Partisipasi Masyarakat di PemiluRamlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya |
KOMPAS, 30 Juli 2014
Partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan tahapan pemilu merupakan parameter keempat untuk Pemilu yang Adil dan Berintegritas. Peran serta warga negara yang telah dewasa secara politik (baca: memiliki hak pilih) dalam proses penyelenggaraan pemilu tak hanya memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara, tetapi juga mengawal agar proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan suara yang diberikan ikut menentukan hasil pemilu. Sembilan bentuk partisipasi Setidaknya terdapat sembilan bentuk partisipasi warga negara dalam proses penyelenggaraan tahapan pemilu. Pertama, keterlibatan anggota parpol dalam proses seleksi calon anggota DPR dan DPRD, serta dalam memberikan masukan untuk perumusan visi, misi, dan program parpol dalam pemilu. Untuk pemilu anggota DPR dan DPRD 2014 dapat disimpulkan tak ada parpol peserta pemilu yang melibatkan anggota di akar rumput dalam proses seleksi calon dan penyusunan visi, misi, dan program partai. Yang dilibatkan hanya sekelompok kecil anggota yang jadi elite partai pada kepengurusan partai tingkat nasional dan daerah. Kedua, keterlibatan para aktivis LSM dalam menyelenggarakan program pendidikan pemilih (voter’s education). Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah meningkatkan kecerdasan pemilih dalam menentukan perilaku memilih. Untuk menyongsong Pemilu 2014 boleh dikatakan tak ada LSM yang melaksanakan program pendidikan pemilih secara sistematik. Dua faktor penyebab utama mengapa ormas sipil absen dalam melakukan pendidikan pemilih: tidak tersedia dana karena sejumlah negara donor sudah menghentikan dana hibah untuk pendidikan pemilih, serta para aktivis LSM yang berminat dan berpengalaman dalam bidang ini sudah beralih ke bidang kegiatan lain, sementara pendatang baru kurang berminat. Ketiga, mendukung secara aktif parpol peserta pemilu atau calon tertentu, baik dengan menjadi peserta kampanye pemilu maupun ikut menyumbang dana kampanye dalam bentuk uang dan/atau barang dan jasa. Jumlah peserta kampanye pemilu anggota DPR dan DPRD, khususnya kampanye dalam bentuk rapat umum, kian berkurang termasuk pada kampanye parpol papan atas. Bahkan, partisipasi perseorangan dalam memberikan dukungan dana kampanye untuk pemilu anggota DPR dan DPRD lebih rendah lagi. Kepercayaan warga masyarakat kepada parpol memang kian rendah, selain rapat umum masih banyak bentuk kampanye pemilu lain (pemasangan alat peraga, iklan melalui media, pertemuan tatap muka, dan kampanye dari rumah ke rumah), dan sebagian pemilih lebih suka meminta uang daripada memberikan sumbangan dan kampanye kepada partai/calon. Bahkan, sebagian calon lebih memilih kampanye dari rumah ke rumah. Transaksi jual-beli suara justru terjadi pada bentuk kampanye seperti ini. Partisipasi sebagai peserta kampanye rapat umum dan pemberian sumbangan dana kampanye (dana gotong royong) jauh lebih besar pada Pemilu Presiden (Pilpers) 2014 daripada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Keempat, mengajak orang lain mendukung parpol/calon tertentu dan/atau untuk tidak mendukung parpol/calon lain dalam pemilu. Karena hampir semua parpol memiliki ideologi yang sama, yaitu pragmatisme, pemilu lebih banyak merupakan persaingan antarcalon dari segi popularitas daripada persaingan ideologik (baca: persaingan alternatif kebijakan publik yang disusun berdasarkan ideologi/platform tertentu). Kampanye pihak ketiga, sebagai tim pendukung tak resmi atau bersifat independen, praktis lebih banyak muncul pada pilpres daripada pileg. Partisipasi relawan seperti ini jauh lebih besar pada Pilpres 2014 daripada Pileg 2014. Kelima, keterlibatan dalam lembaga pemantau pemilu yang mendapat akreditasi dari KPU untuk melakukan pemantauan terhadap satu atau lebih tahapan pemilu di sejumlah daerah pemilihan. Hanya sebagian dari 17 lembaga pemantau yang dapat akreditasi dari KPU yang melaksanakan program pemantauan Pileg 2014. Yakni, LP3ES untuk pemutakhiran daftar pemilih; Perludem untuk proses pemungutan dan penghitungan suara; JPPR untuk proses pemungutan dan penghitungan suara serta partisipasi pemilih difabel; Migrant Care untuk pemilih di luar negeri; Kemitraan untuk kampanye dan dana kampanye, serta proses pemungutan dan penghitungan suara; KIPP untuk proses pemungutan dan penghitungan suara. Karena keterbatasan sumber daya, pemantauan pemilu tak dilakukan secara menyeluruh, baik dari segi tahapan maupun provinsi. Kemitraan, misalnya, hanya melakukan pemantauan di lima provinsi (Jateng, Sumut, NTB, Papua, dan Maluku). Kontribusi utama lembaga ini menjaga agar pemilu diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan. Keenam, keterlibatan pemilih dalam melakukan pengawasan atas proses penyelenggaraan tahapan pemilu: mengawasi apakah pemilu diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan. UU Pemilu menentukan tiga pihak yang dapat mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran atas Ketentuan Administrasi Pemilu, Ketentuan Pidana Pemilu, atau Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Ketiga pihak tersebut adalah pemilih terdaftar, pemantau pemilu, dan peserta pemilu. Pengaduan tentang dugaan pelanggaran pemilu ini disampaikan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas)/Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Karena Panwas/Bawaslu hanya akan bertindak jika ada pengaduan dari satu atau lebih dari tiga pihak itu dan jumlah kasus yang ditangani Bawaslu seluruh Indonesia mencapai ribuan, dapat diduga cukup banyak yang menyampaikan pengaduan. Belum diketahui seberapa banyak pemilih yang menyampaikan pengaduan tentang dugaan pelanggaran pemilu ke Panwas/Bawaslu. Ketujuh, ikut memilih atau memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara (voting turnout). Jumlah warga negara yang berhak memilih yang terdaftar sebagai pemilih untuk Pemilu 2014 mengalami peningkatan dari sekitar 85 persen pada Pileg 2009 menjadi 95-97 persen untuk Pileg 2014. Peningkatan ini terjadi karena daftar pemilih tak lagi disamakan dengan daftar penduduk ber-NIK. Partisipasi pemilih terdaftar dalam memberikan suara untuk Pileg 2014 mengalami peningkatan dari 70,29 persen pada Pemilu 2009 menjadi 76,11 persen untuk Pemilu 2014. Peningkatan ini terjadi karena pengaruh para capres yang sudah melakukan kampanye lebih awal. Jumlah suara sah mengalami peningkatan dari 85,59 persen (jumlah suara tak sah 14,41 persen) pada Pileg 2009 menjadi 90 persen (jumlah suara tak sah 10 persen) untuk Pileg 2014. Meski cara nyoblos sudah menggantikan cara nyontreng, ternyata jumlah suara tak sah masih tinggi. Peran lembaga survei dan media Selanjutnya, kedelapan, keterlibatan aktif lembaga survei untuk melakukan exit poll (mengajukan pertanyaan kepada pemilih secara acak segera setelah memberikan suara di TPS) atau penghitungan cepat (quick count) atas hasil pemungutan suara di TPS yang jadi sampel. Pada 9 April 2014 terdapat 11 lembaga yang melakukan penghitungan cepat atas hasil penghitungan suara rata-rata 2.200 TPS dari 546.278 TPS pileg seluruh Indonesia. Antara lain, CSIS-Cyrus, SMRC, Poltracking, Indikator Indonesia, Litbang Kompas, Populi Center, Barometer Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, dan RRI. Kalau setiap lembaga survei menetapkan 2.200 TPS sebagai sampel dan setiap TPS ada seorang peneliti, ke-11 lembaga survei mengerahkan tak kurang dari 24.200 peneliti lapangan. Ditambah tenaga koordinator di daerah, tenaga operator penerima, pengolah data, dan analisis data pada tingkat nasional, jumlah warga yang berpartisipasi melalui lembaga survei ini mencapai 30.000 orang. Lembaga survei seperti ini mempunyai dua kontribusi: menawarkan prediksi hasil pemilu dan menjadi pembanding bagi hasil pemilu yang ditetapkan KPU. Kesembilan, keterlibatan pekerja media cetak dan elektronika secara aktif dalam proses peliputan kegiatan pemilu dan/atau penulisan dan penyiaran berita tentang kegiatan pemilu. Mengingat jumlah media cetak (surat kabar, tabloid, majalah) dan elektronik (radio, TV, dan media sosial) yang meliput kegiatan pemilu sekarang ini begitu banyak, baik pada aras nasional maupun lokal, diperkirakan semua jenis media ini mengerahkan jutaan warga negara, baik yang bertugas di lapangan maupun di kantor redaksi dan studio. Kontribusi utama media dalam menyebarluaskan informasi tentang pemilu lebih besar daripada apa yang dilakukan KPU dengan seluruh aparatnya dalam menyebarluaskan informasi tentang pemilu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar