya, seperti solidaritas dan persaudaraan, bisa tergerus. Filsuf J Baudrillard (1970) mengatakan, konsumerisme dalam cara apa pun bisa menggantikan norma sosial dan norma budaya sebagai mesin integrasi dan regulasi masyarakat. Belajar dari Lamalera Tentang kebudayaan laut, kita bisa melihat dan belajar kepada masyarakat nelayan tradisional di Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sudah berabad-abad lamanya, masyarakat nelayan Lamalera menghidupi tradisi tena laja (penangkapan ikan-ikan besar termasuk paus), bukan sekadar suatu aktivitas konsumtif, melainkan lebih dari itu telah menjadi aktivitas kultural, sosial, dan religius masyarakat Lamalera. Dalam tradisi tena laja, mereka membangun interaksi dan kohesi sosial antarsuku. Begitu pula daritena laja itu mereka hidup, bergantung dan membangun jejaring hidup dengan yang lain, membina relasi intersubyektif dengan siapa saja. Dalam hal pembagian hasil tangkapan, misalnya, siapa pun di Lamalera juga mendapat jatah, terutama para janda dan anak yatim. Ini sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan. Ketika agama Katolik masuk ke Lamalera tahun 1881, tradisi ini sama sekali tidak dihilangkan, tetapi justru diberi makna religius yang tinggi. Sebelum, selama, dan sesudah kegiatan penangkapan paus selalu diadakan misa lefa/laut, dengan doa dan pemberkatan dari pastor untuk memohon restu dan perlindungan Ama Lera Wulan Tana Ekan (sebutan untuk Allah). Melalui tradisi semacam itu, orang-orang Lamalera menemukan dan mendefinisikan identitas mereka di hadapan entitas sosial atau kultural tertentu. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital orang-orang Lamalera melanggengkan pengertian, makna, dan filosofi yang dianutnya. Dimensi spasial semacam itu menjadi alasan masyarakat Lamalera tetap memilih dan menghidupi cara ini. Laut adalah locus kultural, tempat mereka menghidupi dan menginternalisasi religiositas, solidaritas, dan kohesi sosial. Tentu amat disayangkan, jika demi kepentingan ekonomi bisnis semata, kebudayaan semacam itu harus tersingkir atau sekedar ”pertunjukan” di tangan pejabat publik. Di tengah globalisasi, mempertimbangkan sisi lain laut dan kelautan sebagai arena budaya bahari adalah hal yang urgen. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar