ISIS, Sunni, dan SyiahAhmad Syafi’ Mufid ; Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama |
KORAN SINDO, 11 Agustus 2014
Kontroversi Islamic State of Irak and Syria (ISIS) kian merebak sekaligus membingungkan. Kekejaman ISIS dalam membantai musuh-musuhnya, terutama yang berasal dari Mazhab Syiah benar-benar membuat merinding siapa pun. Jejeran kepala manusia yang dipenggal oleh tentara ISIS, seperti ditunjukkan dalam Youtube, benar-benar mengesankan bahwa “Islam” sedang menuju zaman barbar. Bendera ISIS yang berisi kalimat tauhid, sangat kontras dengan makna kalimat tauhid tersebut. Paham radikal dan ekstrem yang ditunjukkan ISIS ternyata tidak mengarah pada pembelaan terhadap Palestina yang tengah dibombardir Israel. Sebaliknya, ISIS malah menyerang Pemerintah Irak dan Suriah yang dipimpin orang-orang Syiah. Dari fakta-fakta tersebut, ISIS tampaknya lebih concern untuk menghabisi muslim Syiah ketimbang memerangi Bangsa Yahudi yang selama ini menjadi monster menakutkan di Palestina. Yang menarik, ISIS mengklaim dirinya sebagai pengikut Sunni. Sedangkan negeri-negeri yang tengah diserangnya, Suriah dan Irak, dicap sebagai negeri Syiah. Dengan mendikotomikan sunni dan syiah inilah, ISIS berhasil memengaruhi para pengikut muslim sunni, termasuk di Indonesia. Propaganda anti-Syiah yang masih di Indonesia menjadikan kaum Syiah seperti musuh yang harus dienyahkan. Sunni ala ISIS versus Sunni Indonesia Islam mazhab Sunni adalah mazhab atau aliran dalam Islam yang eksis dan dominan sepanjang sejarah, khususnya di kawasan Nusantara. Diawali dengan hubungan dagang antara penduduk pribumi dengan pedagang Arab, Persia, India, dan China, penduduk Nusantara juga mengenal dan mengikuti agama dan mazhab yang mereka anut. Dalam kerangkainikaum sayidyang berasal dari Hadramaut (Hadrami) mengambil peran penting dalam membangun model keberagaman penduduk Nusantara, karena selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam dan membangun tradisi. Mereka ini umumnya menganut mazhab Syafi’i dan mendominasi corak keislaman pesisir Samudera Hindia (Alatas, 2010). Secara harfiah, Ahlusunah Waljamaah (Aswaja) adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ijmak ulama. Istilah Aswaja sering digunakan untuk menyebut kaum atau komunitas yang menganut paham teologi (kalam) asyariyah-maturidiyah, menganut fikih empat mazhab, utamanya Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran Imam al-Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi. Dahulu, mereka yang berpandangan seperti ini adalah orang-orang Nahdlatul Ulama (NU). Kaum NU inilah yang disebut dengan Aswaja. Doktrin Aswaja juga menjadi ciri utama dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan kader organisasi seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Muhammadiyah, Persatuan Islam, Syarikat Islam, Al Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, meski jelas-jelas menganut paham Ahlusunah Waljamaah tidak pernah disebut sebagai kaum Aswaja. Sebabnya, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi tersebut dalam pemahaman dan pengamalan Islam lebih menekankan kepada kembali kepada Alquran dan Sunah, menolak taklid kepada ulama, pemurnian aqidah, dan pengamalan tasawuf tanpa tarekat (Azra, 2012: xiii). Sementara, NU sebagai pendukung Aswaja, menambah praksis ibadah dengan taqlid kepada ulama, mengamalkan apa yang disebut dengan fadha’il al-a’mal, dan tarekat. Paham Aswaja dalam pandangan kiai di Jawa memiliki pengertian yang lebih sempit, tidak hanya untuk membedakan dengan paham dan penganut Syiah tetapi juga untuk membedakan dengan kelompok Islam modernis. Perbedaan antara kelompok Aswaja dengan kelompok modernis pada waktu lalu memang cukup tajam. Aswaja sering kali juga disebut “aliran lama” yang dianut oleh “kaum tua” berhadapan dengan “aliran baru” dengan penganut “kaum muda”. Tetapi dalam tiga puluh tahun belakangan, telah terjadi konvergensi antara kelompok Aswaja dengan modernis. Banyak pengikut NU atau Aswaja, terutama di perkotaan yang mengikuti praktik ibadah salat Tarawih delapan rakaat dan salat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan. Sebaliknya, penganut “aliran baru” juga tidak menolak diajak istigasah, selamatan dengan membaca tahlildan surat Yasin. Sekat budaya (cultural barrier) yang memisahkan keduanya telah runtuh. Hal itu disebabkan terjadinya dialog wacana dan dialog kehidupan yang intensif antara keduanya. Munculnya generasi muda dari kedua belah pihak yang mengakui adanya pluralitas, sehingga muncul paham “agree in disagreement”, membuat mereka memandang perbedaan pemahaman keagamaan dalam perspektif yang luas. Pertukaran pendidikan di antara kedua kelompok ini juga terjadi secara masif. Banyak anak orang NU yang sekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, dan sebaliknya banyak anak Muhammadiyah yang masuk pesantren milik kiai NU. Paham Ahlusunah Waljamaah di kalangan NU juga sudah tidak lagi sempit, isolatif, tertutup apalagi eksklusif, melainkan telah menjadi “paham terbuka” yang harus menerima pikiran-pikiran dari luar yang mengayakan (Ismail, 2004: 131-134). NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa keduanya adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak lagi menempatkan pertarungan politik sebagai tujuan yang dominan. Paham dan gerakan Salafi pada masa kini juga mengklaim dirinya sebagai Aswaja, padahal dalam hal furu’ mereka berbeda dengan kelompok NU. Mereka tampil beda dengan mengenakan jubah panjang (jalabiyah), sorban (imamah), celana yang menggantung (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah). Perempuannya mengenakan pakaian hitam-hitam yang menutupi semua tubuh dan wajah mereka, kecuali mata. Jika menyelenggarakan walimah, undangan dipisahkan dengan tabir antara laki-laki dan perempuan. Khutbah, ceramah dan pengajian yang mereka lakukan selalu dimulai dengan iftitah yang standar dan sama, mengacu pada iftitah khutbah Nabi SAW. Oleh banyak ahli, kelompok ini disebut gerakan neo-fundamentalism non-revolusioner (Atho Mudzhar, 2012). Menurut Mudzhar, Salafisme kontemporer merupakan Wahabisme yang dikemas ulang mengikuti pikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Andul Wahab serta merujuk kepada pemegang otoritas fatwa Wahabi kontemporer seperti Abdul Azis bin Abdullah bin Baz (1912-1999) dan Muhammad Nasirudin Al-Bani (W. 1999). Lantas, di mana posisi ISIS dalam konstelasi tersebut di atas? Apakah klaim Sunni-nya benar? ISIS pimpinan Al Baghdadi sebelumnya adalah pimpinan Al Qaeda Irak. Sebagaimana kita ketahui, Al Qaeda adalah gerakan yang mengusung paham radikal dan karenanya menafikan "liyan" dan bahkan menyebut sebagai kafir. Bagi mereka orang yang sudah diputus kafir, boleh diperangi atau dibunuh. Inilah yang harus kita cermati. Kita bangsa Indonesia yang mempunyai dasar negara Pancasila, jelas terlarang “mengikuti” jejak ISIS yang barbar, yang berseberangan dengan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim Allah. Klaim Al-Baghdadi sebagai khalifah Islam juga tak bisa dibenarkan karena basis kekhalifahan adalah umat (Islam), bukan bangsa. Para pengusung ide khilafah, seperti Hizbut Tahrir, tidak dapat menerima kekhalifahan Al Baghdadi karena cara pengangkatan khalifah tidak memenuhi ketentuan syariat. Bagi bangsa Indonesia yang umumnya juga menganut mazhab Sunni, pandangan dan gerakan ISIS tidak sesuai bahkan bertentangan. Saat ini ketika dunia sudah terdiri dari berbagai bangsa dan negara yang penduduknya meliputi berbagai agama, klaim kekhalifahan menjadi ahistoris. Negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan berbicara dalam satu bahasa, nyatanya menganut berbagai sistem pemerintahan seperti republik, emirat, kerajaan, dan Republik Islam. Dalam konteks inilah kenapa Menag Lukman Hakim Saifuddin melarang bangsa Indonesia berbaiat ke ISIS. Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila adalah dasar negara yang sudah final. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar