Tonggak Sejarah Baru IndonesiaIkrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 24 Juli 2014
PENANTIAN itu berakhir sudah. Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, Selasa (22/7/2014) malam, mengumumkan hasil pemilihan umum presiden yang dimenangi pasangan nomor urut 2, Ir H Joko Widodo dan Drs HM Jusuf Kalla. Kemenangan Jokowi-JK merupakan tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia karena untuk pertama kalinya seorang presiden terpilih meniti karier politiknya dari bawah, yaitu dari Wali Kota Solo, meningkat menjadi Gubernur DKI Jakarta, kemudian maju sebagai capres, dan terpilih menjadi presiden ke-7 Republik Indonesia. Ini juga tonggak sejarah baru bagi Indonesia karena seseorang yang pernah menduduki jabatan wakil presiden pada 2004-2009, Jusuf Kalla, terpilih kembali menjadi Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Penulis pernah menulis di harian ini sejak akhir 2013 bahwa Jokowi adalah capres paling tepat yang harus diusung oleh PDI Perjuangan dan cawapres yang paling cocok mendampingi Jokowi adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pasangan ini kemungkinan besar akan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019 pada Pilpres 9 Juli 2014. Kemenangan Jokowi-JK sekali lagi menunjukkan bahwa individu calon dan bukan asal partai lebih menentukan pilihan rakyat. Banyak sedikitnya partai politik yang mendukung pasangan capres dan cawapres bukanlah faktor penentu kemenangan. Berkoalisi dengan rakyat terbukti lebih menggelorakan semangat kesukarelaan (volunterisme) ketimbang berkoalisi dengan elite politik yang gemar memobilisasi rakyat. Kalimat ”Jokowi-JK adalah Kita” menunjukkan betapa pasangan ini ingin mempersonifikasikan diri sebagai bagian dari rakyat kebanyakan. Catatan penting lain adalah, Jusuf Kalla bukanlah pelengkap penyerta dalam Pilpres 2014 ini. Sumbangan suara yang diberikannya amat bermakna bagi kemenangan pasangan ini. Meski pasangan ini kalah di Provinsi Aceh, perolehan suara 913.309 (45,61 persen) merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagi pasangan ini. Di Aceh, Jusuf Kalla masih dikenang sebagai tokoh bangsa yang menyelesaikan persoalan separatisme di Aceh dengan elegan, adil, damai, dan bermartabat. Di hampir semua provinsi di Sulawesi, kecuali Gorontalo, pasangan Jokowi-JK menjadi pemenang. Di Kepulauan Riau, Kalimantan, Maluku, Papua Barat, dan Papua yang ada warga Bugis, Buton, dan Makassar (BBM), suara untuk pasangan ini juga sangat signifikan. Didera berbagai kampanye hitam yang berbau suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) serta isu yang sengaja diembuskan bahwa Jokowi keturunan Tionghoa, ayahnya dari Singapura, beragama Katolik, dan bahkan ayahnya aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI), elektabilitas Jokowi sempat merosot tajam. Hal ini ditambah lagi dengan dampak kampanye hitam yang disiarkan tabloid Obor Rakyat yang dikelola Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seminggu menjelang hari pemilihan, elektabilitas Jokowi-JK sempat stagnan, sementara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa semakin menaik. Situasi ini yang menyebabkan seorang pakar komunikasi politik UI memperkirakan bahwa pasangan yang elektabilitasnya stagnan akan kalah dalam pilpres dari pasangan lawan yang elektabilitasnya meningkat drastis. Pembalikan tren penurunan dan stagnasi elektabilitas ini terjadi lima hari sebelum hari-H. Sedikitnya ada beberapa pemicu pembalikan ini, di antaranya pernyataan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fachri Hamzah, yang menyebut usulan Jokowi soal penentuan 1 Muharam sebagai hari santri adalah ”sinting”. Komentar ini diyakini membalikkan dukungan sebagian kaum nahdliyin dari Prabowo-Hatta menjadi ke Jokowi-JK. Tagar (hashtag) yang ditulis artis Sherina yang berbunyi ”Akhirnya Pilih Jokowi” juga banyak berpengaruh terhadap pengikutnya yang mencapai 8,5 juta remaja. Selain itu, Konser Musik Dua Jari yang dimotori grup band Slank dan melibatkan berbagai artis sukarelawan Jokowi di Gelora Bung Karno pada 5 Juli 2014—dihadiri lebih dari 50.000 orang—juga membuat tak sedikit pemilih Jakarta berbalik mendukung Jokowi-JK. Kepergian Jokowi dan keluarga beribadah umrah juga membantu meyakinkan pemilih bahwa Jokowi seorang Muslim. Kemenangan rakyat Kemenangan Jokowi-JK bukan hanya kemenangan pasangan tersebut dan para pendukungnya, melainkan juga kemenangan seluruh rakyat. Pilpres 2014 telah berjalan secara damai, adil, jujur, dan inklusif walau masih ada kekurangan di sana-sini. Kalaupun ada kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur di beberapa daerah pemilihan, kecurangan pemilu dapat ditekan karena rakyat bukan hanya aktif berpartisipasi memberikan suaranya, melainkan juga menjaga proses penghitungan suara. Rakyat Indonesia yang tinggal di dalam dan luar negeri begitu bergairah dalam partisipasi politik mereka. Satu hal yang disesalkan—seperti juga terjadi pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009—adalah pasangan yang kalah tidak mau membuat pidato kekalahan. Bahkan, ada instruksi agar para saksi mereka yang berada di KPU saat rekapitulasi suara nasional meninggalkan acara yang sangat penting itu karena tuntutan untuk pemungutan suara ulang di 5.802 tempat pemungutan suara di DKI Jakarta tidak mendapatkan tanggapan positif dari KPU dan Bawaslu. Hatta Rajasa memilih tidak hadir saat Prabowo berpidato menolak proses rekapitulasi nasional yang dilaksanakan KPU. Hatta dan Partai Amanat Nasional sendiri tampaknya sudah dapat menerima kekalahan pasangan Prabowo-Hatta. Pilpres 2014 telah mengembalikan semangat kegotongroyongan dan kesukarelaan rakyat dalam partisipasi politik. Dinamika politik Pilpres 2014 juga menumbuhkan kelompok masyarakat madani yang semakin kuat yang dulu terdominasi oleh keinginan untuk masuk partai politik. Ajakan Jokowi sebagai presiden terpilih pada saat pidato kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa agar rakyat dan segenap bangsa menyatu kembali untuk membangun negara dan bangsa Indonesia sangat tepat. Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Pluralisme adalah suatu keniscayaan. Namun, persatuan Indonesia harus tetap dijaga dan ditumbuhkembangkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar