Isu Besar PanganDwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia |
KOMPAS, 11 Agustus 2014
If I had only one hour to save the world, I would spend fifty-five minutes defining the problem, and only five minutes finding the solution Albert Einstein HIRUK-pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres, dan pemilihan presiden sudah berakhir. Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visi-misi serta janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani Indonesia memang berlandaskan peta permasalahan pangan yang ada serta memungkinkan direalisasikan pada periode pemerintahan mendatang. Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi (Montpellier, 2012). Hal sama terjadi di Indonesia. Perlu ribuan tahun hingga penduduk Indonesia mencapai 100 juta jiwa, dan setelah itu hanya perlu waktu sekitar 35 tahun untuk menjadi 200 juta (tahun 1998) dan 35 tahun berikutnya (tahun 2033) sudah mencapai 300 juta. Apabila sejak 40 tahun lalu hingga masa kini perebutan sumber daya minyak mewarnai dinamika geopolitik dunia, di masa depan pangan akan menggantikan energi sebagai pemicu gejolak politik dunia. Dengan demikian, siapa pun pemimpin kita, apabila mengabaikan masalah pangan, persoalan pangan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial dan bahkan penggantian pemerintahan melalui mekanisme yang tidak diharapkan oleh semua orang. Peta permasalahan pangan Di tingkat global dan nasional memproduksi pangan yang mencukupi sudah mulai dihadapkan dengan berbagai kendala besar. Kendala itu di antaranya menurunnya permukaan air tanah, laju peningkatan produksi yang mulai stagnan, perubahan iklim yang mengacaukan pola budidaya, meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman, deplesi cadangan fosfat sebagai bahan baku pupuk P, serta degradasi dan erosi tanah yang terjadi di hampir semua negara di dunia. Sebagai dampaknya, stok biji-bijian dunia menurun dari 107 hari konsumsi pada sepuluh tahun lalu menjadi hanya 74 hari konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini (LR Brown, 2012, Full Planet, Empty Plates). Harga pangan dunia meningkat 200 hingga 300 persen yang berdampak serius bagi penduduk miskin dunia yang pendapatannya 50 hingga 70 persen dibelanjakan untuk pangan. Permasalahan pangan di Indonesia tak kalah pelik. Terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan pangan pasca Reformasi menyebabkan kita kian dalam masuk jurang impor pangan yang menghambat upaya mandiri di bidang pangan dan mengorbankan petani kecil. Impor pangan yang semakin membesar selama sepuluh tahun terakhir ini merupakan kenyataan. Selama periode pemerintahan terakhir, impor pangan dibandingkan dengan tahun 2004 meningkat tajam. Beras meningkat 482,6 persen, daging sapi 349,6 persen, cabai 141,0 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89,0 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen (DA Santosa, Kompas, 26/3/2014, diolah dari Bappenas 2014 dan USDA 2014). Ironisnya anggaran sektor pangan dan pertanian selama sembilan tahun terakhir ini meningkat 611 persen! Selain itu, petani kecil selama ini hanya menjadi obyek kebijakan. Petani terpaksa harus mencari upaya untuk menyelamatkan diri sendiri. Spekulasi dan serbuan produk impor telah mengempaskan puluhan ribu petani hortikultura karena harga hortikultura yang jatuh saat panen. Harga cabai selama dua bulan terakhir ini jatuh di bawah biaya produksi karena masuknya cabai olahan impor yang menyebabkan petani merugi puluhan juta rupiah per hektar (Kompas, 7/7/2014). Petani tebu juga menghadapi hal yang sama. Gula rafinasi yang diimpor masuk ke pasar bebas dan persetujuan impor gula kristal putih oleh Kementerian Perdagangan (10/7/2014) menghancurkan harga gula di tingkat petani justru ketika petani tebu mulai memasuki panen raya. Siklus itu terus berulang setiap tahun dan terjadi di hampir semua komoditas, baik bawang merah, bawang putih, kedelai, jagung, beras, ikan, maupun garam. Karena harga pangan merupakan penyumbang inflasi terbesar, perlindungan harga di tingkat konsumen menjadi kebijakan utama yang ditempuh pemerintah. Rezim ketahanan pangan juga menempatkan investor asing, mafia pangan, pengusaha besar, industri pangan, pedagang pangan, dan penyedia input produksi berada di puncak piramida struktur pertanian kita. Hingga saat ini tidak ada keberanian dari pemerintah untuk mengubah itu semua. Pola konsumsi masyarakat juga berubah. Konsumsi beras menurun rata-rata sebesar -1,62 persen setiap tahun (BPS 2014). Penurunan konsumsi beras itu bukan disebabkan beralihnya konsumsi ke sumber karbohidrat lokal lainnya, melainkan lebih disebabkan peningkatan konsumsi pangan olahan berbasis tepung terigu yang meningkat tajam. Impor gandum selama periode tersebut meningkat rata-rata sebesar 8,6 persen setiap tahun (diolah dari WOAB, USDA 2014). Pengeluaran rata-rata untuk konsumsi makanan dan minuman jadi meningkat tajam rata-rata sebesar 14,7 persen (BPS 2014). Pola konsumsi berbasis impor Perubahan gizi masyarakat juga praktis tak terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya dikuasai perusahaan multinasional meningkat tajam 4,6 persen untuk daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras setiap tahun. Sumber protein hewani asal rakyat dan petani kecil berupa daging ayam kampung, telur ayam kampung, dan telur itik menurun tajam masing-masing 1,67 persen, 7,30 persen, dan 9,78 persen setiap tahun (BPS 2014). Konsumsi tahu dan tempe yang merupakan sumber penting protein nabati—sekalipun sumber bahan bakunya sebagian besar impor—peningkatannya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, yaitu hanya 0,16 persen per tahun. Lebih memprihatinkan penurunan konsumsi ikan lima tahun terakhir dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yaitu minus 2,19 persen (diolah dari BPS 2014). Pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen selama periode pemerintahan sekarang praktis tak berdampak terhadap perubahan pola konsumsi ke arah kedaulatan pangan dan bahkan tak berdampak apa pun terhadap upaya peningkatan gizi masyarakat. Program diversifikasi gagal dan pola konsumsi masyarakat kian bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan berbasis impor dan produk korporasi. Alih-alih meningkatkan kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai saat ini tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam lima tahun terakhir justru semakin liberal dan sangat condong ke korporasi asing. Jumlah investasi asing (Foreign Direct Investment/ FDI) untuk sektor pertanian melalui lisensi yang telah diterbitkan pemerintah meningkat luar biasa tinggi, yaitu dari 1221 pada tahun 2009 menjadi 4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo dua tahun (BKPM 2012). Pada periode 2010-2013 nilai investasi asing di bidang pangan dan perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014). Kecenderungan ini sungguh mengkhawatirkan, apalagi pada 2015 Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hambatan tarif dan nontarif akan dihilangkan dan prosedur karantina akan diintegrasikan melalui ASEAN Single Window. Bahan pangan maupun pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan dengan bebas masuk ke pasar terbesar ASEAN, yaitu Indonesia, tanpa hambatan. Petani dan nelayan kecil semakin dibenturkan sistem perdagangan pangan dan pertanian yang tak adil bagi mereka. Dengan demikian, perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur kedaulatan pangan bisa benar-benar terwujud dan tidak menjadi jargon kampanye tanpa isi. Pemerintah mendatang perlu merenegosiasi seluruh perjanjian regional maupun internasional yang selama ini terbukti memperparah kondisi petani. Pola liberalisasi yang kebablasan perlu direm dengan meninjau ulang seluruh UU terkait pangan dan pertanian serta semua produk turunannya. Seluruh visi-misi dan program yang sudah ditulis perlu dibedah dan dikemas ulang sehingga benar-benar implementatif menuju kesejahteraan petani dan nelayan serta menuju Indonesia yang berdaulat di bidang pangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar