Kembali   ke Fitrah Spiritual dan SosialLukman Hakim Saifuddin  ;     Menteri Agama Republik   Indonesia  |  
JAWA POS, 28 Juli 2014
|    HARI   ini kalimat takbir dan tahmid berkumandang di mana-mana. Umat Islam   melakukannya sebagai ungkapan syukur yang bercampur gembira mereka telah   ber-Idul Fitri, kembali kepada kesucian, kembali kepada fitrahnya. Apabila   selama Ramadan kita selalu menyempatkan diri untuk membaca Alquran,   beriktikaf, bangun di sepertiga malam untuk bertahajud, meneteskan air mata   saat bermunajat bersimpuh di hadapan Allah SWT, berempati terhadap fakir   miskin, melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi orang banyak, serta   berbagai kebaikan lainnya, janganlah sampai kebaikan-kebaikan tersebut   menjadi wajah indah kita yang bersifat sesaat. Tetapi, usahakanlah ia tetap   bertahan dan terlaksana setelah Ramadan meninggalkan kita. Perbuatan   dan amal baik yang telah menjadi kebiasaan umat Islam selama Ramadan   hendaknya mampu membentuk karakter mereka untuk berbuat hal yang sama setelah   Ramadan berlalu. Karena   itu, Hari Raya Idul Fitri yang dikesankan sebagai agenda terakhir dari   seluruh rangkaian ibadah Ramadan pada hakikatnya bukanlah saat-saat   berakhirnya peluang untuk mendulang kebaikan. Justru sebaliknya, Idul Fitri   adalah saat awal memulai kehidupan baru dengan hati yang bersih dan semangat   yang baru.                                                                  Kawah   candradimuka Ramadan yang telah menggembleng kita selama sebulan penuh   dikatakan berhasil apabila mampu melahirkan sosok pribadi yang unggul, kuat,   bersih dan berkarakter. Setidaknya ada dua capaian puncak yang bisa membentuk   pribadi unggul dan harus dipertahankan untuk diamalkan. Pertama, kembali   pulihnya fitrah spiritual. Kedua, kembali kepada fitrah sosial kita sebagai   makhluk sosial. Melalui   tempaan puasa dan olah-spiritual Ramadan, fitrah kita yang tergerus oleh   godaan nafsu dan syahwat yang dipengaruhi setan dipulihkan dan dikembalikan   kepada asalnya yang suci. Fitrah spiritual yang berhasil diraih berupa   pribadi yang bersih dan suci dari berbagai noda dan penyakit seperti syirik,   sombong, hasad, dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya haruslah selalu   dipertahankan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Baik di   lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial yang lebih   luas. Pribadi   yang bersih selalu berupaya untuk membentengi diri dari sifat-sifat tercela.   Semangat spiritual selalu terpatri dalam jiwanya dan secara berkesinambungan   merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkahnya   sehingga dengannya dia termotivasi untuk tetap taat menjalankan perintah dan   menjauhi larangan-Nya. Pribadi   yang fitri juga akan selalu memelihara kejujuran atau amanah. Pribadi yang   amanah dihasilkan dari kemampuannya memahami inti ajaran puasa sebagai ujian   bagi kejujuran. Kejujuran adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa yang   membuat pemiliknya mampu melakukan tugas-tugas besar yang diembankan   kepadanya. Pribadi   yang amanah sangat diperlukan dewasa ini untuk menyelesaikan berbagai   persoalan bangsa seperti pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan HAM,   serta pengentasan kemiskinan. Pribadi yang bersih, jujur dan amanah yang   dibentuk melalui latihan Ramadan akan mampu menyelamatkan bangsa kita   terbebas dari krisis kepercayaan yang membahayakan keutuhan negara kita. Dengan   jiwa yang amanah, cita-cita kita menjadikan Indonesia sebagai baldatun   thayyibatun wa rabbun ghafur, masyarakat adil dan makmur, akan dapat   diwujudkan. Ibadah Ramadan juga membimbing umat menuju pemulihan fitrah   sosialnya, yaitu kesadaran akan kenyataan kemajemukan dalam kehidupan   bermasyarakat, dan kesetaraan di antara sesama manusia. Fitrah   sosial akan membimbing kesadaran emosi kita menjadi lebih terkendali, membuat   kita bisa bersikap lebih arif bijaksana dan toleran dalam melihat perbedaan,   yang dalam bahasa agama disebut dengan sabar. Sabar   dalam Islam bukanlah satu kelemahan, tetapi justru merupakan satu kekuatan.   Di dalam Alquran dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan   sepuluh kali lipat lawan dalam pertempuran atau setidaknya mampu menghadapi   lawan sebanyak dua kali jumlah mereka (QS Al Anfal/8: 65-66). Rasulullah SAW   bersabda, ”Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam berkelahi, akan   tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan diri saat marah datang   menghampiri,” (H.R. Imam Al Bukhari). Kesabaran   merupakan karakter yang sangat mulia dan hanya bisa diraih dengan cara   melatih dan membiasakan diri dengannya. Bulan Ramadan merupakan kesempatan   yang baik bagi seorang muslim untuk melatih kesabaran itu, untuk mengontrol   jiwanya dari pengaruh hawa nafsu. Dengan begitu, lepas dari bulan Ramadan,   dia menjadi pribadi yang kuat dan pandai mengendalikan diri. Karena itu,   kehidupan kita berbangsa dan beragama ke depan sudah seharusnya menjadi lebih   baik. Tidak ada lagi kekerasan, pengusiran, atau main hakim sendiri. Dengan   kearifan, kesabaran, dan juga sikap toleran yang kita bina selama Ramadan,   kita semestinya dapat mengatasi berbagai perbedaan yang kerap kali melahirkan   permusuhan dan berlanjut pada kekerasan antar sesama kita. Dengan   fitrah sosial, kita semestinya mampu menahan diri dari godaan egoisme   kelompok, superioritas, nafsu berkuasa, fanatisme mazhab, dan lain   sebagainya, dan pada saatnya kita harus mampu mewujudkan kedewasaan hidup   berbangsa dan beragama yang lebih berkualitas. Fitrah   sosial yang menyadarkan kesetaraan antar sesama juga akan menghapus   sekat-sekat antara yang kaya dengan yang miskin. Apa yang dirasakan oleh yang   papa, itu jugalah yang dirasakan oleh yang kaya saat berpuasa. Maka,   puasa akan membangun jembatan untuk menyatukan perasaan antar sesama umat   Islam tanpa memandang status sosial untuk saling mencintai, saling membantu,   dan saling berbagi. Mungkin ini jugalah salah satu rahasia kenapa zakat   fitrah diwajibkan kepada semua orang, termasuk yang miskin sekalipun, agar supaya   semua kita bisa merasakan nikmatnya memberi, meski hanya sekali dalam   setahun. Itulah dua prestasi besar yang dapat diraih secara nyata dalam   setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang   muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah Ramadan, kita sudah semestinya   selalu mawas diri. Setelah   itu, berusaha sungguh-sungguh agar kondisi kembali kepada fitrah, baik fitrah   spiritual maupun sosial, benar-benar efektif memandu perjalanan hidup yang   lurus agar diridai-Nya. Akhirnya,   marilah kita sambut hari bahagia ini sebagai sandaran untuk memulai kehidupan   baru, dengan hati dan semangat yang baru. Maafkanlah segala kesalahan.   Lupakan segala kekhilafan. Tinggalkan segala kekerasan. Mari jalin kasih   sayang dalam kebersamaan. Semoga kita   semua diizinkan kembali untuk menikmati berkahnya Ramadan tahun depan. ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar