Pendekatan Paradigma Tangkal ISKaryudi Sutajah Putra ; Tenaga Ahli DPR |
SUARA MERDEKA, 12 Agustus 2014
"Jangan memakai neraka atau surga sebagai ancaman karena bisa mengubah yang radikal jadi ekstrem" RAKYAT Indonesia, terutama muslim, kini tengah gerah berkait eksistensi Islamic State (IS), metamorfosis dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang kemudian berubah lagi menjadi Islamic State in Irak and Levant (ISIL). Kegerahan terhadap teroris sempalan Al Qaedah itu dipicu oleh beredarnya video berjudul ìJoin the Ranksî yang diunggah ke Youtube pada 22 Juli 2014. Pemeran dalam video itu, Abu Muhammad Al-Indonesi alias Bachrumsyah, mengajak warga Indonesia mendukung perjuangan IS menjadi khilafah dunia. Bachrumsyah adalah anggota Mujahidin Indonesia Barat, kelompok teroris yang didirikan Abu Roban, yang mencari dana dengan cara menjarah bank, kantor pos, gerai ponsel dan toko bangunan. Mereka menganggap hasil jarahan itu sebagai harta rampasan perang (ghanimah). Terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Ba’asyir, dan 23 narapidana kasus terorisme lainnya disebutsebut telah berbaiat, bahkan mengajak pengikutnya di Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) untuk mendeklarasikan dukungan. Sejumlah orang juga telah menjalani pembaiatan di Masjid Baitul Makmur, Solo Baru, perbatasan antara Solo dan Sukoharjo, dipimpin Afif Abdul Majid, pada 15 Juli 2014. Dilaporkan, ada sekitar 7.000 militan IS bergerilya di seluruh dunia, dan Indonesia salah satu dari 50 negara yang menjadi sasaran gerakan mereka. Badan Intelijen Negara (BIN) mencatat sedikitnya 56 warga Jawa Timur berangkat ke Timur Tengah untuk bergabung, 6 di antaranya tewas dengan bom bunuh diri. Disinyalir, paham IS telah menyebar ke Jawa Tengah, dan berbagai provinsi lain di Indonesia. Presiden SBY pada Senin (4/8/14), melarang penyebaran ajaran IS Indonesia karena bertentangan dangan Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Mendagri Gamawan Fauzi pun mengeluarkan edaran perlunya peran aktif kepala daerah dalam penanganan penyebaran paham sesat itu di wilayah kerjanya. Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada Kamis (7/8/14), mengharamkan ajaran Islamic State. Ketua MUI Jateng KH Ahmad Darodji sehari sebelumnya juga mengeluarkan fatwa serupa mengingat bagi umat Islam, Pancasila dan NKRI sudah final. Kepala BNPT Ansyaad Mbai menyebut IS termasuk kelompok teroris. Sekjen PBB Ban Ki-moon, katanya, juga memberi cap serupa. Dukungan warga Indonesia kepada mereka, kata Ansyaad, masuk kategori pelanggaran hukum, dan pendukung di Indonesia bisa kehilangan kewarganegaraannya. Menkumham Amir Syamsuddin sedang mengkaji penerapan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Polri pun sebenarnya sudah ancang-ancang. Meski tak memiliki wewenang menangkap WNI yang menyebarkan paham itu di Indonesia, Polri bisa menangkap mereka jika memang kedapatan pergi atau baru pulang dari Irak atau Suriah. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Ronny F Sompie, Kamis (7/8/14), tindakan WNI ikut memperjuangkan kemerdekaan negara lain di luar Indonesia dapat disebut makar terhadap negara sahabat. Untuk itu bisa diterapkan Pasal 139 a KUHP tentang Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan Kepala Negara Sahabat. Cara Efektif Polri juga bisa membubarkan kegiatan pengikut IS sesuai Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, dan pemda bisa mencegah penyebaran paham sesat itu berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 61 yang dijunctokan Pasal 59 UU Ormas untuk sanksinya. Akankah upaya represif Polri itu efektif? Apalagi, kata pentolan IS di Indonesia, dukungan bagi organisasi mereka masih berupa wacana sehingga tak bisa dipidanakan. Penyebaran paham mereka, yang disebut ekstrem kanan juga dilakukan secara laten. Penulis sependapat dengan Khatib Syuriah PBNU Masdar F Mas’udi yang berpendapat pendekatan paradigma adalah cara efektif menangkal ajaran agama ekstrem. Cara itu strategis dan berdurasi panjang untuk menghadapi bahaya laten berkembangnya paham ekstrem, seperti IS. Ia juga menekankan harus ada perubahan paradigma, jangan mengunakan neraka dan surga sebagai ancaman karena justru bisa mengubah yang radikal menjadi ekstrem. Ustadz, ulama, dan kiai harus mengutamakan persahabatan, seperti bagaimana menyapa orang dengan santun dan menolong orang dengan ikhlas, ketimbang menuturkan amarah Tuhan. Masdar juga mengajak ulama dan pemuka agama lain untuk tak mengarahkan umat melihat agama hanya sebagai sumber ketakutan. Ajaran agama yang mendikotomikan lawan dan kawan harus ditolak karena akan mengacu perang. Mengapa IS mendapat pengikut di Indonesia? Ada yang menyinyalir, pertama; karena kita memiliki toleransi tinggi terhadap kebebasan beragama. Kedua; karena pengetahuan dan informasi masyarakat mengenai agama/kepercayaan cenderung sedikit tapi ingin berbuat lebih banyak. Ketiga; masih tumbuhnya paham terorisme, dan orang-orang yang memendam keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti dulu dilakukan NII atau DI/TII Kartosuwiryo. Terlepas dari semua sinyalemen itu, pemerintah dan penegak hukum harus cepat mengambil langkah supaya paham ideologi tersebut berhenti menjadi bola salju yang terus membesar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar