Marhaban Presiden JokowiDenny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada |
KORAN TEMPO, 25 Juli 2014
Pemilihan presiden 2014 harus diakui sebagai sejarah kompetisi paling ketat untuk menentukan presiden Indonesia. Gesekan antara capres dan para pendukungnya betul-betul menguji kematangan demokrasi kita. Alhamdulillah-nya, bangsa ini beruntung karena pelaksanaan pilpres 2014 berbarengan dengan Piala Dunia 2014 dan Ramadan. Waktu yang bersamaan itu membantu menurunkan ketegangan. Konsentrasi terpecah antara pilpres dan sepak bola. Emosi lebih terkontrol dengan berpuasa. Ibarat sepak bola, babak final pilpres dimulai sejak pemungutan, penghitungan, hingga penetapan suara akhir di KPU, serta jika perlu lewat perpanjangan waktu dan tendangan penalti dalam forum sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi. Jika ada gol sah yang tercipta, dengan kepemimpinan wasit KPU yang profesional dan tidak berpihak, siapa pun capres yang kalah seharusnya dengan jiwa besar menerima keputusan wasit tersebut. Apalagi, dalam penentuan gol, posisi offsides dan pemenang pilpres, wasit KPU juga dibantu oleh hakim garis Bawaslu. Tidak boleh tim mana pun, dan tidak pernah terjadi dalam sejarah Piala Dunia mana pun, ketika wasit KPU akan meniupkan peluit akhir penentuan kemenangan, tiba-tiba capres yang tahu akan kalah menyatakan walk out, menarik diri dari permainan. Sikap demikian bukan saja sebaiknya tidak dilakukan, tapi sudah sepatutnya dihukum berat. Karena itu, dalam UU Pilpres diatur secara jelas larangan bagi capres dan partai pendukungnya untuk menarik diri dari pertarungan di tengah pertandingan. Pasal 22 ayat (2) UU Pilpres dengan tegas mengatur, "Salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU." Karena itu, salah satu syarat yang diserahkan bakal pasangan capres kepada KPU, menurut Pasal 15 huruf f UU Pilpres adalah, "surat pernyataan dari bakal pasangan calon tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon." Lebih jauh, jika ada capres yang tetap mengundurkan diri, Pasal 241 dan 242 UU Pilpres mengatur bahwa pengunduran diri demikian dijerat sebagai tindak pidana pilpres yang diancam dengan hukuman penjara 2–6 tahun, dan denda Rp 25–100 miliar. Setelah keputusan pemenangan pilpres oleh wasit KPU, pasangan capres yang dikalahkan hanya mempunyai dua pilihan: menerima dengan jiwa besar keputusan KPU atau mengajukan keberatan ke MK. Pasangan capres tidak punya alternatif lain, misalnya, menolak keputusan wasit KPU tapi pada saat yang sama mengajukan keberatan ke MK. Penyelesaian sengketa pilpres adalah kompetensi absolut MK. Sengketa pilpres tidak boleh dibawa ke ranah non-hukum (politik). Tidak boleh pula sengketa itu diajukan ke forum pengadilan lain, misalnya pengadilan tata usaha negara. Pengajuan keberatan ke MK bukanlah barang tabu, tentu jika ada alasan yang kuat untuk melakukannya. Keberatan demikian adalah hak konstitusional capres yang dijamin dalam UUD 1945 dan UU Pilpres. Namun, pengajuan keberatan ke MK bukanlah tanpa syarat. Misalnya, yang dapat mengajukan hanyalah pasangan calon. Kalau Prabowo akan mengajukan keberatan ke MK, dia tidak bisa sendirian, harus bersama-sama dengan cawapres Hatta Rajasa. Syarat mendasar lain, Pasal 201 ayat (2) mengatur bahwa keberatan yang diajukan hanya untuk hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya capres. Karena itu, dalam banyak putusan pilkada ataupun pilpres, MK juga mensyaratkan adanya kecurangan yangsifatnya sistematis, terstruktur, dan masif (STM) untuk diterimanya keberatan yang diajukan. Adanya pelanggaran atau kecurangan tidak cukup untuk mengabulkan keberatan capres yang kalah, dan mengubah keputusan KPU yang memenangkan salah satu calon. Dalam putusan sengketa pilpres 2004 dan 2009, MK mengatakan kecurangan memang terjadi, dan sebenarnya dilakukan oleh setiap calon, tapi tidak signifikan dan bersifat STM untuk mengubah hasil pilpres. Karena itu, keberatan tidak dapat dikabulkan. Ibarat permainan sepak bola, kalau alasannya hanya terjadinya pelanggaran, kedua tim dianggap sama-sama melakukan pelanggaran, namun tim yang memasukkan gol tetaplah yang diputuskan sebagai pemenang. Hanya dengan argumentasi dan kejadian luar biasa, gol kemenangan dapat dianulir, dan pemenang pilpres ditetapkan berbeda oleh MK. Dalam pilpres 2014, hal demikian hampir mustahil terjadi. Dengan selisih suara antara pasangan capres yang lebih dari 8,4 juta, akan sangat sulit untuk membuktikan dan membalik kemenangan pasangan Jokowi-Kalla. Harus dicatat, MK punya waktu sangat terbatas dalam 14 hari kerja untuk memutuskan. Karena itu, dalam dua putusan pilpres sebelumnya pada 2004 dan 2009, MK selalu menolak keberatan capres yang kalah. Atas keputusan MK demikian, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan harus dihormati oleh semua pihak. Jadi, kecuali ada hal yang sangat luar biasa, kita sudah dapat mengucapkan selamat datang, marhaban Presiden Jokowi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar