Lebaran Kemarau KebahagiaanYudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan |
HALUAN, 25 Juli 2014
Seorang sahabat memohon pada pembantunya, “Tolonglah, Lebaran ini tak perlu mudik. Giliran saya pulang kampung. Nanti saya lipatkan gajimu.” Sang pembantu berkata, “Maaf tuan, saya tak mau.” Sang majikan masih merayu, “Sudah dua puluh lima tahun saya tak pulang, sedangkan kamu setiap tahun.” “Tapi, tuan bisa berbahagia setiap hari, sedangkan kebahagiaan saya hanya setahun sekali.” Inikah gerangan yang membuat antrean panjang para pemudik bersepeda motor, bertaruh nyawa arungi medan hambatan, kemacetan, dan risiko kecelakaan? Apakah kehidupan Ibu Kota sebagai “ibu harapan” mengalami paceklik kebahagiaan? Adalah William James yang menyatakan bahwa kepedulian utama manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang. Juga dalam kehidupan beragama. Kebahagiaan yang dirasakan orang dalam keyakinannya, dijadikan bukti kebenarannya. Pencapaian kebahagiaan tertinggi, ujar Viktor Frankl, bukanlah dalam keberhasilan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan. Berbeda dari Freud yang menjangkarkan kebahagiaan pada kenikmatan-seksual, dan Adler pada kehendak untuk berkuasa, Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning) sebagai sumber kebahagiaan tertinggi. Tetapi apa artinya makna hidup jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung kemiskinan, kekalahan persaingan, pungutan liar, ketidakpastian hukum, tipu daya partai politik yang sekadar rajin kibarkan bendera tanpa keterlibatan di akar rumput, serta para pemimpin yang kepeduliannya sebatas menaikkan gaji dan harga tanpa kesanggupan memulihkan harapan. Dalam kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang-orang akan mencarinya dengan berpaling ke belakang. Kepulangan ke kampung halaman dengan segala klangenannya sambil merembeskan rezeki pada akar jati diri merupakan mekanisme katarsis demi mengisi kekosongan makna hidup. Demikianlah, mudik Lebaran merupakan peristiwa yang amat heroik. Kalah dalam hidup, berani menghadapi kenyataan. Tak seberapa rezeki terkumpul, gembira berbagi pada sesama. Kegagalan negara menyediakan kerangka solidaritas fungsional bagi redistribusi kekayaan hingga ke perdesaan, tertolong oleh heroisme korban-korban pembangunan yang dengan solidaritas emosionalnya mampu membawa balik nutrisi ke akar. Drama ini tidak berhenti di situ. Partai politik dan pemimpin pemerintahan yang mestinya menjadi wahana penguatan solidaritas fungsional lewat perundangan dan kebijakan negara yang berorientasi kesejahteraan dan pemerataan, justru lebih berintervensi secara ad hoc dalam bentuk-bentuk solidaritas emosional-karitatif. Partai dan pemimpin politik yang dalam kinerja institusionalnya lebih berpihak pada kepentingan korporatokrasi, berlomba mengesankan populismenya secara aji mumpung seperti lewat Tarawih keliling atau bantuan terbatas kepada para pemudik. Masih bagus, jika usaha meraih dukungan dari para korban pembangunan ini masih senapas dengan semangat Idul Fitri. Semangat Idul Fitri adalah semangat persaudaraan universal, bahwa setiap anak manusia terlahir dalam “kejadian asal yang suci”. Dalam kefitrahan manusia,Tuhan tidak pernah partisan-memihak seseorang atau golongan tertentu-melainkan kualitas keberserahan diri dan amal salehnya. Oleh karena itu, atas nama semangat Idul Fitri, semoga pemimpin politik tidak mengorbankan para korban ini dengan mengadunya di altar pilpres, atas nama ideologi komunalistik, demi kepentingan elitis. Sebaliknya, dengan semangat Idul Fitri, semoga kasih ketuhanan merembesi jiwa-jiwa suci ini, mengisi relung jiwa politik yang memungkinkan suara kasih dan etik bergema dalam kehidupan bangsa. Hanya dengan kemampuan memulihkan kebaikan cinta-kasih dan cinta-moralitas, kepadatan beribadah selama Ramadan bisa menghadirkan kemenangan sejati. Nabi Muhammad bersabda, “Maukah aku tunjukkan perbuatan yang lebih baik daripada puasa, salat, dan sedekah? Kerjakan kebaikan dan prinsip-prinsip yang tinggi di tengah-tengah manusia.” Para pemimpin dituntut untuk mawas diri. Dalam terang mawas diri ini, akan tampak bahwa kesulitan warga mencari kebahagiaan disebabkan oleh tabiat para pemimpin yang melupakan (tak mensyukuri) kebahagiaan, karena rangkaian panjang keinginan yang tak pernah berakhir. Sa’di berkisah, “Seorang raja yang rakus bertanya pada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ‘Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat.” Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga, ketika kita saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian. Thich Nhat Hanh, dalam The Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar mengajukan pertanyaan kepada seorang biksu. “Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu? Biksu itu pun menjawab, “Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberi kebahagiaan bagi orang sekelilingmu.” Dengan “lebaran” (kepurnaan), semoga musim kemarau kebahagiaan berakhir. Dengan kembali rahim fitri, semoga bisa kita suburkan kembali pohon kebahagiaan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar