Koalisi PermanenMuhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip |
KORAN TEMPO, 22 Juli 2014
Jika Prabowo Subianto mampu merealisasi praktek politik "koalisi permanen" yang dideklarasikannya bersama PKS, PAN, Gerindra, Golkar, PPP, dan PBB, ia menjadi suksesor terbesar dalam sejarah politik nasional. Bahkan ia figur lebih besar daripada Sukarno, si pemahat gagasan besar persatuan nasional, di mana ide itu pernah diolok-olok sekondannya, Hatta, sebagai per-sate-an nasional. Secara genealogis, tak ada satu pun koalisi yang permanen di panggung politik nasional. Segera setelah pemilu 29 September 1955, Ketua PKI D.N. Aidit mewacanakan koalisi "persatuan dan perdamaian" yang terdiri atas PNI, NU, PKI, dan partai-partai gurem pendukung Sukarno. Kita tahu kemudian, koalisi "persatuan dan perdamaian" itu saling bergesekan dengan keras dalam sidang-sidang Konstituante. Koalisi itu hancur lebur bersama dengan dibeslahnya Dewan Konstituante oleh Sukarno dan Nasution. Manifesto Politik lalu diluncurkan Presiden Sukarno bersamaan dengan pembentukan koalisi baru yang permanen pada 17 Agustus 1959. Koalisi permanen ala Sukarno itu dinamakan "Front Nasional" dan dikukuhkan dengan beleid Perpres Nomor 13 Tahun 1959. Selain unsur pemerintah, unsur-unsur yang bergabung dalam "koalisi permanen" ini adalah tokoh-tokoh penting perwakilan dari PNI, Partai NU, PKI, PSII, dan TNI. Sukarno membuat Front Nasional ini sebagai lembaga bayangan yang "mendampingi" kerja parlemen sementara (MPRS dan DPR Gotong Royong) setelah bubarnya Dewan Konstituante. Sekilas tak ada yang aneh dalam koalisi besar dan permanen ini. Apalagi kita tahu Sukarno sudah menggelontorkan gagasan persatuan Indonesia kala usianya masih muda pada 1926, saat ia merilis pertama kali salah satu artikel paling pentingnya di Soeloeh Indonesia Moeda: "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Artikel inilah yang menjadi sumur genealogis lahirnya akronim Nasakom (nasional, agama, komunis) dalam lingua-franca politik nasional yang diwujudkan dalam sebuah koalisi struktural "Front Nasional". Jadi, Front Nasional dan Nasakom adalah impian besar Sukarno yang nyaris utopis. Sebab, kita tahu betapa repotnya kemudian Sukarno mengatur gesekan-gesekan dalam koalisi permanennya ini. Terutama kubu komunis dan agama yang berseteru nyaris setiap hari. Ditambah lagi unsur tentara yang pendiam dan selalu menunggu dengan sabar untuk mendapatkan tempat. Pada 1965, ketika Indonesia menyongsong tahun-tahun yang menyerempet bahaya, vivere pericoloso, narasi besar koalisi permanen Front Nasional berakhir tragis dan memilukan. Anggota-anggota koalisi tak hanya bersimpang jalan, tapi juga melibatkan diri dengan agresif memusnahkan rekan koalisinya dalam sebuah opera berdarah pembantaian massal. Itulah akhir dari koalisi permanen yang dibangun Sukarno sedemikian rupa; dari filosofi, ideologi, hingga rupa strukturnya. Dan kini, hampir 50 tahun kemudian, kandidat presiden Prabowo Subianto mendeklarasikan koalisi permanen di bawah komandonya. Saya tak menyebut Prabowo sebagai pemimpi besar yang absurd dengan "koalisi permanen"-nya saat kekuasaan belum jua jatuh mutlak di tangannya. Semua itu dilakukannya, barangkali, karena ia ingin sekali dicatat sejarah sebagai suksesor politik tiada tanding dalam sejarah politik Indonesia dengan tugu monumen agung yang dinamakannya "Koalisi Permanen". ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar