Fondasi Baru EkonomiFX Sugiyanto ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro |
SUARA MERDEKA, 09 Agustus 2014
ARAH kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK mendatang memberi indikasi kuat akan berbasis pada fondasi ekonomi mikro. Cara pandang ini dalam terminologi akademik dikenal dengan microeconomic foundations of macroeconomic policy. Intinya, stabilitas ekonomi makro dibangun mendasarkan pada kuat dan sehatnya (robust) kinerja ekonomi mikro. Tiga pilar utama penyangga kebijakan tersebut adalah pemerataan; penguatan kinerja dan kemandirian ekonomi; serta penyehatan dan penguatan pengelolaan pemerintahan. Jokowi-JK menuangkan visi-misi mereka, yang kemudian dituangkan menjadi rencana kerja 5 tahun mendatang ke dalam 9 prioritas. Pilar pemerataan dituangkan pada prioritas ke-3 dan ke-5. Pilar penguatan kinerja dan kemandirian ekonomi dituangkan pada prioritas ke-6 dan ke-7. Pilar penyehatan dan penguatan pengelolaan pemerintahan dituangkan pada prioritas ke-2 dan ke-4. Pada prioritas ke-3 Jokowi-JK merumuskan kebijakan desentralisasi asimetris. Kebijakan demikian tak hanya diperlukan tapi juga faktual. Implikasi desentralisasi asimetris di antaranya dalam bentuk alokasi anggaran dan prioritas pembangunan untuk wilayah-wilayah tertinggal. Artinya, aspek spasial jadi faktor penentu penting dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Di pedesaan dan daerah-daerah perbatasanlah, ketertinggalan pembangunan yang bermuara pada kemiskinan berada. Peta kemiskinan paling banyak di pedesaaan. Sebanyak 16,56% penduduk pedesaan tergolong miskin, sementara di kota 9,87%. Sementara, di wilayah-wilayah perbatasan terutama wilayah luar Indonesia sering tidak mendapat perhatian. Strategi memberi prioritas wilayah pedesaan dan perbatasan ini sekaligus akan memperbaiki tingkat kesenjangan yang cenderung meningkat dan saat ini sangat tinggi. Indeks Gini nasional saat ini (tahun 2013) 0,42; meningkat dari 0,35 (tahun 2008). Prioritas ke-5 adalah meningkatkan kualitas hidup, melalui jalur peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kepemilikan aset melalui program landreform. Tiga program tersebut merupakan program untuk mengatasi rendahnya kapabilitas, yang menurut Amartya Sen (1999) sebagai penyebab kemiskinan. Tiga program tersebut mencakup dua dimensi pengembangan; dimensi kepemilikan sumber daya melalui landreform yang ditarget 9 juta hektare dan dimensi pengembangan sumber daya insani (human resource) melalui pengembangan kualitas pendidikan dan pendidikan dasar 12 tahun dan kesehatan. Dengan demikian, pilar ini akan menjamin pencapaian dua sasaran sekaligus, penurunan kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan antarwilayah, serta penurunan kemiskinan pada pusat-pusat kemiskinan. Prioritas ke-6 yakni peningkatan produktivitas dan daya saing internasional merupakan pendukung pilar kedua. Program penyokong prioritas ini meliputi dua kaki sekaligus, yakni pertama; penyediaan dan pengembangan infrastruktur, dan kedua; pengembangan sarana industri dan pendukung perdagangan. Program penyediaan infrastruktur ini sangat konkret, dengan target pembangunan 10 bandara baru, 10 pelabuhan baru, 2.000 km jalan baru, perbaikan jaringan irigasi yang mencapai jangkauan 3 juta hektare lahan. Menggerakkan kemandirian ekonomi dan sektor domestik strategis merupakan prioritas pendukung pilar kedua yang lain. Jokowi-JK menempatkan kekuatan ekonomi domestik sebagai mesin kemandirian ekonomi nasional. Dengan sekitar 250 juta jiwa penduduk, pendapatan per kapita 4.700 dolar AS dan tergolong negara kelas menengah, Indonesia merupakan pasar sangat besar sekaligus modal sangat besar untuk menbangun kemandirian ekonomi. Birokrasi Bersih Adapun inti pilar ketiga adalah membangun dan menciptakan pengelolaan pemerintahan yang bersih, efisien, dan dipercaya. Strategi dasarnya menciptakan birokrasi yang tidak korup, pelayanan cepat, dan tidak berbelit-belit. Salah satu indikatornya adalah penerapan standar pelayanan minimal secara konsekuen. Strategi ini sangat relevan dan urgen mengingat 60% kepala daerah dari 511 kabupaten/kota dan 34 provinsi di Indonesia terjerat kasus korupsi, baik masih sebagai tersangka maupun sudah terpidana. Jumlah tersebut, belum termasuk anggota legislatif dan pejabat pemerintah lain, baik pusat maupun daerah, yang juga terkena masalah sama. Di sisi lain, pelaku bisnis juga meyakini korupsi sebagai masalah utama penyebab rendahnya daya saing. Lima masalah utama yang dihadapi pelaku bisnis Indonesia adalah korupsi (19,3 %), birokrasi pemerintahan yang tidak efisien (15%), kurangnya infrastruktur (9,1%), akses untuk mendapatkan modal (6,9%), dan peraturan ketenagakerjaan yang restriktif (6,3%). Di atas tiga pilar tersebut, kabinet Jokowi-JK akan berdiri. Di antara tiga pilar yang tidak gampang untuk ditegakkan, tantangan pilar ketiga paling berat, yakni membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi dan terpercaya. Namun itu justru persoalan kita paling urgen saat ini andai ingin meningkatkan daya saing Indonesia pada tataran internasional. Bukan tidak mungkin kabinet Jokowi-JK harus berhadapan dengan para kolega. Namun tidak ada pilihan, hanya zaken kabinetlah yang akan mengantar Jokowi-JK selamat sampai 5 tahun ke depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar