Cerdas Membaca Gerakan ISMahmudi Asyari ; Peneliti dari International Conference on Islamic Scholar (ICIS) Jakarta |
SUARA MERDEKA, 07 Agustus 2014
"Meskipun IS mengklaim bergerak sendiri demi tujuan khilafah, sesungguhnya ada kekuatan Barat dan Israel" ISLAMIC State (IS) tengah membuat sejumlah negara, terutama di Timur Tengah, cemas dan khawatir. Hal itu logis mengingat gerakannya mengancam eksistensi sejumlah negara, tidak terkecuali Arab Saudi, yang sebelum kebangkitan al-Ikhwam al-Muslimun (IM) menjadi penyokong dana utama gerakan Wahabisme di dunia. Pola gerakan mereka meskipun tidak sampai membantai, realitasnya tidak jauh berbeda dari apa yang kini dilakukan IS, metamorfosis dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and Levant (ISIL). Salah satu contohnya adalah perusakan makam kerabat Sultan HB X di Yogyakarta dengan dalih sebagai sumber syirik. Namun ketika IM menjadi fenomena umum di Timur Tengah, tidak hanya negara seperti Aljazair yang jelas fobia terhadap Islam, Saudi yang oleh para penerima dana negeri itu dianggap sebagai model keislaman pun merasa harus bertindak cepat. Itulah sebabnya negara Wahabi tersebut mengeluarkan ancaman keras bagi semua warganya yang bergabung dalam gerakan radikal. Ancaman terhadap warganya semakin keras setelah IS sepertinya dibiarkan bergerak liar di Timur Tengah. Sikap Barat terutama terkait penolakannya untuk memberi bantuan kepada pemerintah Irak untuk membasmi IS seperti ada udang di balik batu. Hal ini berbeda dari ketika IM bangkit, tidak sedikit tudingan keras dan ancaman terhadap demokrasi dilayangkan. Terkait hal ini, sebenarnya tidak sulit memetakan perbedaan sikap tersebut karena pandangan IM terhadap Israel jelas, yaitu antinegara Yahudi. Lantaran sikap itulah maklum manakala tidak ada reaksi yang berarti ketika Mohammed Mursi digulingkan karena ia dianggap ancaman serius bagi eksistensi Israel. Inilah yang membedakan IS dari IM, karena meskipun gerakan yang mengklaim wilayah Irak dan Siria itu sangat radikal, mereka begitu mudah menumpahkan darah muslim yang dianggap berbeda aliran. Termasuk berani memaksa nonmuslim untuk mengonversi keimanan mereka. Namun lantaran tidak ada pernyataan apa pun terkait Israel, terutama ketika Gaza digempur, Barat sepertinya berdiam diri. Memang ada ’’kecaman alakadarnya’’ tapi tidak sampai ke taraf niat untuk menghentikan. Sekilas, permakluman terhadap sikap Barat bisa dipahami mengingat cikal-bakal IS adalah pemberontak yang berusaha menggulingkan Basyar al-Assad yang Syiah. Bahkan Barat memang mempersenjatai mereka, termasuk Saudi, sehingga ketika mereka bertindak brutal pun, Barat sepertinya tutup mata. Sampai di sini ’’masih masuk akal’’ dalih untuk menghilangkan tiran di Siria. Tetapi ketika Irak juga menjadi sasaran, saya mencurigai bahwa mereka telah terperalat oleh kepentingan luar sehingga niat untuk khilafah pun bisa saja hanya sebuah kamuflase. Pengaruh Iran Saya katakan terperalat, karena meskipun Saddam Husein telah jatuh, bukan berarti Barat selesai di Irak mengingat ternyata Syiah yang menjadi penguasa, sama halnya dengan di Siria. Ketika berbicara Syiah, tentu potensi ancaman pengaruh Iran lebih besar ketimbang Saudi dan Arab Sunni lainnya dan bukan tidak mungkin akan menjadi poros Syiah. Dalam konteks ini, IS diperlukan guna mencegah pengaruh Iran yang jelas-jelas anti-Barat. Terkait dengan tindakan radikal IS, jika tidak ingin dikatakan brutal, terlebih mengesankan hanya gerakan itu yang Islam dengan membawa jargon khilafah, negara-negara di Timur Tengah merasa terteror, tidak terkecuali yang mengaku republik dan sekuler. Bahkan, yang mengaku kerajaan berbasis sangat murni Islam pun seperti Saudi meskipun tidak pernah menegaskan kerajaan Islam, tidak luput dari perasaan itu. Pasalnya, bukan tidak mungkin dengan jargon khilafah, IS akan menggilas Saudi yang bukan rahasia lagi bahwa para keluarga kerajaan negeri itu sangat sekuler. Berkembangnya teror di Timur Tengah di mana negara-negara Arab pada akhirnya sibuk untuk diri sendiri guna mencegah IS, justru mendatangkan keuntungan besar bagi Barat. Dalam konteks ini, ibarat pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui, yaitu pertama; negara-negara Timur Tengah yang pada umumnya diikat oleh solidaritas kearaban (Arabisme) menjadi tidak bisa berpikir fokus untuk menghadapi Israel. Akibatnya, sikap mereka pun tidak akan solid terkait dengan kebrutalan negara Zionis itu. Kedua; Islamic State dengan jargon khilafah yang Sunni, bisa membendung pengaruh Iran di wilayah Irak, Siria, dan Bahrain. Jadi, meskipun IS mengklaim bergerak sendiri demi tujuan khilafah sebagaimana mereka persepsikan, sesungguhnya ada kekuatan luar (Barat dan Israel) yang ikut mengambil keuntungan. Andai Islamic State yakin tidak diperalat oleh Barat atau Barat mengklaim tidak memperalat gerakan radikal itu, sesungguhnya IS telah terperalat oleh Barat dan Israel. Semoga mereka belajar dari pejuang Afghanistan yang ketika Soviet hengkang, giliran para pejuang tersebut yang dikejar-kejar. Bagi Indonesia yang plural, tentu harus ekstrawaspada mengingat bukan tak mungkin benih-benih Islamic State sudah tertebar dan tertanam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar