Puasa   dan Kerja CepatMuhadjir Effendy  ;     Rektor Universitas   Muhammadiyah Malang (UMM)  |  
JAWA POS, 29 Juli 2014
|    ”On this road, halt is out of place, A static condition means death, those on the move have gone ahead, those who tarried –even a while– got   crushed!” (Jalan ini tak ada tempat berhenti, sikap lamban berarti mati, siapa yang bergerak merekalah yang   terdepan, dan yang tertegun –sejenak pun– pasti   tergilas!) KATA-kata   di atas adalah sebuah epigram, yaitu puisi yang berisi tentang ajaran dan   tuntunan hidup. Ditulis seorang filsuf dan penyair, Muhammad Iqbal. Diksi   dalam puisi tersebut menggambarkan suasana batin yang bergelora. Bahkan   meledak-ledak. Sadar akan sengitnya persaingan. Meyakini bahwa untuk menjadi   yang terdepan itu tidak cukup hanya bekerja keras, tetapi juga harus cepat. Saya   tidak tahu apakah moto Pak JK (Jusuf Kalla) yang fenomenal: ”Lebih cepat,   lebih baik!” dulu diilhami puisi itu. Tetapi, saya yakin, saya bukan   satu-satunya orang yang telah terpengaruh oleh puisi tersebut. Walaupun   mungkin juga ada yang bosan karena telah mendengar puluhan kali saya   mengutipnya dalam berbagai kesempatan. Terutama tatkala berbicara di depan   anak-anak muda, khususnya mahasiswa. Siapa   bilang bangsa kita pemalas? Bangsa Indonesia adalah bangsa pekerja keras.   Tapi, mungkin bukan pekerja cepat. Di luar negeri, tenaga kerja Indonesia   (TKI) banyak disukai karena kerja kerasnya. Mereka tidak berkeberatan kalau   diminta majikannya kerja lembur. Mereka tidak suka (bisa) protes meski   hak-haknya dikadali. Kenapa begitu? Sebab, sejak kecil mereka hanya sedikit   dibekali kemampuan berekspresi lantaran dididik dalam sistem 3D: duduk, diam,   dengar. Guru tempo dulu, entah sekarang, menjadikan diam sebagai hadiah.   Sebelum pulang, murid-murid harus berlomba ”anteng-antengan”, dan yang paling   anteng (diam) boleh pulang duluan. Sementara yang paling tidak bisa diam   mendapat hukuman membersihkan ruangan. Yakinlah,   bangsa kita adalah pekerja keras. Tetapi, produktivitasnya rendah karena   sebagian besar tergolong unskilled labor. Atau pekerja rendahan. Di pasar   kerja luar negeri sebagian besar TKI mengisi formasi kerja rendahan itu.   Kalau mereka kelihatan bisa menyisihkan penghasilan dan mengirim ke   Indonesia, itu terjadi karena kemampuan berhematnya yang luar biasa dan   ditolong oleh rendahnya nilai tukar rupiah. Bukan karena gajinya memang   tinggi.   Di   dalam negeri, petani buruh berangkat ke sawah setelah subuh, pukul 6.00   pulang pukul 16.00. Atau 10 jam kerja. Mereka telah bekerja keras bukan?   Dengan kerjanya itu, dia mendapat upah Rp 60.000. Bahkan kurang dari itu.   Kontrasnya dengan dokter yang membuka praktik mulai pukul 7.00 sampai 9.00.   Hanya dalam waktu dua jam, dia memperoleh honorarium Rp 600.000 dari enam   pasien yang dilayani. Saya   tidak bermaksud katakan bahwa sang dokter adalah pemalas, tetapi yang jelas   dia jauh lebih produktif daripada Pak Tani. Dengan perbandingan tersebut,   saya bermaksud mengatakan bahwa meningkatkan jumlah sebanyak-banyaknya   lapangan kerja produktif yang bisa dimasuki oleh generasi usia produktif   itulah yang menjadi tantangan bangsa ini kalau ingin bonus demografi (demographic dividend) yang   diperkirakan akan terjadi pada 2020–2030 menjadi berkah. Bukan sebaliknya,   menjadi musibah. Musibah   demografi juga akan terjadi apabila kita gagal membentuk mental dan membekali   kemampuan yang dibutuhkan sektor pekerjaan yang produktif kepada anak-anak   kita yang sedang dan akan menjadi bagian dari angkatan usia produktif itu.   Semua harus diusahakan dengan keras dan cepat agar bangsa kita terhindar dari   jebakan penghasilan mertanggung (the   middle income trap). Berpenghasilan mertanggung itu memang sudah tidak   tergolong miskin, namun juga bukan tergolong kaya, dan lebih mudah turun   derajat menjadi miskin kembali ketimbang meningkat menjadi kaya. Alhamdulillah,   ibadah puasa Ramadan sudah selesai kita jalani dengan penuh kayakinan dan kesadaran   (imanan wa ikhtisaaban). Arti penuh   keyakinan adalah tanpa mempertanyakan. Termasuk bertanya: ”Untuk apa   bersusah-susah puasa?” seperti yang didendangkan penyanyi Trio Bimbo. Ramadan   juga dimaknai pembakaran dosa yang membuat orang yang berpuasa itu kembali   sebagai pribadi yang bersih. Saat pribadi dalam keadaan bersih itulah, atas   kehendak Tuhan –walau kita menyebut kebetulan– bangsa Indonesia menunaikan   hak konstitusinya, yaitu memilih calon presiden dan wakil presiden untuk   periode pemerintahan 2014–2019. Memang, hingga saat artikel ini ditulis,   masih ada proses-proses ikutan yang harus dilalui, tetapi mudah-mudahan   berkah Ramadan akan membuat semuanya berakhir dengan baik untuk bangsa dan   melegakan untuk semua pihak. Dalam   pemilihan umum presiden dan wakil presiden, kedua pihak yang berkompetisi,   yang sedang kembali sebagai pribadi yang bersih, memiliki kejernihan niat   yang sama. Yaitu, akan memberikan sumbangsih terbaiknya untuk bangsa. Soal   sumbangsih itu akan dilakukan melalui keterpilihannya sebagai presiden dan   wakil presiden, itu soal pilihan cara saja. Sedangkan   konstitusi kita menetapkan bahwa pilihan cara itu disediakan hanya untuk   sepasang presiden-wakil presiden. Banyak cara lain yang tidak kalah   bernilainya untuk memberikan sumbangsih kepada negara ini, apalagi untuk   putra-putra terbaik bangsa yang telah terbukti kedua pasangan tersebut   sama-sama meraih kepercayaan yang nyaris berimbang besarnya dari rakyat   Indonesia. Menurut   hemat kita, memasuki periode pemerintahan baru, segenap komponen bangsa ini   harus memiliki semangat sebagaimana yang ada dalam puisi Iqbal tersebut di   atas. Bangsa ini sudah lama bekerja sangat keras, tetapi mungkin juga sudah   cukup lama berlamban-lamban. Berkat kerja keraslah, indeks pembangunan   manusia (IPM) Indonesia terus membaik dalam beberapa tahun terakhir. Namun,   karena sikap lambanlah peningkatan tersebut tidak cukup untuk mendongkrak   peringkat IPM Indonesia di dunia. Berdasar   laporan UNDP tahun 2014, peringkat Indonesia tahun ini, sebagaimana tahun   lalu, tetap di posisi ke-108 di antara 287 negara dan kawasan dengan besaran   0,687 (Kompas, Sabtu, 26 Juli 2014).   Hal tersebut terjadi karena ketika bangsa Indonesia bekerja keras,   bangsa-bangsa di dunia juga sama-sama bekerja keras. Untuk   mendongkrak peringkat IPM, usaha kerja keras tersebut harus dibarengi juga   dengan bekerja cepat. Kitab suci Alquran telah mensyiratkan akan pentingnya   kerja cepat tersebut: ”Waidzaa faraghta   fanshab, wa ilaa Rabbika Farghab” (Apabila   kamu telah selesaikan suatu urusan, maka cepat-cepatlah beralih ke urusan   yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya kamu berharap pertolongan  (94:7, 8)). ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar