TNI dan Pilpres 2014Achmad Soetjipto ; Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut, Mantan KSAL |
KOMPAS, 18 Juli 2014
NETRALITAS, baik oleh penyelenggara maupun aparatur pemerintah, hampir selalu menjadi sumber masalah dalam setiap pemilu. Mobilisasi aparatur oleh kepala daerah, manipulasi penghitungan suara, dan pembiaran pelanggaran kampanye oleh aparat adalah sedikit catatan mengenai hal ini. TNI pun tak luput dari sorotan, terutama sejak laporan adanya oknum babinsa yang ditengarai mengarahkan masyarakat kepada salah satu kontestan dalam Pilpres 2014 baru-baru ini. Memang begitu menjadi pemberitaan, dengan cepat pimpinan TNI melakukan tindakan dan klarifikasi. Walaupun bukan dalam skala masif dan terlepas dari kesalahan oknum, kejadian ini kembali menguakkan ingatan akan kiprah ABRI dalam keluarga ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar) pada rezim terdahulu. Perjalanan waktu sampai saat ini juga dipandang belum cukup lama sehingga banyak kelompok masyarakat tetap khawatir tentang kemungkinan kembalinya militer ke ranah politik. Masalahnya hanya soal kesempatan. Belajar dari itu, hendaknya dalam konsolidasi demokrasi setiap upaya penguatan civil society harus diikuti dengan pembangunan sistem yang tak memberikan peluang militer untuk masuk ranah politik dengan alasan apa pun. TNI sendiri sudah berkomitmen untuk tak lagi terlibat politik praktis sebagaimana ditegaskan dalam reformasi TNI. Diperkuat kemudian dengan keberadaan Tap MPR No VII/MPR/2000 dan UU No 34/2004. Meski demikian, harus diingat bahwa karakter dasar militer di mana saja adalah selalu terobsesi menjadi cermin negara. Dalam situasi tertentu kata ini dapat saja berubah tafsirnya. Setiap tarikan dari mana pun yang ingin melibatkan militer dalam politik dapat diartikan bahwa negara membutuhkan dan sebagai ”patriot” militer tidak dapat menghindar. Atas nama panggilan dan tanggung jawab terhadap negara, militer dapat saja melampaui peran yang telah digariskan perundang- undangan. Kudeta Thailand adalah contoh aktual, padahal negara itu relatif jauh lebih lama dan lebih matang berdemokrasi daripada kita. Artinya, kejadian serupa dapat pula terjadi di sini meskipun dengan latar belakang dan alasan politik yang berbeda. Problem demokrasi kita Menurut teori, banyak cara menghindarkan militer kembali menerjuni politik praktis. Yang terpenting selain memperkuat civil society adalah membangun militer profesional yang kuat. Sekuensi militer profesional adalah tunduk kepada supremasi sipil sehingga civil society tak perlu lagi main mata dengan kaum militer. Kebanyakan negara pasca otoritarianisme yang gagal melakukan konsolidasi demokrasi disebabkan mereka gagal membangun masyarakat madani dan militer profesional yang kuat. Pada kondisi ini biasanya pemilu hanya akan melahirkan pemerintah feodal, fasisme baru, atau bahkan membangkitkan otoritarianisme lama dengan wajah baru. Demokrasi belum sepenuhnya tegak ketika militer tidak menjaga netralitasnya dalam pemilu. Demokrasi juga belum menjadi budaya ketika politik transaksional masih menjadi praktik umum dari tingkat elite hingga akar rumput. Demokrasi juga belum memenuhi substansinya ketika konstituen belum mengedepankan rasionalitasnya. Dalam situasi ini, baik militer, konglomerat, barisan status quo, kelompok mapan, maupun kekuatan feodal sama berbahayanya bagi demokrasi. Untuk Indonesia, ancaman terbesar saat ini sebenarnya berhulu dari para cukong politik, kelompok kleptokrasi, dan kaum feodal. Sementara militer walau masih terus diperdebatkan sesungguhnya sudah cukup elegan dalam memosisikan diri. Dari sinilah problem berawal, yaitu ketika publik menafikan ancaman faktor lain yang tak kalah berbahaya dan hanya fokus menuntut netralitas TNI. Publik luput mencermati, berbagai kekisruhan masa kampanye justru banyak diproduksi kalangan pengancam demokrasi di luar militer. Mudah ditebak dari mana asalnya ketika media publik dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan politik, menebar fitnah dan meracuni masyarakat dengan politik adu domba. Juga dengan rapuhnya moral masyarakat sehingga bersikap pragmatis karena masifnya serangan politik uang. Hanya pemodal politik yang mampu melakukan itu atas pertimbangan transaksi kekuasaan. Namun, kesemua itu ketika dihadirkan ke permukaan, dengan kekuatan akses yang dimilikinya mudah bagi mereka membelokkan opini dan menuduh balik, misalnya dengan mengatakan ada operasi intelijen. Kembali TNI menjadi kambing hitam dan ini adalah cara yang paling murah karena masyarakat demokrasi menyimpan pengalaman buruk dan pahit selama rezim Orde Baru. Membatasi gerak militer Ketika atas nama demokrasi militer terus dijadikan hantu, maka semakin jauh pula dukungan civil society kepada pembangunan militer yang profesional. Padahal, keberadaan militer yang profesional prasyarat tegaknya demokrasi. Artinya, serangan terus-menerus ke militer justru akan menjadi titik balik bergeraknya militer ke ranah politik. Membangun militer profesional memang terkesan mahal, tetapi sesungguhnya jauh lebih murah daripada militer menjamah politik praktis. Dampaknya juga jauh lebih berbahaya, selain merusak kehidupan demokrasi juga dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan negara, yaitu saat kepentingan nasional dipertaruhkan menghadapi cengkeraman kepentingan negara lain. Perlu dipikirkan strategi percepatan bagaimana menempatkan militer pada posisi yang kuat untuk memperkuat demokrasi. Polemik di antara beberapa purnawirawan TNI yang terbelah di antara dua pasangan dalam Pilpres 2014 juga hendaknya jadi catatan penting. Di beberapa negara ada aturan bagaimana pemulihan hak sipil anggota militer pasca purna tugas. Misalnya diberlakukannya jeda tiga atau lima tahun sejak pensiun untuk kemudian dapat memasuki politik praktis seperti usulan Salim Said. Pola ini mungkin dapat dipertimbangkan untuk diadopsi dan kemudian diundangkan. Begitu juga pengungkapan operasi dan kebijakan militer oleh para purnawirawan untuk maksud politik tertentu perlu pula diformulasikan solusinya. Bisa jadi yang diungkapkan sebuah kebenaran, tetapi ke depan mesti dipikirkan bagaimana jika itu menyangkut rahasia negara dan strategi pertahanan yang sifatnya sensitif. Mungkin perlu disusun peraturan tertentu yang melarang publikasi menyangkut diri dan institusinya semasa masih dinas aktif. Pengecualian dapat saja dikenakan jika ada perintah dari pengadilan. Cara-cara itu perlu dipertimbangkan demi percepatan konsolidasi demokrasi, terutama transformasi dari demokrasi formal dan prosedural menjadi demokrasi substansial. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar