“Udang” di Balik ParcelToto Subandriyo ; Asisten Administrasi Pembangunan Sekretaris Daerah Kabupaten Tegal |
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2014
Kontroversi tentang pemberian parsel kembali mencuat ke ruang publik beberapa hari menjelang Lebaran. Kontroversi seperti itu selalu terjadi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan larangan bagi pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara menerima/memberi parsel pada tahun 2004. Tradisi memberi parsel Lebaran merupakan kebiasaan yang sudah berlangsung turun-temurun sebagai sarana mempererat tali silaturahmi. Setidak-tidaknya terdapat empat hal yang terkandung dalam larangan KPK terkait dengan parsel. Pertama; KPK mengingatkan pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk tidak menerima/memberi gratifikasi sebagaimana diamanatkan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi di dalam peraturan itu didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas. Yaitu pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Tiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, bila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Kedua; semua penyelengggara negara, pejabat pemerintah, anggota DPR, DPD, DPRD, duta besar, kepala daerah, pejabat BUMN/BUMD, untuk tidak menerima/mengirim parsel kepada atasan masing-masing atau kepada sesama penyelenggara negara. Ketiga; penyelenggara negara yang menerima bingkisan atau parsel, wajib melaporkan kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima bingkisan tersebut untuk diproses status hukum kepemilikannya. Keempat; masyarakat diimbau menghentikan kebiasaan memberikan ucapan selamat kepada pejabat pemerintah dan penyelenggara negara dalam berbagai bentuk. Dalam praktik sehari-hari mungkin saja pejabat memberi layanan tertentu kepada seseorang dengan harapan kelak mendapat imbalan tertentu. Padahal, melayani publik merupakan tugas dan kewajibannya. Seorang bawahan yang hendak menduduki jabatan tertentu, maka ia akan mendatangi pejabat berwewenang sambil membawa parsel, atau dari pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat kementerian, dan sebagainya. Pola transaksional seperti itu menyuburkan praktik suap dan korupsi. Keberanian menolak pemberian parsel terkait erat dengan integritas seseorang. Berbicara tentang integritas mungkin kita dapat belajar dari langkah yang pernah ditempuh sastrawan besar Sartre. Demi menjaga integritasnya, Sartre dengan tegas menolak pemberian penghargaan Nobel Kesusasteraan, sebuah penghargaan paling prestisius yang menjadi impian semua sastrawan di dunia. Menurutnya, menerima hadiah Nobel Kesusasteraan akan membuat kemerdekaan kreatifnya terpasung. Revolusi Mental Menyandingkan penolakan hadiah Nobel dengan penolakan parsel mungkin terlalu berlebihan. Namun dipandang dari sisi integritas, boleh jadi keduanya mempunyai nilai sama. Apalagi dalam perkembangannya, pemberian parsel Lebaran di negeri ini tidak lagi sebatas mempererat tali silaturahmi, tetapi telah menjelma semacam upeti. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS telah menegaskan bahwa mereka dilarang menerima sesuatu dari siapa pun yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. Ketentuan ini sejalan dengan amanat reformasi birokrasi untuk membangun kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh jajaran aparatur negara. Lebih jauh, upaya ini ditujukan untuk merestrukturisasi lembaga dan merevitalisasi PNS, mendekooptasi birokrasi dan BUMN dari kepentingan politik, serta memutuskan mata rantai relasi kolusif antara politikus, birokrat, dan pebisnis. Pemberantasan korupsi memang harus dimulai dari langkah-langkah kecil seperti penolakan parsel Lebaran. Waspadalah, ada ’’udang’’ di balik parsel. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar