Di Balik Fasilitas Mantan PresidenUbed Bagus Razali ; Asisten Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Jawa Timur |
KOMPAS, 22 Juli 2014
MENJELANG akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah peraturan penyediaan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden. Perubahan itu kemudian dituangkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 88 Tahun 2007 tentang Pengadaan dan Standar Rumah bagi Mantan Presiden dan Wakil Presiden. Peraturan ini merupakan hasil revisi (perubahan) dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pengadaan Rumah bagi Mantan Presiden dan Wakil Presiden. Sebelumnya, Presiden juga menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2013 mengenai Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, Mantan Presiden dan Wakil Presiden Beserta Keluarganya, dan Tamu Negara Setingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Peraturan tersebut kemudian membawa dampak pada lahirnya Peraturan Panglima TNI Nomor 37 Tahun 2013 tentang Pengesahan Validasi Organisasi dan Tugas Pasukan Pengamanan Presiden atau yang disebut Paspampres, selain juga pembentukan Paspampres Grup D yang sedikitnya berjumlah 28 orang untuk mengawal mantan presiden dan wakil presiden. Kontroversi Namun, kebijakan yang dilakukan Presiden pada ”last minute” tersebut mengundang reaksi keras dari masyarakat. Sebab, kedua fasilitas yang akan diperuntukkan bagi mantan presiden dan wakil presiden berupa pengamanan dan pengadaan rumah ini dinilai sangat berlebihan serta tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang sampai saat ini belum memiliki rumah. Terlebih lagi dalam perpres tersebut tidak diatur mengenai batasan anggaran untuk pengadaan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden sehingga berapa pun harganya pasti akan dibeli negara. Hal itu tentu saja bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1) yang menyatakan, ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”. Penghormatan yang berlebihan terhadap mantan presiden dan wakil presiden merupakan sebuah ironi. Sebab, sangat tidak tepat apabila fasilitas yang berlebihan itu diartikan sebagai bentuk penghormatan dan diberikan ketika masih ada keluarga para pahlawan kemerdekaan ataupun atlet yang sebelumnya telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional yang hidup menderita. Sebagai contoh yang terjadi pada 2010, yaitu dua janda pahlawan dari eks TNI Brigade XVII Tentara Pelajar (Alm Arie Susanto) yang bernama Soetarti dan Rusmini, harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur karena dianggap menyerobot rumah milik salah satu perusahaan BUMN, Pegadaian. Padahal, rumah yang sebelumnya telah dihuni Soetarti dan Rusmini itu merupakan rumah negara golongan 3. Keberadaan rumah negara golongan 3 itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara. Lebih dari cukup Selama ini, negara sudah menghormati pemimpinnya dengan memberikan fasilitas yang lebih dari cukup. Salah satu contohnya ialah gaji presiden Indonesia yang saat ini berada pada urutan tertinggi ketiga di dunia dengan total sebesar 124.171 dollar AS atau setara dengan Rp 1,12 miliar per tahun. Gaji presiden Perancis dan Amerika Serikat hanya menempati posisi ketujuh dan kedelapan dalam daftar peringkat gaji tertinggi yang diperoleh kepala negara di dunia (Tempo, 22/1/2011). Belum lagi uang pensiun yang akan diterima mantan presiden sebesar Rp 30,24 juta per bulan dan wakil presiden sebesar Rp 20,16 juta per bulan. Dengan pendapatan sebesar itu, tentu mantan presiden dan wakil presiden pasti mampu membeli rumah yang layak tanpa harus disediakan oleh negara ketika tidak lagi menjabat sebagai presiden ataupun wakil presiden. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar