Seni Indonesia Sebelum Fat ManAgus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni |
KORAN TEMPO, 12 Agustus 2014
Amerika menjatuhkan bom uranium Little Boy di Hiroshima pada 6 Agustus, dan bom plutonium Fat Man di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Sejak itu, Jepang menyatakan diri takluk dalam Perang Dunia II. Indonesia pun merdeka. Di balik tentaranya yang sangat berangasan, pemerintah fasisme Jepang ternyata meninggalkan jejak-jejak kesenian yang mengesankan di bumi Indonesia. Peranan Jepang itu dimulai ketika Letnan Jenderal Imamura melakukan kerja sama budaya dengan Sukarno, yang diwujudkan pertama kali lewat pameran bersama karya seni rupa Indonesia dan Jepang pada September 1942. Kolaborasi semakin formal ketika Jepang mendirikan Keimin Bunka Sidosho (Pusat Kebudayaan), pada 1 April 1943. Dalam lembaga ini, ada bagian lukisan dan ukiran, kesusastraan, musik, sandiwara, film, dan tari-menari. Di situ muncul nama seniman Saseo Ono, Yashioka, T. Kohno, Soichi Oja, dengan didampingi Setioso, Emiria Soenassa, G.A. Soekirno, S. Sudjojono, Agus Djaya, Basoeki Abdullah, Henk Ngantung. Organisasi ini adalah penerus perkumpulan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) yang lahir pada Maret 1943. Poetera dibentuk oleh "Empat Serangkai" Mohamad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur, dan Sukarno. Persekutuan kesenian Indonesia-Jepang mendatangkan kegairahan bagi dunia seni. Dalam seni rupa, sejak Maret 1942 sampai April 1944, ada 14 acara pameran digelar. Puncaknya terjadi di gedung Keimin Bunka Sidosho di Jalan Noordwijk (kini jalan Juanda) Jakarta: Pergelaran Tenno Heika-Techo-setsu, atau pameran peringatan ulang tahun Kaisar Jepang. Di sini, karya ciptaan 60 pelukis Indonesia dipajang dan ditonton oleh 11 ribu orang dalam 10 hari! Seksi seni tari dan musik memperoleh perkembangan signifikan lantaran banyak difasilitasi. Seksi ini, di Keimin Bunka Sidhoso, diketuai oleh Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak yang pada kemudian hari sangat legendaris. Sedangkan seni pertunjukan yang terformulasi dalam tonil dan wayang wong (wayang orang) banyak digelar sebagai tontonan rakyat. Pada era ini busana wayang wong semakin didekatkan dengan busana seperti yang tergambar dalam wayang kulit. Suatu upaya yang pada beberapa dekade sebelumnya, yakni zaman Sri Mangkunegara VII di Surakarta, telah dirintis. Seni poster juga berkembang, karena Jepang ternyata tidak menyensor. Bahkan Jepang menstimulasi para seniman poster agar berlomba membikin poster-poster terbaik. Dari sini lahirlah seniman poster legendaris S. Tutur, nama yang kemudian dijadikan nama trofi bagi pencipta Poster Film Terbaik Festival Film Indonesia era 1980-1990. Jepang memang tak menyensor cipta seni Indonesia, kecuali dalam sektor seni sastra. Jepang menganggap bahwa karya literer lebih gampang memprovokasi daripada karya seni lain. Itu sebabnya sastrawan Sanusi Pane diangkat menjadi Ketua Keimin Bunka Sidhoso. Tujuannya, kalau nakal, mudah dijewer. Di sektor film, pemerintah Jepang juga menyorongkan kerja sama. Pada 1942 terproduksi tiga film, 1943 tiga film, dan 1944 lima film. Salah satunya berjudul Berdjoeang, yang diproduksi oleh Persafi atau Nippon Eiga Sha, dan disutradarai Raden Arifien. Film yang diperani oleh Moh. Mochtar, Dhalia, dan Sambas ini berisi propaganda heiho, tentara Jepang. Sebuah paradoks, kekuasaan Jepang yang memiriskan dan singkat ternyata menawarkan jejak seni yang layak diingat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar