Selecao dan Hilangnya Kegembiraan BermainAgung Putu Iskandar ; Wartawan Jawa Pos |
JAWA POS, 25 Juli 2014
We lost, we won, either way we had fun… PADA mulanya, sepak bola adalah permainan yang menyenangkan. Anak-anak bermain sepak bola demi mendapat kebahagiaan. Mereka mencari tempat bermain di tanah lapang dekat kampung dan saling mencetak gol. Tim yang mencetak gol berteriak gembira, yang kebobolan ikut tertawa. Kalah atau menang, mereka semua bergembira. Semua orang bersama-sama merayakan gol, seperti yang dituturkan penulis sepak bola asal Uruguay Eduardo Galeano di halaman persembahan buku tulisannya yang sudah mencapai level ’’klasik’’, Soccer in Sun and Shadow. ’’Buku ini saya persembahkan untuk anak-anak yang dulu melintas di Calella de la Costa. Setelah bermain sepak bola, mereka pulang beriringan sambil bernyanyi. ’’Kami kalah, kami menang. Duhai, dua-duanya membuat kami senang,’’ tutur penulis yang oleh The Guardian disebut ’’Pele-nya penulis sepak bola’’ itu. Namun, sepak bola menjadi rumit karena ia mulai melibatkan hal-hal di luar dirinya: rivalitas, dendam masa lalu, dan perasaan-perasaan untuk mengalahkan yang lain. Kemenangan tidak hanya menjadi indikator satu-satunya kebahagiaan. Ia juga berarti harga diri, kehormatan bangsa, dan hal-hal serius lainnya. Setelah tak ada lagi perang, sepak bola adalah palagan baru negara-negara dunia. Betapa beruntungnya anak-anak yang bermain sepak bola tanpa memikirkan rumitnya persoalan orang dewasa seperti itu. Brasil sebagai ’’Tanah Suci’’ sepak bola tentu juga mengalami fanatisme yang sama. Hati mereka hancur berkeping-keping saat timnya diberangus Jerman 1-7 di semifinal Piala Dunia 2014. Meski, belakangan mereka berpesta karena rival abadinya, Argentina, gagal juara. Sedikit ironis, tapi itulah yang terjadi. Perayaan terhadap kegagalan sang musuh besar. Sebenarnya, rakyat Brasil bisa lebih ’’memaafkan’’ Selecao. Syaratnya satu: permainan indah alias joga bonito. Jika permainan indah dengan kegembiraan bermain sebagai esensi itu yang mereka tampilkan di lapangan, akan ada ’’toleransi’’ terhadap kegagalan mereka. Sementara Luiz Felipe Scolari ngotot memainkan sepak bola praktis, rakyat Brasil pun hanya mengenal satu tuntutan: juara. Toleransi itulah yang terjadi di era Socrates. Saat menjadi kapten Piala Dunia 1982, Socrates dkk tidak membawa pulang piala dari Spanyol. Tapi, mereka dimaafkan karena telah kalah dengan cara mulia. Socrates yang bermain bersama Zico, Falcao, dan Eder pada akhirnya disebut sebagai tim terbaik yang tidak memenangkan Piala Dunia. Mereka mungkin tidak memenanginya, tapi mereka memenangi hati seluruh rakyat Brasil. Kecintaan terhadap joga bonito itu pula yang membuat mereka bisa menerima sosok ’’cacat’’ dalam diri Garrincha di skuad Selecao. Memang, dia mempersembahkan Piala Dunia 1958 dan 1962. Namun, kecintaan warga Brasil terhadap Garrincha jauh sebelum dia mempersembahkan piala apa pun. Cara dia menggiring bola dengan cara yang ’’aneh’’ karena mengalami polio dan punggungnya bengkok seperti huruf S (scoliosis) justru mendatangkan kegembiraan. Tak heran, di nisan Garrincha yang doyan mabuk dan seorang penakluk perempuan ulung ini tertera apresiasi mendalam warga Brasil: ’’Terima kasih sudah pernah hidup.’’ Kegagalan Felipao membawa anak asuhnya menjuarai Piala Dunia 2014 seperti menyempurnakan narasi kusut turnamen akbar empat tahunan yang digelar di Negeri Samba tersebut. Pembangunan infrastruktur yang berantakan, korupsi, dan korban jiwa dari para pekerja proyek. Hancurnya Brasil di Piala Dunia sejatinya sudah diperkirakan banyak orang. Atau, kalaupun tak diperkirakan, sudah banyak yang berharap mereka gagal. Felipao memimpin Selecao –sebutan timnas Brasil– yang tak begitu dicintai warganya. Tidak ada perasaan memiliki terhadap Thiago Silva dkk. Saya beruntung bisa menjelajah ke hampir semua kota tuan rumah Piala Dunia 2014 di Brasil. Mulai kota di ujung utara Manaus, kota di ujung timur Salvador, hingga metropolitan yang menjadi salah satu kota terbesar dunia di belahan bumi selatan: Sao Paulo. Total ada enam kota yang saya singgahi silih berganti selama 50 hari ’’petualangan’’ itu. Selama berada di kota-kota utara (Manaus, Recife, Fortaleza, Salvador), komentar-komentar miring soal Selecao banyak saya temui. ’’Felipao hanya mengisi orang-orang yang dikenalnya untuk masuk ke sana,’’ kata Cezar Leao, seorang warga di Salvador yang saya temui di kawasan kongkoPelourinho, sambil membanting koran yang memuat pengumuman skuad Brasil di Piala Dunia awal Mei lalu. Pernyataan Cezar mungkin tidak terlalu penting. Apalagi, dia hanya seorang penjual kalung kerajinan tangan. Namun, pernyataan dia sejatinya mewakili apa yang dipikirkan orang-orang Brasil. Terutama mereka yang tinggal di utara. Mereka melihat Selecao bukan timnas yang mereka cintai. ’’Terlalu banyak orang-orang selatan. Apa tidak ada orang-orang utara yang bisa bermain sepak bola?’’ kata Cezar. Cezar mungkin lupa (atau mungkin dia sengaja melupakan). Di skuad Felipao, juga ada Dani Alves dan Dante. Keduanya bahkan berasal dari negara bagian yang sama dengan dirinya, Bahia. Namun, Cezar seperti tak mau mengingatnya. Dia hanya ingin terus menunjukkan bahwa timnas ini bukan timnas yang dia cintai. Selecao dalam bahasa Portugis berarti ’’yang terpilih’’. Timnas, bagi warga Brasil, berisi orang-orang pilihan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa untuk mengemban amanat besar menjaga kehormatan negara. Mereka yang masuk Selecao adalah orang-orang yang begitu dicintai warga Brasil. Mereka adalah pahlawan bagi anak kecil dan seorang patriot bagi orang dewasa. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa Felipao memang tak mau keluar dari zona nyaman rekrutmen pemain. Dia lebih suka dengan komposisi pemain yang tidak banyak berubah. Felipao juga beberapa kali mengakui bahwa Selecao seperti sebuah keluarga. Anggota keluarga itu tidak banyak berubah demi menjaga kekompakan. Tapi, warga Brasil ingin Selecao yang mewakili wajah-wajah mereka. Selecao yang lebih Brasil. Bukan tim yang dihuni pemain-pemain yang sebagian besar bermain di luar negeri. Apalagi, dengan booming ekonomi Brasil, klub-klub lokal kini bisa menggaji besar pemain-pemainnya. Beberapa pemain yang dulu bersinar di Eropa sampai pulang kampung seperti Alexandre Pato atau Luis Fabiano. Kini, era Felipao sudah berakhir. Penggantinya adalah Dunga yang menangani Selecao pada 2006–2010. Pergantian dari Felipao ke Dunga tidak menciptakan langkah besar. Keduanya memiliki tipikal yang sama. Yakni, bermain praktis. Karena itu, kebahagiaan yang diharapkan warga Brasil, tampaknya, masih jauh panggang dari api. Mereka masih harus bersabar untuk menampilkan permainan indah. Konon, striker Brasil 1960-an Tostao pernah mengkritik Dunga di periode pertamanya melatih Brasil. ’’Dunga hanya memainkan sepak bola ’fotokopi’ Italia. Dia memainkan gaya pragmatisme Italia karena dia sangat mengagumi permainan mereka,’’ katanya sebagaimana dikutip The Guardian. Dengan bermain pragmatis, beban yang menjadi harapan dari warga hanyalah kemenangan. Sebab, joga bonito sudah absen. Tak ada lagi kegembiraan bermain. Anak-anak kecil kini tak bisa lagi bergembira saat Selecao kalah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar