Tiongkok yang Selalu Bilang “Tidak”Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 11 Agustus 2014
POLITIK luar negeri Tiongkok di kawasan Asia Tenggara ibarat peribahasa zhilaohu (macan kertas). Mengacu pada perilaku seolah mengancam tetapi tidak mampu menghadapi tantangan yang diajukan negara-negara ASEAN dan luar kawasan, seperti Amerika Serikat, untuk mencari solusi memadai atas persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di Kepulauan Spratly, Paracel, dan Senkaku. Peribahasa ”macan kertas” populer digunakan Ketua Mao Zedong sebagai diktum dalam menghadapi persaingan dengan AS, yang dianggap berpotensi ancaman terhadap ideologi komunisme yang memecah dunia dalam Barat dan Timur. ”…yiqie fandongpai dou shi zhilaouhu,” kata Mao, menyebut semua kaum reaksioner adalah macan kertas. Seperti diperkirakan sebelumnya, dalam dokumen pernyataan bersama Forum Regional ASEAN (ARF) di Naypyidaw, Myanmar, akhir pekan lalu, tidak ada kata yang mengacu pada perilaku agresif Tiongkok terkait konflik yang terjadi di Paracel dan Spratly awal tahun ini. Forum ARF menjadi seperti draaimolen, komedi putar di taman hiburan. Menteri Luar Negeri RRT Wang Yi sebelum ARF sudah menyatakan ”tidak” atas usulan moratorium di Laut Tiongkok Selatan yang diajukan AS. Juga atas usulan pembekuan yang diajukan Filipina dalam konsep rencana tiga aksi (triple action plan/TAP). Dalam TAP, Filipina menyerukan moratorium, penyelesaian tata berperilaku (code of conduct) dan perselisihan diselesaikan melalui arbitrase dalam kerangka kerja Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Reaksi Beijing pasti langsung ”tidak” karena usulan Manila dianggap mewakili kepentingan AS, yang tak punya klaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan. Menlu RI Marty Natalegawa tidak mengajukan usulan baru dalam pertemuan ARF di Myanmar. Menlu Singapura K Shanmugam menyebutkan, kesepakatan tidak tercapai karena harus merumuskan apa yang dimaksud ”membekukan aktivitas” dan para menlu ASEAN tidak bisa menjawab apa yang disebut aktivitas tersebut. Kita berusaha memahami pola pikir Tiongkok yang selalu bilang ”tidak” konteks mempertahankan momentum ekonomi pasar sosialis (kapitalisme otokratis) yang mulai melemah, dan mempertahankan kesempatan memvalidasi sistem pemerintahan. Upaya ini dilakukan secara bersamaan untuk membenarkan tindakan RRT sesuai secara nasional, regional, dan internasional serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat yang diwakilinya. Ironisnya, perseteruan Laut Tiongkok Selatan ternyata hingga kini tidak berhasil membuktikan ada kandungan minyak dan gas yang menjadi rebutan banyak pihak. Terlihat persoalan penting di kawasan itu lebih pada persoalan keamanan pangan yang memang sangat mendesak dan dibutuhkan Tiongkok. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dalam laporannya tahun 2014 menyebutkan, konsumsi ikan per kapita Tiongkok pada tahun 2010 mencapai 35,1 kilogram. Itu berarti dua kali lipat rata-rata dunia yang 18,9 kg. Persoalan ini tidak dibahas dalam ARF, dan hanya fokus pada potensi ancaman konflik bersamaan dengan meningkatnya kemampuan militer Tiongkok. Membahas persoalan kepentingan bersama, seperti keamanan pangan, akan menjadi pengikat tersendiri karena kepentingan Tiongkok dalam hal ini sangat besar. Ketika Taiwan-Jepang sepakat melakukan kerja sama perikanan di Kepulauan Senkaku (Taiwan menyebutnya Diaoyutai), tak ada protes yang disampaikan Beijing atas resolusi Presiden Ma Ying-jeou tentang Inisiatif Perdamaian Laut Tiongkok Timur. Ikan ternyata tidak memiliki nasionalisme dan batas wilayah kedaulatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar