Konsekuensi   Hukum Pidato PrabowoFeri Amsari  ;     Peneliti Tamu William and   Mary Law School, Virginia  |  
KORAN TEMPO, 23 Juli 2014
|    Pidato "kekalahan"  calon presiden (capres) Prabowo Subianto mengejutkan. Sikap penolakan hasil   pemilu presiden (pilpres) itu tidak sekadar menjatuhkan martabatnya sebagai   negarawan, tapi juga menimbulkan "api" baru seusai pilpres yang   berlangsung damai. Sikap itu juga akan menciptakan sejarah ketatanegaraan baru: "capres kalah berpidato tidak siap   kalah." Padahal, jika mau "berlapang   dada", pernyataan Prabowo akan meletakkannya setingkat "negarawan". Sayangnya,   Prabowo bersikap berbeda. Bukan tidak mungkin, setelah pidato itu, karier   politik pendiri Partai Gerindra itu telah "tamat". Padahal pidato pengakuan kekalahan (concession speech) dalam tradisi demokrasi harus dilakukan. Di   Amerika, setiap calon presiden yang kalah akan berpidato di depan   pendukungnya untuk mengakui kemenangan lawan. Seharusnya, calon presiden   Prabowo berpidato dengan mengucapkan terima kasih kepada pendukung dan   pesaingnya karena telah melalui pemilihan presiden dengan baik. Kemudian,   Prabowo dapat menyampaikan pernyataan bahwa    kerja keras pendukungnya adalah "bibit" bagi kemenangan di   masa depan. Pidato itu juga semestinya ditutup dengan indah dengan pernyataan   siap mendukung presiden terpilih dan mau bekerja sama demi kepentingan negara   yang lebih besar. Sayangnya, Prabowo menciptakan kegundahan baru. Pidatonya memang   melarang pendukungnya bersikap anarkistis, tapi dengan "kasar"   calon presiden Prabowo menolak hasil pemilihan presiden. Kekasaran itu   terlihat ketika Prabowo meminta seluruh saksi tim suksesnya keluar dari ruang   pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tindakan itu merupakan   "kemarahan" yang dibumbui "senyum terpaksa". Bukan tidak   mungkin pidato "menjaga kedamaian" Prabowo akan dilaksanakan   berbeda oleh pendukungnya. Tindakan senada juga pernah dilakukan Prabowo   sebelum hasil pemilihan presiden diumumkan. Pernyataan siap kalah diumbar,   tapi ujungnya berakhir dengan kemarahan. Jikapun tidak puas dengan proses penyelenggaraan, tim Prabowo   dapat menempuh jalur konstitusional yang ada. Mahkamah Konstitusi (MK)   merupakan peradilan yang penting membongkar kealpaan KPU jika memang ada. Tim   Prabowo dapat membawa seluruh alat bukti dan membeberkannya dalam   persidangan. Jadi, publik mengetahui alasan yang membuat calon presiden   Prabowo mempermasalahkan penyelenggaraan pemilihan presiden oleh KPU. Jika tidak, tindakan di luar jalur konstitusional dapat dimaknai   sebagai tuduhan tanpa bukti. Apalagi langkah sesat itu sungguh berseberangan   jika melihat sosok mantan ketua tim sukses Prabowo yang merupakan bekas Ketua   MK. Dalam batas penalaran yang wajar, seharusnya calon presiden Prabowo   dinasihati untuk menempuh jalur konstitusional yang ada.  Sayangnya, jiwa prajurit tempur tak hilang dari diri Prabowo. Ia   memilih mengobarkan api amarah kepada seluruh pendukungnya. Jika para   pendukung itu terhasut, bukan tidak mungkin calon presiden Prabowo dapat   dipidanakan. Pidato calon presiden Prabowo yang menarik diri dari proses   pemilihan presiden  yang tersisa tak   dapat disebut sebagai langkah pengunduran diri. Tindakan pengunduran diri   harus dilakukan sebelum proses pemilihan terlaksana. Tujuan aturan itu agar   pengunduran diri calon presiden tidak menimbulkan kekacauan proses pemilihan   presiden. Jika dilakukan selesai pencoblosan, kata pengunduran diri tidak   akan menimbulkan konsekuensi hukum apa pun. Dengan begitu, ketentuan pidana   pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden   dan Wakil Presiden tidak dapat dikenakan kepada calon presiden Prabowo.  Bagi saya, pidato itu berpotensi dikenai Pasal 160 KUHP terkait   dengan penghasutan. MK, melalui putusannya, menentukan Pasal 160 KUHP adalah   delik materiil. Artinya, tindakan penghasutan itu bergantung pada efek yang   ditimbulkan setelah pidato tersebut. Jika ternyata pidato itu menciptakan   kerusuhan dan menciptakan korban, pidana penghasutan dapat dikenakan. Sekalipun Prabowo meminta pendukungnya tidak melakukan aksi   anarkistis, pidato itu membuka "ruang makna" bagi pendukungnya   untuk melawan keputusan KPU. Ucapan itu dapat dimaknai sebagai vise versa dari apa yang dibunyikan.   Jika jalur konstitusional tidak ingin ditempuh, tentu harus dimaknai pidato   itu meminta dilakukannya tindakan di luar jalur itu. Jika terjadi keributan   di lapis bawah masyarakat, Prabowo berpotensi untuk dipidana sesuai dengan   Pasal 160 KUHP.  Sebelum "api   pidato" itu menyebar luas membakar kedamaian pemilihan   presiden,  sebaiknya Prabowo bertindak   sesuai dengan jalur konstitusional atau mengakui kekalahan. Bukankah pemenang   adalah seseorang yang belajar dari kekalahan. Sudah waktunya untuk legowo! ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar