Menunggu Langkah Selamatkan IklimDeni Bram ; Doktor Hukum Perubahan Iklim Universitas Indonesia; Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara |
KOMPAS, 17 Juli 2014
PEMILIHAN presiden sudah berlangsung dengan damai. Meski KPU belum secara resmi mengumumkan hasilnya, hasil hitung cepat dari sejumlah survei sudah menunjukkan siapa pemenangnya. Kini, saatnya presiden dan wakil presiden baru membangun pemerintahan yang memahami persoalan perubahan iklim dan berupaya mengatasinya. Urgensi perubahan iklim bisa dilihat dari pertemuan tahunan Konferensi Perubahan Iklim yang berlangsung di Bonn, Jerman, awal Juni lalu. Momentum ini bisa dipakai tim pemerintahan baru untuk melakukan evaluasi kritis dengan strategi penyelamatan iklim. Apalagi, Indonesia mencatatkan komitmennya dalam dokumen internasional dan memiliki kekuatan mengikat dalam kerangka yuridis yang diadopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Conference on the Parties (COP) ke-19 di Bonn menjadi penting karena membahas agenda serta strategi penyelamatan iklim yang akan menjadi alas pertemuan selanjutnya di Lima, Peru, akhir tahun 2014, dan akhirnya menjadi komitmen final dan mengikat pada pertemuan COP 21 di Paris tahun 2015. Beberapa hal strategis yang layak dicermati dalam rangka menyelamatkan iklim ada tiga yang utama. Pertama, upaya menempatkan rezim pasar sebagai satu-satunya solusi dalam upaya penyelamatan iklim. Hal ini menjadi sangat transaksional, terlebih ketika Indonesia turut larut tanpa mampu mendudukkan posisi hukum dan personalitas masing-masing negara yang terlibat dalam rezim pasar tersebut. Hal ini menjadi sangat buruk saat Indonesia justru berharap mendapatkan pendanaan dari rezim pasar, padahal keberadaan ekosistem hutan Indonesia yang diharapkan menjadi instrumen mitigasi justru berada pada angka deforestasi dan angka korupsi ekologis yang tinggi. Catatan penting yang harus diperhatikan adalah keberadaan rezim pasar yang secara perlahan tetapi pasti menggeser isu penyelamatan iklim dari negara Annex ke negara non Annex. Ini mencederai keadilan intragenerasi karena menganggap transaksi karbon sebagai suatu hal yang mafhum dan layak secara etika untuk dilakukan. Hal ini akan menjadi pola yang berujung pada fetisisme ekologis dengan memberikan peluang kepada negara maju untuk patuh terhadap kewajibannya dengan mengandalkan instrumen negara-negara berkembang. Kedua, hasil lain dari Konferensi Perubahan Iklim di Bonn memberikan umur baru bagi Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012. Paling tidak 11 negara telah meratifikasi perpanjangan Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua, yaitu Uni Emirat Arab, Barbados, Mauritius, Banglades, Monako, Sudan, Negara Federasi Mikronesia, Kenya, Honduras, Tiongkok, dan Norwegia. Periode komitmen kedua ini berlaku efektif pada 2013-2020 sesuai mandat Doha Amendment sebagai hasil Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar, pada 2012. Hal ini menjadi kontradiktif pada saat eksistensi dari Protokol Kyoto justru mendapatkan vonis gagal mencapai target upaya penyelamatan iklim. Protokol Kyoto Kehadiran Protokol Kyoto yang semula diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penurunan nilai emisi gas rumah kaca ternyata kurang memberi hasil memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh lemahnya keikutsertaan dan komitmen dari Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki sumbangsih besar dalam peningkatan emisi. Selain itu, kehadiran dari Protokol Kyoto juga tidak dapat berperan maksimal saat negara-negara Annex yang diharapkan menjadi subyek utama dalam usaha penanggulangan perubahan iklim justru merumuskan kebijakan skala lokal dan nasional yang tidak mendukung Protokol Kyoto. Akibatnya, target penurunan konsentrasi gas rumah kaca sulit dicapai. Publikasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencantumkan, tahun-tahun terpanas terjadi justru saat rezim Protokol Kyoto dianut. Ironisnya, kini dengan mengusung konstruksi hukum yang persis sama, perjanjian internasional ini diperkenalkan ulang, bahkan disodorkan sebagai salah satu solusi mitigasi emisi jangka panjang hingga 2020. Kontradiksi lain terkait masa berlaku periode komitmen kedua ini yang mempunyai jangka waktu hingga 2020 karena pada kenyataannya akan selesai pada 2015 yang merupakan tonggak awal dari strategi penyelamatan iklim global seiring hasil COP di Paris. Artinya, kehadiran negara-negara maju yang mengikuti rezim periode komitmen kedua hanya demi kepentingan negosiasi internasional tanpa langkah nyata perbaikan iklim. Terakhir, belajar dari kegagalan rezim Protokol Kyoto yang sangat represif dan cenderung mengusung pendekatan top down, hendaknya lahir sebuah pendekatan baru yang berorientasi pada tingkat kepatuhan lebih tinggi. Hal ini hendaknya menjadi renungan reflektif berbasis ekologis yang menggeser isu homo ethicmenjadi eco ethic dari para negosiator dalam pertemuan perubahan iklim sehingga dapat menjadi tonggak evaluasi rezim sebelumnya untuk anak cucu kepada generasi selanjutnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar