Urgensi Impor BerasToto Subandriyo ; Peminat Masalah Sosial Ekonomi |
KOMPAS, 21 Juli 2014
POLEMIK tentang rencana pemerintah mengimpor beras mencuat ke wacana publik beberapa hari terakhir. Rencana itu mengemuka setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data angka ramalan I produksi padi tahun 2014 yang diperkirakan 69,87 juta ton gabah kering giling atau turun 1,41 juta ton (1,98 persen) dibandingkan dengan tahun 2013. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.310 hektar dan produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektar. Rencana impor beras juga dipicu peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang memprediksi fenomena El Nino akan melanda Indonesia. Seperti telah diketahui bersama, awal tahun ini BMKG telah mengingatkan pada tahun ini akan terjadi musim kering cukup ekstrem dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Perilaku iklim yang menyangkut intensitas dan distribusi hujan saat ini memang sangat sulit diprediksi. Meskipun negara kita telah berulang kali mengalami fenomena alam El Nino, kemampuan untuk mendeteksi secara dini fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi ramalan baru dapat diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh fenomena alam tersebut sering terlambat. Saat terjadi kemarau panjang akibat El Nino pada 1997-1998, pemerintah terlambat mengantisipasi fenomena tersebut. Hal itu terjadi karena saat itu kondisi suhu sosial politik dalam negeri tengah mencapai titik kulminasi. Meski terlambat, berbagai upaya diambil, termasuk impor beras besar-besaran. Namun, upaya itu tidak mampu menyelamatkan keadaan. Pemerintah Orde Baru harus membayar mahal keterlambatan antisipasi tersebut. Rezim powerful yang 32 tahun berkuasa itu tumbang. Populis dan sensitif Rupanya, bencana kekeringan yang disebabkan fenomena alam El Nino pada 1997, yang dampaknya berimbas pada penyediaan pangan pada 1998, telah menyisakan ”trauma” di benak para penentu kebijakan di negeri ini. Pada tahun tersebut, negara kita mengukir rekor impor beras terbesar sepanjang sejarah, mencapai lebih dari 5 juta ton. Pengalaman traumatis itu juga membuat para penentu kebijakan negeri ini mengambil langkah antisipatif yang cenderung ke arah project oriented. Secara kasatmata, saat ini situasinya seperti ungkapan Jawa, ”rindik asu digitik”, begitu mendapat peringatan BMKG tentang kemungkinan terjadinya El Nino dan prediksi BPS tentang penurunan produksi padi tahun ini, pemerintah bergerak cepat. Kementerian Perdagangan menjadikan dua isu itu sebagai justifikasi untuk melakukan impor beras meski panen padi masih berlangsung di beberapa daerah dan curah hujan masih cukup tinggi. Isu El Nino adalah isu sangat populis dan sensitif karena berbagai kepentingan dapat masuk di dalamnya, termasuk kepentingan negara-negara maju untuk lebih menancapkan pengaruhnya. Berdasarkan laporan South East Asia Council for Food Security and Fair Trade, sebuah koalisi LSM internasional, pada kejadian El Nino 1997 diduga ada konspirasi internasional yang menciptakan kesan di Indonesia terjadi kekurangan pangan. Isu El Nino dan bencana kekeringan digambarkan sebagai kondisi yang sangat dramatis. Pada saat bersamaan, menurut laporan pemantauan stasiun percobaan di Louisiana dan Texas, AS, sedang terjadi panen raya. Padahal, kenyataannya tidak separah yang digambarkan. Memang terjadi kekeringan, tetapi tidak sampai pada tingkat kelaparan. Kondisi tersebut sengaja diciptakan dan dibesar-besarkan sehingga produsen pangan dan lembaga internasional dapat masuk ke Indonesia. Di samping itu, menurut sinyalemen, memang ada semacam strategi besar yang mengondisikan Indonesia dan negara Asia Tenggara untuk bergantung pada produk pertanian negara-negara besar. AS merupakan eksportir beras terbesar, yaitu 40 persen dari total beras yang diekspor di dunia, mengalahkan Thailand (30 persen) dan Vietnam (20 persen). Beras AS tidak kurang dari 10 juta ton yang dapat dilempar ke pasar dunia. Dengan menebar isu semacam El Nino dan bencana kekeringan, negara itu dapat melempar beras ke negara-negara berkembang, baik secara bilateral maupun melalui Program Pangan Dunia PBB (WFP). Terburu-buru Menurut hemat penulis, keputusan pemerintah yang bersikukuh segera mengimpor beras belum ada urgensinya. Saat ini, meski sudah memasuki bulan Juli, curah hujan di beberapa daerah masih cukup tinggi, panen padi juga masih berlangsung. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah melalui Perum Bulog lebih menekankan pada upaya optimalisasi pengadaan gabah/beras agar tercapai cadangan beras 2 juta ton pada akhir tahun. Jika nominal itu benar-benar tidak tercapai, barulah impor beras dapat dilakukan pada triwulan akhir 2014. Sepertinya ada yang perlu diluruskan dalam paradigma ketahanan pangan negeri ini. Ketahanan pangan selalu ditumpukan pada ketersediaan beras. Jika ada defisit beras sedikit saja, seolah-olah dunia mau kiamat. Padahal, negeri ini sangat kaya varian bahan pangan sumber karbohidrat yang dapat dijadikan sebagai substitusi beras, seperti ubi jalar, jagung, singkong, ketela, hermada, kentang, pisang, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Kita menyadari bahwa pekerjaan rumah di sektor pertanian dan ketahanan pangan negeri ini masih jauh dari selesai. Memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan bangsa merupakan upaya yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan harus dilakukan secara serius oleh presiden-wakil presiden terpilih nanti. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengingatkan bahwa negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak akan pernah dapat membuat rakyatnya sejahtera selama kebutuhan pangan selalu diimpor. Kebijakan panen beras di pelabuhan (impor) semangatnya perburuan rente. Sementara panen padi di sawah semangatnya adalah nasionalisme dan kedaulatan pangan bangsa. Kini, sudah saatnya kegiatan importasi bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi pangan bangsa secara berkelanjutan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar