Menunggu Vonis PilpresMoh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi |
KORAN SINDO, 09 Agustus 2014
Kalau kita mengikuti dakwaan jaksa dalam suatu peradilan pidana, kerap kali kita dibuat manggutmanggut, bersetuju dengan dakwaan jaksa, bahkan kadang memuji jaksa karena berhasil membuat dakwaan dalam sebuah konstruksi hukum yang logis. Kita sering spontan mengatakan dakwaan jaksa benar dan karenanya terdakwa harus dihukum sesuai dengan rentang ancaman di dalam hukum pidana. Tapi ketika pada sidang berikutnya giliran terdakwa atau kuasa hukumnya mengajukan pembelaan, kita pun sering berubah pikiran. Kalau tadinya membenarkan dan memuji jaksa, kini berubah membenarkan terdakwa atau pengacaranya karena mereka berhasil membuat alibi yang, tampaknya, mematahkan dakwaandakwaan jaksa. Jadi ketika jaksa mengajukan dakwaan, kita kerap langsung mengatakan, “Jaksa benar, terdakwa harus dihukum.” Tapi setelah terdakwa atau pengacaranya mengajukan pembelaan kita pun sering langsung berubah dan mengatakan, “Jaksa keliru, terdakwa tidak bersalah dan harus dibebaskan.” Jadi sikap kita atas suatu perkara yang sedang berlangsung di pengadilan kerap kali berubah-ubah, tergantung apa yang baru kita dengar. Penentu dari semua itu adalah keyakinan hakim setelah melalui proses pembuktian. Dalil hukum atas kekuatan bukti dan keyakinan hakimlah yang akan menentukan mana yang benar atau salah menurut hukum dari pertentangan antara jaksa dan terdakwa atau pengacaranya. Dan ketika hakim memutus berdasar bukti dan konstruksi hukum yang diyakininya, kita pun sering berkata, “Oh, vonis hakim itu yang benar.” Demikian juga sikap-sikap kita saat menanggapi kasus sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang sekarang ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat mendengar isi gugatan (tepatnya permohonan) yang disampaikan pasangan Prabowo-Hatta kita cenderung mengatakan, “Prabowo-Hatta benar, harus dimenangkan karena ada kesalahan dan kecurangan.” Tapi ketika pihak KPU memberi jawaban atau bantahan, apalagi setelah didukung oleh pihak terkait, pasangan Jokowi-JK dan Bawaslu, pikiran kita pun berubah, “Ah, KPU sudah benar, Jokowi-JK harus tetap dimenangkan.” Ketika pada hari Jumat sore kemarin pihak Prabowo-Hatta mengajukan saksi-saksi dari Jawa Timur, pikiran kita pun larut dan mulai mengatakan, “Eh, benar-benar terjadi pelanggaran serius, ada kecurangan, KPU tidak prudent, harus ada pemungutan suara ulang atau Prabowo-Hatta harus dinyatakan menang.” Sangat mungkin, setelah pihak KPU dan pihak terkait besok Senin mengajukan saksisendiriyangmenunjukkan bukti sebaliknya, pikiran kita akan berubah lagi, “KPU sudah benar, permohonan Prabowo- Hatta harus ditolak dan Jokowi- JK harus tetap dinyatakan menang.” Pada akhirnya kecanggihan menyusun argumen dan menyodorkan bukti-bukti yang dapat meyakinkan hakimlah yang akan menjadi penentu, siapa yang menang dan siapa kalah dalam sengketa pilpres di MK ini. Keyakinan hakim adalah kunci utama untuk menentukan bagaimana nasib keputusan KPU tanggal 22 Juli 2014 yang lalu tentang pemenang pilpres. Tapi keyakinan hakim itu tidak datang begitu saja, melainkan lahir dari argumen dan bukti-bukti yang kuat selama proses persidangan. Berdasar ketentuan UU dan putusan-putusan MK terdahulu, ada setidak-tidaknya tiga kemungkinan vonis MK yang menurut jadwal akan diucapkan tanggal 21 Agustus 2014 ini. Pertama, MK mengabulkan permohonan dengan membatalkan keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut MK serta menyatakan Prabowo-Hatta menjadi presiden/wapres terpilih. Amar putusan yang seperti ini dimungkinkan apabila berdasar penghitungan atas lebih dari 200.000 form C-1 yang diajukan sebagai bukti ke MK memang ada kesalahan yang dilakukan KPU yang menyangkut sejumlah suara yang signifikan. Estimasinya, jika dirata-ratakan dari setiap form C-1 ada kesalahan 25 suara yang merugikan Prabowo-Hatta, jumlahnya sudah signifikan untuk mengubah kemenangan. Kedua, MK menolak permohonan pemohon dan menyatakan Jokowi-JK tetap sebagai presiden/wapres terpilih karena meskipun Prabowo-Hatta berhasil membuktikan kecurangan atau kesalahan, kesalahan atau kecurangan tersebut tidak signifikan (dalam angka) dan tidak bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sebagai proses. Meski terbukti ada kesalahan penetapan jumlah suara yang merugikan Prabowo-Hatta, jika jumlah suara yang salah itu tidak mencapai lebih separuh dari kekalahan Prabowo-Hatta (sekitar 8,4 juta suara), MK pasti menolak permohonan untuk mengubah pemenang itu. Begitu juga MK pasti akan menolak membatalkan keputusan KPU meski ditemukan pelanggaran dalam proses pemilu itu apabila pelanggaran itu bersifat sporadis atau hanya terjadi di daerah tertentu yang jumlah pemilihnya tidak sepadan dengan selisih suara yang telah ditetapkan KPU. Ketiga, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di daerah-daerah tertentu (bahkan juga di seluruh Indonesia) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap form C-1 ditemukan adanya pemberi suara gelap yang jumlahnya signifikan bisa mengubah kemenangan. Pemberi suara gelap itu misalnya pemilih yang menggantikan orang lain, memilih di lebih dari satu TPS, pemilih melebihi jumlah kartu suara DPT plus 2% cadangannya, mobilisasi pemilih tanpa form A-5. Pemungutan suara ulang juga bisa diperintahkan oleh MK jika terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif di daerah-daerah yang mempunyai pemilih yang jumlahnya signifikan untuk mengubah kemenangan. Kita tunggu vonis MK. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar