Pemimpin dan RakyatJakob Sumardjo ; Budayawan |
KOMPAS, 13 Agustus 2014
KEINGINAN rakyat itu hanya tiga, yakni hidup sehat, hidup kecukupan, dan hidup tenang.Hidup sehat artinya tidak mau sakit, kalau sakit pun mudah berobat. Namun, sakit itu seperti maut yang datang tak disangka-sangka. Bagi orang kaya, musibah sakit bukan masalah. Mereka punya uang untuk membayar dokter yang bayarannya mahal dan pelayanan rumah sakit yang juga mahal. Bagi orang yang cukupan saja, sakit parah dapat mengubahnya menjadi miskin, seluruh keluarga kena dampaknya. Dan bagi orang miskin, sakit hanya bisa diserahkan kepada Tuhan, bukan kepada negara. Rakyat menginginkan agar negara mampu mengatasi masalah sakit ini bagi sekian puluh juta rakyat miskin. Tentu saja politik ”kartu sehat” diperluas ke seluruh provinsi. Kartu sehat tak banyak gunanya kalau rumah sakit jumlahnya tak memadai, begitu pula tenaga dokter dan pelayan kesehatan yang lain. Belum obat-obatan yang harus disediakan. Memikirkan keinginan rakyat agar tidak sakit saja sudah membikin pemimpin pusing karena jumlah rakyat yang begini banyaknya. Rakyat yang sakit tak bisa meminta pertolongan kepada negara dan bangsa lain, tetapi soal kemiskinan, rakyat masih punya akal, yakni sebagai tenaga kerja di negara-negara lain. Anehnya negara masih membanggakan diri bahwa tenaga kerja miskin ini ”pahlawan devisa”. Mereka miskin ini salah siapa? Pemimpin seharusnya malu bahwa sudah puluhan tahun terjadi migrasi kemiskinan yang semakin banyak, bukan makin berkurang. Rakyat mau bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak untuk hidup sederhana saja. Dapat menyekolahkan anak-anaknya. Tahun 1940-an dan 1950-an anak-anak sekolah masih mendapat jatah buku-buku sekolah gratis. Begitu pula masuk perguruan tinggi banyak ditawari ”ikatan dinas”, sekolah dibiayai negara dan kalau sudah lulus disediakan lapangan kerja. Surga Indonesia semacam itu tidak ada lagi tahun 1960-an. Hidup berkecukupan tidak usah muluk-muluk, seperti rakyat di perdesaan. Namun, kemiskinan juga sudah menjalar sampai ke desa-desa. Di desa, orang tidak usah belanja untuk masak, asal sudah ada beras saja. Sekarang, semakin banyak yang migrasi ke kota-kota karena justru hasil pendidikan tidak menyediakan lapangan kerja di desa-desa. Para lulusan itu tak bisa hidup dari pengetahuannya, tetapi dari kerja. Wajib belajar gratis itu menyesatkan karena semakin menambah pengangguran yang tak pernah diselesaikan oleh negara. Diperparah korupsi Ketidakcukupan hidup ini semakin diperparah oleh merajalelanya korupsi para pemimpin. Sistem kepartaian yang memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi caleg demi ”balas dendam kemiskinan” semakin membuat runyam masalah kemiskinan ini. Tibalah pada keinginan rakyat terhadap ketenangan hidup. Rakyat tidak ingin hidup dalam ketakutan meskipun sudah sehat dan kaya. Pemimpin harus membebaskan rakyatnya dari ketakutan-ketakutan hidup di negara sendiri. Jangan sampai terjadi ”manusia perahu” yang kabur dari Indonesia untuk mencari ketenangan hidup di negara lain. Itulah gunanya ada pemerintahan untuk menjaga keterlibatan dan keamanan rakyatnya. Akhir-akhir ini, banyak pemimpin yang kecil nyalinya untuk menjamin ketenangan hidup rakyatnya. Mereka sendiri mengidap ketakutan. Rakyat membutuhkan pemimpin yang berani tegas demi ketenangan hidup rakyatnya. Janji-janji calon para pemimpin akhir-akhir ini lebih mencerminkan keinginan pribadi daripada keinginan rakyat. Keinginan dasar rakyat itu hanya ”tiga tuntutan rakyat” alias Tritura yang usianya sudah lebih setengah abad tetapi tak pernah terpenuhi. Rakyat sudah tahu apa yang mereka inginkan, tinggal bagaimana para calon pemimpin itu berpikir untuk mencapainya dengan benar-benar mengenal rakyatnya yang paling membutuhkan Tritura tersebut. Memecahkan masalah rakyat yang paling membutuhkan hidup sehat, hidup kecukupan, dan hidup dalam ketenangan merupakan pemecahan masalah seluruh rakyat. Kalau persoalan golongan rakyat paling sengsara hidupnya ini dapat diatasi, dengan sendirinya golongan-golongan di atasnya akan semakin terangkat pula. Hanya mereka yang mengenal baik penderitaan rakyat dan kemiskinan rakyat yang mengenal keinginan rakyat. Menjadi pemimpin bangsa yang begini besar membutuhkan pemimpin berjiwa besar. Bangsa ini tak akan pernah ada tanpa pemimpin-pemimpin besar semacam itu. Bangsa ini tak pernah berkembang tanpa pemimpin-pemimpin besar yang serupa. Pemimpin berjiwa besar di mana pun dan kapan pun tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Fokusnya hanya mengatasi penderitaan rakyatnya yang dibelit masalah kesehatannya, kemiskinannya, dan ketakutan hidup kolektifnya. Pemimpin besar tidak pernah mendahului rakyatnya untuk hidup kecukupan, seperti kapten kapal yang tak mau meninggalkan kapalnya yang tenggelam sebelum seluruh penumpangnya selamat. Presiden Vietnam Ho Chi Minh datang ke Indonesia tahun 1950-an cuma pakai sandal karena mayoritas rakyatnya belum mampu beli sepatu. Keinginan rakyat itu sederhana sekali, tetapi sudah hampir 70 tahun belum seorang pemimpin pun mampu memenuhinya. Tuhan kasihanilah kami. Bebaskan kami dari para pemimpin yang tidak tulus. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar