Mimpi Indonesia MandiriAhmad Yani ; Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI |
KORAN SINDO, 10 (Minggu?) Agustus 2014
Pada 9 Agustus ini, ada momen yang penting sebagai pengingat kita dalam melaksanakan pembangunan, namun sering terlewatkan, yaitu hari masyarakat adat internasional. Peringatan ini penting karena harus ada keselarasan antara pembangunan yang jelas diperlukan untuk memajukan bangsa ini serta perhatian terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pembangunan nasional seperti telah diperbincangkan dalam berbagai pembahasan isi draf RPJMN (2015-2019) sangat mengandalkan peran pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Berbagai target dan sasaran pembangunan antara lain seperti pengembangan infrastruktur ekonomi, energi terbarukan, swasembada dan kedaulatan pangan, peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan, membutuhkan dasar pijakan tata kelola (governance) PSDA yang baik. Tata kelola dikatakan baik apabila dapat dialokasikan dan dikelola SDA secara efisien, efektif, dan pantas. Tata kelola yang baik ditandai dengan sikap publik menghormati kepastian hukum, transparansi dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara dalam pengambilan keputusan secara signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi, manajemen segala bentuk sumber daya publik secara efektif, serta pengendalian terjadinya korupsi Sayangnya, praktik-praktik pelaksanaan peraturan dan perundangan di lapangan sampai saat ini cenderung menghasilkan tata kelola yang buruk. Kondisi tersebut dikonfirmasi, misalnya, oleh hasil kajian UNDP Indonesia (2013) di sepuluh provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang menunjukkan indeks tata kelola hutan dan lahan rata-rata 2,33 dari nilai maksimum 5. Praktik-praktik PSDA di pusat, provinsi, dan kabupaten mempunyai rata-rata indeks masingmasing 2,78, 2,39 dan 1,80. Kajian tersebut juga sejalan dengan kajian ICEL di tahun yang sama, di Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Setidaknya terdapat lima praktik tata kelola di lapangan yang secara signifikan dapat menghambat target dan sasaran pembangunan ke depan yang diuraikan berikut ini. Pertama , SDA menurut peraturan-perundangan dikuasai oleh negara (state property resources), namun di lapangan tidak terurus dengan baik, informasimengenaikekayaandanpengendaliannya sangat minimal, sehingga secara de facto bersifat terbuka bagi siapa saja (open access). Untuk sektor kehutanan, hal demikian itu disebabkan lemahnya pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan negara. Persoalan paling mendasar yaitu dalam pelaksanaan pengukuhan tersebut lebih berorientasi pada penyelesaiannya secara administratif dan sah (legal) melalui penandatanganan berita acara tata batas (BATB) oleh panitia tata batas yang diketuai oleh bupati, namun adanya hak-hak pihak lain di dalam kawasan hutan negara tidak diselesaikan dengan baik, sehingga berbagai bentuk klaim tetap terjadi. Dalam bidang pertambangan, permasalahannya terletak pada masih rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menggunakan izin sebagai instrumen pengendalian. Kajian reviu perizinan yang dilakukan di sembilan kabupaten di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Jambi yang saat ini masih sedang berjalan, misalnya, menunjukkan bahwa dokumen perizinan sebagai instrumen pengendalian izin dan jumlah produksinya yang dimiliki oleh pejabat pemberi izin kurang dari 50%. Kedua , kelemahan isi peraturan- perundangan, rendahnya kapasitas birokrasi terutama dalam pelaksanaan pengendalian izin serta ketidaklengkapan informasi kekayaan alam menjadi penyebab mudahnya terjadi state capture maupun ekonomi biaya tinggi yang berupa suap/peras dalam hampir seluruh mata rantai perizinan. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan terdapat biaya suap/peras. Misalnya dalam pelaksanaan pengurusan izin usaha kehutanan yang dialami pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi bupati/ gubernur dihargai antara Rp50.000-100.000 per hektare dan antara Rp10-15 miliar untuk sebuah izin pertambangan. Untuk mengesahkan rencana kerja usaha kehutanan perlu membayar sekitar Rp250 juta, sementara mengangkut kayu bulat harus membayar sekitar Rp500.000 per pos jaga dengan jumlah antara 20-30 pos jaga. Selain itu, dalam hal pengawasan oleh aparat terdapat kebiasaan mengganti biaya pelaksanaan surat perintah tugas (SPT) oleh perusahaan. Secara umum, perusahaan menerima 100 sampai 150 SPT per tahun. Aparat pemerintahyangmelakukan pengawasan itu meminta informasi yang hampir sama kepada perusahaan. Fenomena seperti itu menunjukkan bahwa kerusakan hutan dan sumber daya alam bukan kurang pengawasan, melainkan justru kelebihan pengawasan, namun hanya menghasilkan laporan administratif tanpa bermakna sebagai instrumen pengendalian izin. Ketiga, mahalnya biaya pengurusan dan pelaksanaan perizinan serta rendahnya pelayanan publik, terutama bagi masyarakat adat/lokal, menyebabkan setidaknya dua masalah. Masalah pertama, saluran mendapatkan legalitas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara de facto terbatas disediakan bagi usaha besar, karena masyarakat adat/lokal tidak mampu membayarnya. Oleh karena itu, meskipun pemerintah telah menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat adat/lokal melalui berbagai skema pengelolaan hutan, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat, secara finansial masyarakat tidak mampu menjangkaunya. Kenyataan seperti itu secara nasional ditunjukkan oleh tidak bergeraknya peran masyarakat adat/lokal untuk mampu meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangganya. Angka sampai akhir 2013 menunjukkan perbandingan luas pemanfaatan hutan oleh usaha besar dengan usaha kecil yaitu 96%:4%. Masalah kedua, dalam setiap urusan penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan negara, pertambangan maupun perkebunan, siapa yang paling berhak memanfaatkan sumber daya alam itu adalah siapa saja yang mampu menunjukkan bukti legalitas sesuai peraturanperundangan. Usaha besar mampu mendapatkan syarat legalitas itu walaupun harus membayar mahal, tetapi masyarakat adat/lokal tidak. Pelayanan yang memihak ini di berbagai tempat menjadi pemicu kecemburuan, perasaan tertekan dan frustrasi, serta rasa pelakuan tidak adil yang sangat mendalam. Bentuk-bentuk konflik pemanfaatan hutan dan lahan antara perusahaan dan masyarakat yang pemicunya dapat disebabkan oleh hal-hal yang tidak penting (sepele), sesungguhnya di pihak masyarakat mempunyai akar masalah yang sangat mendalam seperti itu. Keempat , lembaga-lembaga pemerintah beserta kultur dan mental block yang ada di dalamnya secara umum sudah terjebak melayani kebutuhan administrasi dan indikator kinerja yang bersifat jangka pendek, serta didasarkan oleh peraturan- perundangan yang cenderung tidak diinterpretasikan sejalan dengan kondisi, kapasitas dan kebutuhan masyarakat adat/lokal. Sikap pemihakan bagi masyarakat adat/lokal yang diperlukan saat ini tertimpa oleh kepentingan kelompok untuk mendapat untung secara individual. Kelima , akumulasi dari keempat hal di atas secara visual menghadirkan kenyataan bahwa pengelolaan sumber daya alam seperti hanya menguras kekayaan alam tanpa menghasilkan penguatan untuk membangun dasar-dasar kapasitas modal sosial dan modal ekonomi yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Masyarakat adat/lokal sudah lama melihat jalan buntu untuk mampu keluar dari lubang yang dalam persoalan tata kelola PSDA itu. Untuk itu, praktik-praktik nyata di lapangan, transaksi-transaksi perizinan, kekuatan-kekuatan sosial-politik yang menyertainya maupun kapasitas dan kapabilitas lembaga dan unit kerja pemerintahan, terutama di daerah, perlu digunakan sebagai dasar penetapan strategi pembangunan nasional. Para perencana pembangunan dan penentu kebijakan nasional diharapkan mampu menerjemahkan fakta-fakta lapangan itu menjadi strategi pembangunan dengan subyek utama masyarakat adat/lokal, sehingga tidak terbuai pada angka-angka agregat nasional maupun indikator-indikator makro ekonomi yang senantiasa menjanjikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar