Orang Miskin Harus Sekolah!Agus Wibowo ; Peneliti, Master Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta |
MEDIA INDONESIA, 04 Agustus 2014
SETIAP tahun ajaran baru, semua orangtua sibuk mengurusi putra-putrinya, terutama mereka yang tengah berburu sekolah. Bagi golongan berada, memilih sekolah entah negeri atau swasta favorit bukan pekerjaan berat. Seberapa pun dana yang harus dibayar, mereka akan setuju asalkan putra-putri mereka diterima di sekolah yang dikehendaki. Lain halnya dengan orang miskin. Memilih sekolah bagi orang miskin--lebih-lebih sekolah negeri favorit--bukan pekerjaan mudah. Mereka berusaha sekuat tenaga agar bisa diterima di sekolah negeri. Ketika tertutup kesempatan masuk sekolah negeri, bisa dipastikan tertutup pula akses orang miskin merasakan empuk dan nyamannya bangku sekolah. Jumlah orang miskin tidak sedikit di negeri ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia belum mengalami penurunan yang signifikan. Data terbaru dari BPS (2014) menemukan 28,55 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Orang miskin di negeri ini lebih sering menjadi mainan, bahkan dagangan politik. Mereka hanya akan diperhatikan bahkan diagung-agungkan ketika proses politik berlangsung. Ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka. Pendek kata, orang miskin kembali dilupakan hingga proses politik berulang lagi. Ironis sekali! Akses pendidikan bagi orang miskin sampai dengan tahun ajaran 2013/2014 masih terbatas, terutama di tingkat dasar. Data yang dirilis Balitbang Kemendikbud dan Direktorat Jenderal Bimbingan Kemenag setahun lalu menunjukkan angka partisipasi murni (APM) masyarakat miskin untuk anak usia SD dan SLTP masih rendah, yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Fenomena demikian juga terjadi pada layanan pendidikan usia dini. Karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat agar orang miskin bisa sekolah. Hentikan komersialisasi Agar orang miskin bisa mengenyam bangku pendidikan, pemerintah bersama segenap pemangku kepentingan bersama-sama memastikan tidak terjadi komersialisasi. Menurut Malik Fadjar (2008), ketika pendidikan telah menjadi ajang komersialisasi dan `bisnis', ia sejatinya telah kehilangan roh pedagogi. Pedagogi merupakan ilmu mengenai proses humanisasi atau memanusiakan manusia dengan landasan moral dan akal budi. Kita mengenal pedagogi tradisional yang berpusat pada proses pembelajaran peserta didik. Pedagogi kritis menggunakan pendekatan sosio-politik dan bertujuan memberdayakan peserta didik agar sadar akan keberadaannya dalam konteks sosial politik, budaya, dan ekonomi. Sementara itu, pedagogi transformatif berfokus pada individu yang partisipatif dalam perubahan sosial. Tujuan pedagogi transformatif juga menyadarkan, memberdayakan, dan mengembangkan potensi individu dalam kehidupan masyarakat, sedangkan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan ialah lembaga dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi sosial. Pendidikan yang kental dengan bisnis dan komersialisasi telah menggerus habis roh pedagogi itu. Maka tidak mengherankan jika ia tumpul dan menghadapi kekaburan konsep. Ketika pendidikan sudah didapat dengan cara mahal, yang terlihat ialah paradigma mendapatkan materi agar dapat merebut peluang kerja yang bergaji tinggi. Sementara itu, persoalan mengenai hakikat manusia, akal budi, dan humanisasi tidak dilakukan secara afektif, tetapi sekadar kognitif. Sebelum pendidikan kita benar-benar kehilangan roh pedagogi, paradigma komersialisasi dan bisnis dengan tujuan keuntungan kapital harus dibuang jauh-jauh. Segenap komponen bangsa harus bahu-membahu menciptakan pendidikan yang terjangkau oleh segenap masyarakat terutama masyarakat miskin. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus segera menata sekaligus mengatur sistem pendidikan agar tidak semakin mahal. Manajemen pendidikan harus dibuat efektif dan efisien agar biaya yang dikeluarkan tidak semakin membengkak. Harus sekolah! Pendidikan, kata Mochtar Buchori (1994:54), merupakan pilar peradaban bangsa. Jika berharap bangsa ini bermartabat, pendidikan harus menjadi garda depan serta prioritas utama. Penghalang orang miskin mengenyam bangku pendidikan selain komersialisasi ialah keterbatasan akses. Padahal, jauh hari Ki Hajar Dewantara sudah memberikan contoh bagaimana agar pendidikan bisa diakses orang miskin. Melalui pawiyatan yang ia beri nama Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Sayangnya, teladan Ki Hadjar itu tidak diikuti pemerintah. Akses pendidikan bagi orang miskin masih sangat terbatas. Benar banyak gedung sekolah, sarana, dan fasilitas pendidikan modern dibangun. Namun, kenyataannya, berbagai fasilitas pendidikan itu hanya dapat diakses kaum menengah ke atas. Rakyat miskin, apalagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil/per batasan, hanya mampu mendengar tanpa dapat mengaksesnya. Karena diskriminasi dan ketidakmerataan akses pendidikan, tidak mengherankan jika peringkat Indonesia dalam human development index (HDI) setahun lalu masih berada di urutan ke-124. Posisi Indonesia itu masih jauh di bawah negara tetangga dalam satu kawasan Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112). Indonesia hanya beberapa tingkat lebih baik ketimbang Vietnam (128), Laos (138), Kamboja (139), dan Myanmar (149). Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, menurut Achmadi (1993:1), menyangkut tiga aspek, yaitu persamaan kesempatan, aksesibilitas, dan keadilan atau kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana diatur dalam UU No 2 /1989; UUD Pasal 30/1945. Kesempatan memperoleh pendidikan bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal. Pada posisi pendidikan nonformal, tugas pendidikan luar sekolah (PLS) menjadi sangat penting guna memberikan pencera han agar anak bangsa bisa merespons perubahan-per ubahan sosial-budaya dan berpartisipasi dalam ke giatan politik, kultural, dan sosial. Aksesibilitas memberikan kesempatan semua anak bangsa memilih akses pendidikan yang sama, pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan. Demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kawasan terpencil. Selama ini, disparitas struktur ekonomi sosial menyebabkan aksesibilitas tidak sama. Masyarakat daerah perkotaan bisa lebih mudah mengakses pendidikan ketimbang mereka yang berada di desa; lebih-lebih daerah kepulauan dan terpencil. Menurut Sukartawi (1993:1), masyarakat miskin lebih sering kesulitan mendapat aksesibilitas pendidikan. Mereka dari tahun ke tahun justru mengalami diskriminasi yang berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Untuk mengatasi fenomena tersebut, Sukartawi menganjurkan pentingnya pendidikan lebih murah di luar jalur pendidikan formal, seperti program paket belajar A, B, C, dan seterusnya. Selanjutnya, prinsip keadilan atau kesewajaran dalam pendidikan bisa mendorong mereka yang tidak terjangkau menjadi terjangkau. Keadilan itu mengandung implikasi adanya perlakuan pendidikan yang proporsional sesuai dengan potensi individu. Anak bangsa yang memiliki prestasi menonjol diberikan pelakuan yang berbeda dengan anak bangsa yang lamban; demikian sebaliknya. Anak bangsa yang memiliki kelainan fisik dan mental juga diberikan kesempatan memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuannya. Strategi pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi tepat agar orang miskin bisa sekolah. Pemerataan pendidikan juga memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all (Agus Wibowo, 2012). Akhirnya, kita berharap pada tahun ajaran 2014/2015 ini semakin banyak anak bangsa dari golongan miskin yang mampu mengenyam bangku pendidikan. Melalui pendidikan, orang miskin diharapkan bisa menjalani konversi--baik konversi pengetahuan maupun status sosial. Ketika semakin banyak orang miskin mengenyam pendidikan, itu artinya pemerataan pendidikan efektif dilaksanakan. Dengan begitu, negara tidak akan melanggar tugas konstitusi sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar