|                                       Revolusi   Mental KejaksaanYudi Kristiana  ;     Jaksa di Komisi   Pemberantasan Korupsi,  Dosen   Program Pascasarjana UNS dan UKSW | 
SUARA MERDEKA, 23 Juli 2014
| BAGI   korps kejaksaan yang hari ini memperingati Hari Bhakti Adyaksa (HBA) ke-54,   revolusi mental tak dapat dihindari. Bahkan dekonstruksi seluruh behaviour   birokrat kejaksaan, termasuk kultur birokrasi dan struktur birokrasi menjadi   sebuah keniscayaan. Sejarah   mencatat sejak Soeharto berkuasa lebih dari 6 periode, dilanjutkan Habibie,   Gus Dur, Megawati, bahkan hingga SBY yang dua periode berkuasa pun, kejaksaan   tak lebih ditempatkan hanya sebagai bagian ìornamen kekuasaan”. Tugasnya   mendukung pemegang kekuasaan politik dari pemerintah pusat hingga daerah.   Struktur konvensional kejaksaan dengan karakter birokratis dan sentralistik,   menjadi media paling efektif sekaligus paling aman bersembunyinya intervensi   kekuasaan dalam bentuk kebijakan hukum. Terlebih   dengan pertanggungjawabannya yang hierarkhis dan pemberlakuan sistem komando.   Jadi, ketika kejaksaan mencoba mengontrol kekuasaan dengan menjerat   penyalahgunaan kekuasaan (korupsi), baik di pemerintahan pusat maupun daerah,   realitas itulah yang menyebabkan kejaksaan loyo, bahkan cenderung pro status quo. Sejarah   juga mencatat, sejak Orba hingga kini, belum ada presiden yang secara tulus   membangun kejaksaan menjadi lebih baik. Pasalnya, persoalan krusial yang jadi   sumber patologi birokrasi tak pernah diobati tuntas. Memori kolektif kita   masih segar mengingat penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh Komisi   Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa Jaksa Agung Hendarman Supandji. Fakta   itu seharusnya bisa menjadi momentum mereformasi birokrasi kejaksaan. Namun   rupanya reformasi hanya di atas kertas mengingat semua belum berubah sampai   saat ini. Sumber-sumber penyimpangan dalam penanganan perkara, yang jadi akar   persoalan, tetap dibiarkan. Padahal faktor itulah yang menyebabkan kinerja   kejaksaan tidak optimal. Demikian   juga pembinaan karier, dari perekrutan, mutasi, kenaikan pangkat, promosi,   hingga penentuan jabatan strategis. Semuanya masih jauh dari nilai-nilai   keluruhan birokrasi modern yang menjunjung tinggi objektivitas. Yang terjadi   justru personalisasi birokrasi, dengan mengedepankan ’’orangnya siapa’’ dan   ’’gerbongnya siapa’’. Persoalan   sama juga terjadi berkait penganggaran, bahkan terlihat pemerintah tidak   pernah menempatkan kejaksaan sebagai institusi penting dalam mengawal negara.   Rendahnya political will pemerintah untuk memperbaiki kejaksaan juga   tercermin dari penunjukan jaksa agung. Sampai saat ini (kecuali Baharudin   Lopa), rasa-rasanya belum ada seorang yang ditunjuk menjadi jaksa agung   benar-benar memiliki kualitas sebagai Jaksa agung. Meskipun   sebagian besar pemangku jabatan strategis di kejaksaan, baik langsung maupun   tidak langsung, ìkurang senang” dengan kehadiran KPK, penulis yakin sebagian   besar rakyat Indonesia menghendaki kejaksaan bisa seperti KPK. Dapatkah   mengubah kejaksaan menjadi lembaga tangguh seperti KPK saat ini? Jawabnya   bisa. Bukankah   sebagian awak KPK adalah jaksa yang juga masih menjalankan fungsi   penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan? Mengapa ketika di kejaksaan mereka   tidak memperlihatkan ”kemoncerannya”, sementara di KPK bisa bertindak hebat   atau setidak-tidaknya berkontribusi besar untuk menjadikan komisi antikorupsi   itu hebat? Lebih Hebat Permasalahan   mendasarnya karena di KPK tidak lagi dijumpai sumber patologi birokrasi atau   bisa diminimalisasi. Jaksa yang bertugas di komisi antikorupsi tersebut tidak   dihantui karakter birokrasi kejaksaan yang konvensional, yang menjadi media   bersembunyinya intervensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Di KPK, persoalan   anggaran operasional dan kesejahteraan lebih terjaga dan teratasi dibanding   di kejaksaan. Penulis   yakin, kejaksaan bisa lebih hebat dari KPK, karena struktur birokrasi   kejaksaan ada di seluruh Indonesia, baik di tingkat pusat, provinsi,   kabupaten/kota, hingga di sebagian kecamatan. Andai manajemen birokrasi   kejaksaan dibuat menyerupai KPK, bila penentu kebijakan diisi oleh   orang-orang sekaliber orang KPK dengan tidak mendasarkan pada pendekatan   konvensional seperti pangkat dan senioritas, jika pemerintah baru memiliki   political will kuat memperbaiki kejaksaan, itu berarti sama dengan membangun   KPK di seluruh pelosok Nusantara. Rakyat   menunggu jaksa agung yang bakal dipilih oleh presiden baru, untuk menjadi   penentu arah kejaksaan dan negara ini ke depan. Pasalnya hanya jaksa agunglah   yang punyai otoritas mengubah kejaksaan menjadi lebih bertaji. Kita tunggu   apakah figur yang ditunjuk sebagai jaksa agung baru hanya tetap menjadi   ornamen kekuasaan politik seperti sebelumnya atau benar-benar mampu menjadi   agen revolusi mental. Hal   itu mengingat sejatinya banyak insan muda Adhyaksa yang berintegritas tinggi,   cerdas, visioner, patut jadi teladan, dan memiliki keberanian   ’’berseberangan’’ dengan kekuasaan, untuk diangkat menjadi jaksa agung.   Realitasnya, hingga hari ini sosok semacam itu belum, bahkan tidak   mendapatkan tempat di struktur kekuasaan yang sedang berdaulat. ● | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar