ISIS dan Kemampuan Pencegahan PolriYani Nur Syamsu ; Ajun komisaris besar polisi, MSc in HRM University of Stirling The United Kingdom, Khotib tetap di beberapa masjid di Denpasar dan Tabanan |
JAWA POS, 07 Agustus 2014
MEREBAKNYA paham The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang menghalalkan kekerasan sungguh sangat mengkhawatirkan. Kabar bergabungnya 56 orang Indonesia dengan ISIS dan telah berbaiatnya 2 juta orang (Al Chaidar, 2014) harus dianggap sebagai suatu informasi yang benar. Hal demikian bisa diibaratkan dengan semua benda mencurigakan yang mesti diperlakukan sebagai bom yang setiap saat bisa betul-betul meledak. Sepak terjang Detasemen Khusus 88 Kepolisian Nasional Republik Indonesia dalam menanggulangi aksi-aksi terorisme telah diakui tidak saja oleh publik dalam negeri, tetapi juga dunia internasional. Namun, persoalan kekerasan dan terorisme masih jauh dari tuntas. Upaya deradikalisasi oleh aparat, tampaknya, belum efektif. Sebagian besar napi dan mantan napi teroris masih tetap pada pemahaman semula. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang berhasil ’’menginspirasi’’ orang lain. Banyaknya pelaku teror berusia belia menggambarkan kesinambungan proses regenerasi paham kekerasan itu. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penjaga kamtibmas dan penegak hukum, Polri memiliki kemampuan dan kewenangan yang bisa dikelompokkan menjadi dua. Yakni, kemampuan penindakan dan pencegahan. Kemampuan penindakan meliputi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Memeriksa tempat kejadian perkara, mengumpulkan barang bukti dan memeriksa saksi-saksi, serta memburu dan menangkap pelaku kejahatan, kemudian mengajukannya ke kejaksaan untuk disidangkan adalah kegiatan-kegiatan utama repressive policing itu. Untuk mencegah berkembangnya paham kekerasan secara efektif, diperlukan kemampuan preventive policing yang memadai. Sayangnya, kemampuan Polri dalam bidang pencegahan tersebut belum setara dengan keandalannya dalam bidang penindakan. Kemampuan pencegahan yang sering disebut problem oriented policing merupakan kecakapan untuk meningkatkan partisipasi, kesadaran hukum, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum. Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 secara jelas menyatakan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Polri mengutamakan usaha pencegahan. Namun, semangat dan usaha peningkatan kemampuan pencegahan anggota kepolisian ternyata belum mendapat perhatian memadai. Sebagian besar pelatihan, kursus maupun pendidikan, yang diselenggarakan Polri bertujuan mengasah kemampuan reserse yang memang merupakan fungsi khas kepolisian dan telanjur dianggap sebagai satu-satunya barometer keberhasilan anggota Polri dalam meniti karir. Dalam konteks merebaknya paham ISIS, Polri dituntut mampu mengekspresikan kemampuan preventif secara optimal. Kemampuan pencegahan yang mumpuni akan bisa menghambat laju keterpengaruhan masyarakat untuk mengikuti jalan kekerasan demi tegaknya ’’khilafah Islamiyah’’, satu konsep yang memang sangat menggiurkan bagi generasi muda Islam yang sedang berada di puncak ghirah keislaman, tetapi tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap ajaran-ajaran Islam. Kemenag, Kemenkum HAM, dan Kemenkominfo telah mengambil langkah-langkah, termasuk membuat beragam peraturan sesuai dengan kewenangan masing-masing, guna mencegah merebaknya ajaran ISIS di Indonesia (Jawa Pos, 5/8/2014). Namun, menurut hemat penulis, menyebarnya paham (kekerasan) ISIS lebih ditentukan kondisi psikologis masing-masing orang. Adanya ketentuan atau aturan pemerintah tidak akan banyak berarti bagi kalangan muslim yang secara diam-diam telah ’’merindukan’’ tegaknya kekhalifahan internasional. Persoalan menjadi lebih mencemaskan berkenaan dengan berbagai laporan hasil penelitian tentang toleransi kehidupan beragama. Terkait dengan hal tersebut, masyarakat muslim Indonesia terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang sama sekali tidak menoleransi penggunaan kekerasan (fisik maupun mental) dengan alasan apa pun. Kelompok kedua adalah kaum muslimin Indonesia yang masih menoleransi penggunaan kekerasan terhadap pihak lain yang dianggap mempunyai pemikiran dan kegiatan yang dapat ’’mengancam’’ akidah Islamiyah yang mereka yakini. Karena memiliki jumlah paling besar, kelompok itulah yang harus menjadi perhatian serius dari pihak berwenang. Kegagalan mengelola kelompok itu akan membuat mereka ’’meningkat’’ menjadi kelompok ketiga. Kelompok ketiga memiliki keyakinan bahwa ’’khilafah Islamiyah’’ harus ditegakkan di muka bumi, meski harus dengan jalan peperangan (The Wahid Institute, 2014). Mengasah dan meng-exercise kemampuan pencegahan merupakan persoalan yang lebih kompleks dari sekadar kepiawaian menegakkan hukum. Preventive policing mensyaratkan kemauan untuk menghargai manusia dan tidak menganggap manusia semata-mata sebagai objek perpolisian. Polisi harus melihat, menempatkan, dan mengakui orang-orang yang dihadapi dalam pekerjaannya sebagai pribadi yang utuh. Sebagai pribadi yang harus dilindungi, diayomi, dan dilayani. Bisa dinyatakan bahwa kemampuan pencegahan itu merupakan kecakapan anggota Polri untuk menjawab paradigma why and how (kenapa dan mengapa) suatu gangguan kamtibmas bisa terjadi. Bandingkan dengan kemampuan penindakan yang ’’hanya’’ menunjukkan keterampilan polisi untuk merespons paradigma who does what (siapa melakukan apa) (Noor Huda Ismail, Jawa Pos, 2010). Dengan demikian, keandalan Polri dalam menjalin kerja sama dengan aparat pemerintah lain serta ormas-ormas keagamaan, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjadi sesuatu yang sangat krusial. Salah satu upaya penting yang dapat dilakukan Polri untuk menyemai partisipasi aktif masyarakat adalah menghindari sejauh mungkin segala tindakan yang bisa menimbulkan perasaan antipati dari publik. Penindakan terhadap terduga teroris harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan harus didasarkan pada bukti-bukti yang sangat kuat. Salah tangkap, terlebih salah tembak, harus diminimalkan. Sebaliknya, polisi harus tegas terhadap setiap pelaku kekerasan, sekecil apa pun kekerasan itu, terutama karena pembiaran kekerasan kecil akan melahirkan tindak kekerasan baru yang lebih masif. Akhirnya, tolok ukur kemampuan pencegahan Polri adalah seberapa jauh kepolisian mampu mengelola dan menyinergikan potensi yang ada di tengah-tengah masyarakat dalam rangka membumikan paham-paham keislaman yang penuh kedamaian dan anti kekerasan. Ketika sebagian besar kaum muslimin Indonesia telah meyakini sepenuhnya bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan jihad yang sebenarnya adalah jihad melawan korupsi, kemalasan, kebodohan, serta kemiskinan, pada saat itulah paham kekerasan ISIS akan pupus dan tidak bakal menjelma menjadi gangguan nyata. Itulah indikasi kuat bahwa kemampuan pencegahan Polri sudah setara dengan kompetensi penindakan yang dimiliki. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar