Negeri di Ujung PakuAhmad Fuadi ; Novelis, Lulusan School of Media and Public Affairs, George Washington University, Amerika Serikat |
KOMPAS, 21 Juli 2014
AKHIRNYA, ribuan jam kampanye, miliaran dana iklan, dan janji-janji dari Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK dipadatkan di secarik kertas suara kecil dan ditajamkan di ujung sebatang paku. Pesta demokrasi yang ingar-bingar ini berakhir di barang yang tampaknya remeh-temeh. Walau tampak sederhana, urusan secuil robekan kertas suara ini pernah menggoncangkan pemilu di Amerika Serikat. Tanggal 7 November 2000, hari pemilihan presiden Amerika Serikat, beberapa stasiun TV berita yang mengacu pada exit poll meyakini bahwa calon presiden Al Gore memenangi suara di Florida, yang berarti menggenapkan kemenangannya secara nasional sebagai presiden Amerika Serikat yang baru. Namun, hanya dalam hitungan jam, berita ini diralat karena ternyata hasil hitung suara riil memperlihatkan capres George Bush bisa menang di Florida. Media kemudian menyebut hasil penghitungan itu ”too close to call” atau terlalu tipis untuk diputuskan. Melihat suara Bush semakin membesar, sekitar pukul 02.00 pada 8 November, Al Gore dengan sportif siap menyatakan kalah secara terbuka dan menelepon Bush. Sesaat sebelum dia berpidato, ada kabar baru kalau arah penghitungan suara berbalik, Al Gore bisa saja menang di Florida. Al Gore batal tidak jadi berpidato. Saya yang waktu ini menjadi mahasiswa di Washington DC menyaksikan sebuah drama pemilu yang berlarut-larut dan melelahkan. Hasil pemilu AS itu tetap tidak jelas sampai sebulan ke depan. Drama dilanjutkan dengan adanya temuan kertas suara yang bermasalah di Florida sehingga ada tuntutan hukum dari pihak Al Gore agar diadakan penghitungan manual, alih-alih dengan mesin. Pemilihan presiden negara terbesar dunia itu mengerut sampai pada titik terkecil, di dalam lubang coblosan. Proses berkepanjangan ini akhirnya berakhir ketika US Supreme Court memutuskan penghentian penghitungan ulang di Florida. Bisa dikatakan kemenangan Bush akhirnya diputuskan di meja pengadilan pada tanggal 12 Desember. Satu bulan sejak hari pencoblosan. Potensi pertikaian Di Indonesia, hampir semua survei yang dilakukan sebelum hari Pilpres 9 Juli memperlihatkan perbedaan suara yang tipis di antara kedua pasang capres-cawapres. Karena itu, mungkin saja kita akan menghadapi situasi yang mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat itu, situasi too close to call. Ketika quick count tidak kuasa memprediksi pemenang karena selisih angka yang sangat tipis, pemenang sebenarnya akan ditentukan oleh penghitungan suara resmi KPU, yang syukurlah sudah selesai hari-hari ini. Bagi Indonesia, perbedaan suara pilpres yang tipis adalah pengalaman pertama. Lihat saja, di Pilpres 2004 SBY-JK menang dengan suara 60,62 persen, jauh di atas suara Megawati-Hasyim Muzadi yang hanya 39,38 persen. Pembeda suara mereka hampir 20 persen. Di Pilpres 2009, SBY-Boediono berjaya dengan angka 60,80 persen suara, jauh di atas Megawati-Prabowo 26,79 persen, dan JK-Wiranto 12,41 persen. Pemenang unggul sampai 30 persen. Dalam situasi yang berjarak besar ini, pasangan yang kalah tidak punya banyak harapan untuk berandai-andai tren penghitungan suara berubah. Di Pilpres 2014 ini, angka pembeda di antara dua pasangan ini diperkirakan di bawah 10 persen sehingga pemenang mungkin baru bisa ditentukan sampai ke titik terakhir penghitungan resmi KPU. Seiring dengan ketatnya perolehan suara, mungkin pula muncul sengketa pemilu yang akan dibawa ke pengadilan. Ujian bangsa Seandainya skenario di atas terjadi, pertanyaan penting buat kita semua adalah apakah bangsa ini siap bersabar menghadapi proses panjang penentuan pemenang? Apakah pengadilan, dalam hal ini tentu MK, siap menyelesaikan perselisihan dengan adil dan bisa diterima oleh kedua belah pihak? Apalagi, dengan postur MK yang sekarang tidak seberwibawa dulu lagi. Kalau menengok pada situasi Amerika Serikat tahun 2000, politik ikut memanas, khususnya dalam debat publik di media massa. Namun, kehidupan sehari-hari rakyat Amerika Serikat berjalan relatif aman. Tidak ada chaos dan konflik fisik. Aparat dan militer bersikap netral. Sebagai bangsa dengan demokrasi yang masih muda, ini adalah ajang ujian buat segala komponen dalam masyarakat, mulai dari rakyat, pemimpin, institusi hukum, media, hingga negara secara umum. Kita berharap semua pihak bisa menahan diri untuk tidak emosi sambil tetap kritis terhadap penghitungan suara. Para elite politik perlu memperlihatkan keteladanan sebagai pemimpin yang beradab sehingga para pendukung kedua belah pihak tidak bentrok di level bawah. Beberapa media yang partisan diharapkan bisa kembali menjadi pengabar kebaikan dan menghindari rumor yang memperkeruh suasana. Aparat pemerintah dan militer wajib menjadi penjaga independensi dalam proses kelahiran pemerintahan baru. Pemilu ditandai dengan coblosan paku di surat suara. Semoga ini jadi simbol kita dalam memaku harapan tinggi-tinggi untuk sebuah pemerintahan yang lebih baik. Mari kita tekadkan, ujung paku bukan untuk meruncingkan masalah, melainkan untuk menajamkan tujuan menjadi bangsa adil dan beradab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar