Berpuasa   Lahir BatinMohamad Sobary  ;     Esais, Anggota Pengurus   Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi  |  
KORAN SINDO,  21 Juli 2014
|    Berpuasa itu hidup dalam pencegahan dan pembatasan. Kita sibuk   mencegah keinginan agar kita yang menjadi ”raja” dan keinginan kita   kendalikan.  Berpuasa juga berarti bahwa kita sibuk membuat   pembatasan-pembatasan. Apa yang boleh dilakukan pada bulan-bulan lain   dilarang pada bulan puasa. Apa yang halal pada bulan-bulan lain haram pada   bulan puasa. Kita tak mengeluh menghadapi pembatasan. Kita sibuk membuat   batasbatas terhadap diri kita yang boleh jadi tak mengenal batas. Kemampuan   membatasi diri itu tanda bahwa kita berkuasa dan bahwa diri kita tak dikuasai   keinginan dan nafsu-nafsu yang cenderung tak pernah merasa cukup. Berpuasa   mengajarkan apa yang cukup itu betulbetul cukup.  Di dalam kebudayaan Jawa, terutama Jawa zaman dahulu, Jawa   ortodoks, Jawa asli, dan tak terpengaruh warna-warni kebudayaan lain,   berpuasa itu menjadi kebajikan sosial, sekaligus keutamaan moral, yang   disepakati di dalam masyarakat, menjadi konsensus bersama tanpa dipaksakan.   Mereka yang tak pernah bisa melakukannya merasa malu secara sosial, malu pada   yang bisa melakukannya, dan malu pada orang banyak. Ada sejenis asketisme   yang berhubungan dengan dunia lain, mungkin seperti disebut Weber dengan nama   ”other worldly ascetism”, sejenis kesalehan langit, yang mengesankan bahwa   warna religious dalam budaya begitu kuat.  Tapi, sebutan kesalehan langit mungkin menjadi tidak terlalu   tepat karena kesalehan-kesalehan dan cara hidup yang penuh pembatasan diri   itu–Ben Anderson menyebutnya usaha ”mengecilkan diri”–pada kenyataannya   menjadi begitu jelas ditujukan untuk ”membesarkan diri”. Puasa di dalam   kebudayaan Jawa lebih berat dibandingkan dengan puasa yang kita kenal dalam   Islam. Makna ”cegah dahar lawan guling” , mencegah makan dan tidur, dalam   pelaksanaannya sungguh tidak mudah, tak semudah mengidungkannya ketika ajaran   itu baru berupa kidung ”kinanthi” yang enak dinyanyikan.  Mencegah atau membatasi makan mungkin tak menjadi masalah.   Tetapi, mencegah tidur jauh lebih berat. Apalagi bila harus dilakukan dalam   tiga hari tiga malam atau tujuh hari tujuh malam, bahkan ada yang sampai   mencapai empat puluh hari empat puluh malam, sebagaimana dibakukan di dalam   tradisi asketisme yang sekarang barangkali sudah punah dan ditinggalkan   orang.  Asketisme Jawa bukan hanya ”cegah   dahar lawan guling” tadi. Dalam hidup sehari-hari, asketisme mengajarkan   agar kita selalu tampil bersahaja, hidup sederhana, menjauhi kemewahan dan   apa yang glamor. Kita diajarkan ”manganggoa   sawatawis”, berpakaian sederhana, yang mengesankan bersahabat, dan tidak   sombong pada siapa pun. Kecuali itu kita juga diminta ”ojo pijer   sukan-sukan”, agar menjauhi hidup berfoya-foya, pesta-pesta meriah,   alasannya: ”olo wateke wong suko” senangsenang itu jelek karena ”nyudo   prayitnaning batin” batin menjadi lalai akan kewajiban mengabdi atau   beribadat pada Tuhan.  Senang-senang tak memberi dukungan, bahkan menghalangi kehendak   jiwa untuk hidup dalam asketisme yang mulia itu. Bersenang-senang atau   berfoya-foya itu bukan hanya semata-mata pemborosan, melainkan juga merusak   jiwa. Pemerintah Orde Baru pernah menyadari bahwa korupsi sudah terlalu   merajalela dan para pejabat hidup kelewat mewah. Istri-istri mereka yang   sombong itu menjadi lebih sombong karena ikut berkuasa. Para istri itu juga   kelewat sering belanja secara berlebihan di luar negeri dan minta tiket   gratis pada Garuda.  Selebihnya mereka menyelenggarakan pesta-pesta perkawinan buat   anak mereka dengan menghambur-hamburkan uang yang tak diragukan lagi uang   negara ikut ”hanyut” ke dalamnya. Pejabat yang berpesta itu sudah– setidaknya   sebagian– menggunakan uang negara dan para pejabat lain yang menyumbang pun   tak mustahil menyumbang dengan menggunakan dana negara, dari apa yang namanya   dana taktis, dana tak terduga, dan sebutan lain, yang mereka bikin sendiri   untuk menghalalkan korupsi yang mereka tradisikan sebagaisesuatuyangtakperlu   dicela, apalagi dikutuk.  Bagaimana ajaran semulia itu tak bisa dilaksanakan dalam hidup   untuk mewujudkan kebajikan langit di bumi ini? Mengapa ada jarak begitu jauh   antara ajaran dan tindakan? Mengapa kemunafikan dipelihara dengan sebaik-baiknya,   melalui anjuran-anjuran ”hidup sederhana”, yang digembar-gemborkan pemerintah   melalui media massa, tetapi diam-diam dilanggar di dalam kehidupan dunia   hitam yang terlindung dari pandangan hukum dan penegak hukum?  Tokoh-tokoh dunia rohani berteriak-teriak dan mengutuk tindakan   itu dari rumah ibadah. Tapi, apa artinya teriakan dari sana, yang berhenti   pada teriakan, tanpa tindakan hukum dan penegakan hukum secara nyata? Dari   dulu kemunafikan kita memang menonjol. Kita berbicara agama, moral,   kemanusiaan, dan keadilan, tapi tindakan kita melawan secara frontal semua   dalil rohaniah itu. Itu dahulu. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari sejarah   moralitas sekaligus sejarah politik yang munafik dalam rezim Orde Baru yang   otoriter.  Reformasi tampak terburu-buru ingin menutup semua itu dari   ingatan dan tak hendak menjadikannya kenangan. Ada pula yang sok bijaksana   yang menyarankan biarlah yang lalu berlalu. Jangan lagi kita melihat ke   belakang. Kita diminta melihat hanya ke depan, membaca prospek kehidupan kita   yang begitu lama terkoyak-koyak kemunafikan dan keserakahan manusia akan   harta benda dan kekuasaan. Ada pula yang menambahkan unsur wanita di dalam   tiga ”ta” yang terkenal: harta, tahta, wanita. Ini pun buatan   mereka sendiri, yang segera mereka langgar dengan terang-terangan.  Reformasi, dengan segenap semangat, hendak membikin hancur luluh   semua itu dalam masa pendek. Apa hasilnya? Keadaan kita lebih baik karena ada   bukti-bukti nyata bahwa saat ini kehidupan politik didominasi oleh begitu   banyak partai politik Islam? Kita lebih saleh dan lebih mampu berpuasa secara   khusyuk, tulus, dan ikhlas, hanya semata kepada Allah karena tokoh-tokoh kita   di parlemen, ”berapa” pun ”komisinya”, para tokoh Islam yang dahsyat itu yang   berkuasa, yang bicaranya bisa mengguncang tugu Monas, dan menggetarkan   dindingdinding beton Istana.  Kita bangsa yang saleh? Kita tokoh-tokoh dan orang-orang   beragama, yang mampu memberi teladan mulia pada rakyat biasa? Kita   tokoh-tokoh rohaniah, yang tak doyan harta yang bukan milik kita? Kita   politisi berbasis agama yang hidup lurus, semata mengabdi kebenaran, demi   kemuliaan Allah? Kitahidupdamai, dan menjauhkan diri dari menyalahkan orang   lain, dan menganggap pihak lain kafir, dan hanya kita kekasih Allah?  Apakah berpuasa pada Ramadan tahun ini membuat kita menjadi   orang muslim yang benar-benar muslim, yang jauh dari kejahatan kemanusiaan   terhadap sesama manusia? Apakah kita sudah bisa berpuasa dengan niat semata   untuk Allah, dengan puasa lahir maupun batin? ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar