KemenanganAgus Noor ; Esais, Prosis |
KOMPAS, 21 Juli 2014
RAMADHAN, Piala Dunia, dan pilpres terasa saling berkaitan saat ini untuk merefleksikan makna kemenangan. Ramadhan disebut ”bulan kemenangan” yang ditandai dengan limpahan rahmat. Piala Dunia dan pilpres tak bisa dilepaskan dari hasrat untuk menjadi pemenang. Dalam politik, tak ada kekuasaan tanpa kemenangan. Hasrat akan kemenangan merupakan sifat dasar manusia yang kompetitif, juga hasrat untuk berkuasa seperti ditegaskan Nietzsche, menjadi manusia unggul, Übermensch. Kemenangan adalah keberhasilan meraih target optimal yang diharapkan. Kemenangan ditentukan oleh hasil akhir. Kemenangan dalam pilpres, misalnya, tak bisa dilepaskan dari hasil akhir penghitungan suara. Karena itu, dalam kompetisi politik, nasihat bijak ”kekalahan adalah kemenangan yang tertunda” kerap terasa konyol sebab kekalahan dalam politik berarti ”habis modal”. Apalagi dalam kompetisi politik yang mengutamakan kapitalisasi modal untuk menggalang kemenangan. Demi meraih hasil akhir kemenangan itulah berbagai cara ditempuh, jika perlu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti dogma Niccolo Machiavelli. Dimensi etis kemenangan Namun, kemenangan sesungguhnya tak melulu soal hasil. Ada nilai etis yang sesungguhnya inheren dan tak bisa diabaikan begitu saja dalam proses dan perjuangan mencapai kemenangan. Itulah sebabnya ”bagaimana meraih kemenangan” menjadi hal yang menentukan kualitas suatu kemenangan. Dimensi etis dalam kemenangan membuat kita menghargai proses, sebagai bagian dari pergulatan mencapai kualitas keluhuran manusia sebab apabila dimensi etis itu hilang, kemenangan sebagai upaya meraih tingkat keluhuran bisa menjadi sesuatu yang merusak tatanan nilai. Ada kemenangan faktual ketika ukuran kemenangan didasarkan pada fakta, data, peraturan/perundang-undangan yang menjadi acuan ketetapan. Berdasarkan fakta, kemenangan menjadi tak terbantahkan. Semisal, dalam Piala Dunia 2014 kesebelasan Jerman mengalahkan Brasil, 7-1. Siapa pun, baik individu maupun media, tak bisa membantah fakta itu. Kecuali jika ada televisi, misalnya, ”yang memang beda” lalu memanipulasi fakta itu menjadi kemenangan Brasil. Karena kemenangan faktual bisa dimanipulasi, ada dimensi yang tak boleh dilupakan, yakni hal yang substansial dalam kemenangan. Di sini proses dan cara bagaimana kemenangan diperjuangkan mendapat apresiasi karena nilai etis yang dicapainya. Kesebelasan Belanda dikenal sebagai ”juara tanpa mahkota” karena total football-nya yang indah. Ada substansi yang membuat perjuangan meraih kemenangan menjadi berharga, bahkan terkadang, mendapatkan apresiasi tinggi ketimbang kemenangan faktual yang diraih tidak dengan cara-cara elegan. Ketika yang faktual dan substansial menjadi hal yang tak terpisahkan, itulah kemenangan ideal. Fair play, sebagaimana dalam sepak bola, adalah manifestasi keinginan mencapai yang ideal itu. Dimensi etis itu memprasyaratkan bahwa yang substansial tak bisa dipisahkan dari perkara teknis dan prosedural untuk mencapai kemenangan. Dimensi etis juga membuat kemenangan sering dipandang sebagai sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari yang transendental, sebagaimana banyak diutamakan dalam implementasi keimanan; seperti makna puasa sebagai upaya ”meraih kemenangan” yang merupakan proses kesadaran yang bersifat transendental; kemenangan bukan lagi untuk pembuktian kemenangan diri, tetapi pencapaian menuju yang ilahiah. Kemenangan sering kali tak terukur nilainya, justru karena ia tak hanya sekadar perkara yang faktual. Hierarki nilai Bagaimana dimensi-dimensi kemenangan di atas menjadi relevan bagi tiap orang, tentu saja berbeda-beda penyikapannya. Namun, kita bisa mengimplementasikan ”hierarki nilai” Max Scheler, filsuf Jerman, untuk ”mengukur dan menilai”, sejauh apa kemenangan itu menjadi berarti bagi kemanusiaan kita. Menurut Scheler, terdapat hierarki nilai dari tingkat rendah ke yang lebih tinggi. Hierarki ini bersifat mutlak atau absolut, mengatasi perubahan historis, dan terlebih ”membangun suatu sistem acuan dalam etika” untuk ”mengukur dan menilai perubahan moral dalam sejarah” (Paulus Wahana, 2008). Hierarki nilai itu, (1) nilai kesenangan, yang bisa dibilang tingkat terbawah, karena didasarkan pada kesenangan inderawi, kepuasan yang ditimbulkannya hanya pencapaian kesenangan individu; (2) nilai vitalitas atau kehidupan, meliputi sesuatu yang luhur, kesejahteraan umum, yang tidak dapat direduksikan; (3) nilai spiritual, yang lebih tinggi, yang tak bisa dilepaskan dari nilai estetis, benar dan salah, juga pengetahuan; (4) nilai kesucian/keprofanan, yang bernilai absolut, yang membawa pada pencerahan sekaligus penyerahan yang hakiki. Lewat hierarki nilai itu, kita bisa meletakkan makna kemenangan. Misalkan, kemenangan transendental bisa saja bernilai kesenangan pribadi, sejauh ia hanya memberi kesenangan pada diri sendiri. Sebaliknya, kemenangan faktual bisa bernilai spiritual atau mencapai tingkat keprofanan apabila ia memberikan pencerahan dan nilai yang luhur bagi banyak orang. Seberapa tinggi dan mulia kemenangan pada akhirnya bisa dilihat dari seberapa jauh ia memiliki kebergunaan seluas-luasnya. Maka, bagaimana menilai kemenangan dalam pilpres kali ini sesungguhnya bisa dilihat dari apakah kemenangan itu hanya menguntungkan individu/golongan ataukah kemenangan bangsa. Bagaimana kemenangan itu dicapai, ditentukan, serta diterima akan memperlihatkan tingkatan ”hierarki nilai kemenangan” yang dicapai oleh bangsa kita hari ini. Dan dalam negara demokrasi, kemenangan tertinggi mestilah menjadi kemenangan rakyat karena kemenangan dalam politik semestinya tidak berhenti sebagai kemenangan untuk mencapai kekuasaan dan ambisi pribadi, tetapi kemenangan yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menegaskan, ”Tak ada satu pun kekuasaan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah.” Saya kira, begitu pun dengan kemenangan. Tak perlu ada ”pertumpahan darah” hanya untuk kemenangan. Apalagi apabila kemenangan itu memang diniatkan untuk kesejahteraan rakyat sebab kemenangan terindah adalah kemenangan untuk bangsa dan kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar