Penyebaran EbolaTjandra Yoga Aditama ; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI |
KOMPAS, 07 Agustus 2014
EBOLA virus disease (EVD) dikenal sebagai penyakit dengan angka kematian sampai 90 persen. Penyakit yang kini jadi perhatian dunia memang ditemui di Afrika, pertama kali dilaporkan pada tahun 1976 di dua tempat berbeda, yaitu Nzara, Sudan, dan di Yambuku, Republik Demokratik Kongo. Yambuku terletak dekat Sungai Ebola dan karena itulah penyakit yang kini menghebohkan itu dinamai ebola. Kini wabah ebola hari-hari ini menjadi perhatian dunia kesehatan karena jumlah kasus lebih dari 1.300 orang dan kematian lebih dari 700 orang. Selain itu, cukup banyak petugas kesehatan tertular ebola dan meninggal dunia, termasuk seorang dokter ahli penanggulangan ebola terkenal di dunia. Di pihak lain, ada yang mengkhawatirkan penyebaran ebola keluar Afrika, khususnya dengan luasnya transportasi udara. Eropa dan Amerika mulai menunjukkan perhatian soal ini. Potensi pandemi Untuk menjawab kemungkinan apakah ebola dapat berpotensi pandemi, menjadi wabah dunia, 1 Agustus 2014 lalu Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membentuk Emergency Committee on Ebola Viral Disease, suatu komite dalam aturan International Health Regulations (2005). Sebelum ini, baru sekitar tiga kali dibentuk Emergency Committe, yaitu saat H1N1 pandemi, timbulnya wild polio dan MERS CoV. Komite khusus ebola akan rapat minggu ini dan menilai apakah wabah ebola sudah memenuhi kriteria public health emergency of international concern (PHEIC). Kalau memang PHEIC, ia akan berpotensi menjadi pandemi, menyebar ke sejumlah negara di sejumlah benua. Apakah ebola juga ada di Asia? Untuk menjawabnya, kita perlu tahu bahwa genus ebola terdiri atas lima spesies: (1) Bundibugyo ebolavirus (BDBV), (2) Zaire ebolavirus (EBOV), (3) Reston ebolavirus (RESTV), (4) Sudan ebolavirus (SUDV), dan (5) Taï Forest ebolavirus (TAFV). BDBV, EBOV, dan SUDV adalah jenis spesies yang menyebabkan wabah ebola di Afrika, pada manusia dan angka kematian tinggi. Sementara RESTV memang ditemukan di Filipina dan Tiongkok. Spesies ini mungkin saja menginfeksi manusia, tetapi sejauh ini tak menimbulkan kesakitan dan kematian. RESTV memang pernah menimbulkan wabah ebola pada jenis monyet macaque monkeys (Macaca fascicularis) di Filipina 1980-an dan 1990-an. Sejak 2008, RESTV juga ditemukan pada wabah ebola pada babi di Tiongkok. Sejauh ini baru dua negara Asia yang melaporkan ebola jenis RESTV, dan—sekali lagi—sampai saat ini tak menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia. Data di kedua negara itu menunjukkan, para pekerja yang berhubungan langsung dengan monyet dan babi yang terinfeksi RESTV ternyata dapat juga kemasukan virus ebola RESTV di tubuhnya, hanya mereka praktis tanpa gejala, sehat-sehat. Tentu masih perlu data penelitian lebih lanjut, khususnya pada yang daya tahannya rendah, gangguan imunologis, anak-anak, wanita hamil, dan lain-lain. Lewat penerbangan? Sehubungan kemungkinan penyebaran ebola melalui penerbangan internasional, data yang ada memang menunjukkan bahwa pada akhir Juli 2014 ada seorang pekerja Liberia (Mr PS, 40 tahun, naturalisasi penduduk Amerika) yang jatuh sakit ketika turun dari pesawat di Lagos, Nigeria. Dia baru datang dari Liberia untuk merawat saudara perempuannya yang sakit ebola. Mr PS meninggal di Nigeria, beberapa hari sesudah mendarat di sana. Kementerian Kesehatan Nigeria lalu bergerak cepat. Ada 59 orang yang lalu dievaluasi ketat karena kontak dengan Mr PS, yaitu 15 petugas penerbangan dan 44 petugas RS. Dari 59 orang, surveilans diteruskan ke total 67 orang, semua sejauh ini tak tertular. Kasus Mr PS ini yang kemudian membuka mata dunia tentang kemungkinan penyebaran ebola melalui penerbangan internasional. Namun, perlu kita ketahui bahwa ebola menular melalui kontak langsung dengan darah atau sekret tubuh, feses, dan lain-lain dari pasien, tidak melalui airborne (percikan dahak di udara). Jadi, kemungkinan penularan di dalam pesawat relatif kecil. Selain itu, pasien ebola gejalanya demam, amat lemah, nyeri otot, sakit kepala, sakit tenggorok, muntah, diare, rash di kulit, kerusakan ginjal dan hati, serta perdarahan dalam tubuh. Dengan gejala seberat itu, tentu kecil kemungkinan seseorang dapat bepergian dengan pesawat udara. Data lain menunjukkan sekarang ini ada 39 bandara internasional di 35 negara yang punya penerbangan langsung dari tiga negara terjangkit ebola (Liberia, Guinea, Sierra Leone). Negara yang punya penerbangan langsung dari negara terjangkit ada di Afrika, Eropa, dan Amerika, tidak ada di Asia dan tentu juga tidak di Indonesia. Bandara-bandara internasional itu antara lain ada tujuh di Eropa (Inggris, Belgia, Jerman, Perancis, Spanyol, dan Belanda) serta tiga di AS (Houston, Atlanta, New York). Di sisi lain, WHO juga belum mengeluarkan travel warning dalam bentuk apa pun walau memang Center of Diseases Control (CDC) AS mengeluarkan semacam peringatan untuk menghindari perjalanan yang tidak begitu perlu (non-essential travel) ke tiga negara terjangkit ebola. Kesimpulannya, sekarang ini kemungkinan penularan melalui penerbangan komersial masih relatif kecil, dan saat ini belum ada penerbangan langsung ke Asia, juga belum ada travel warning dari WHO. Namun, tentu harus diikuti perkembangan yang ada dan kita perlu tetap waspada, dan secara proporsional membuat persiapan yang diperlukan. Pedoman untuk persiapan Dua warga AS yang tertular ebola di Afrika sudah dibawa ke AS hari-hari ini untuk diobati di sana. Untuk itu, CDC baru saja menerbitkan pedoman penanganan ebola di rumah sakit yang meliputi 11 hal. Hal-hal itu antara lain bagaimana penempatan pasien, alat pelindung diri yang harus dipakai, penanganan peralatan perawatan pasien, dan perhatian khusus perawatan pasien. Selain itu, diatur alat yang mengeluarkan aerosol, jaminan higiene tangan, bagaimana menjamin penanggulangan infeksi lingkungan, dan cara penyuntikan dengan aman. Pedoman juga mengatur penetapan lama masa terinfeksi yang harus diawasi ketat, pengawasan petugas kesehatan yang kontak dengan pasien, serta mekanisme monitoring pengunjung rumah sakit. Selain petunjuk penanganan di rumah sakit, CDC juga baru mengeluarkan pedoman penanganan untuk penerbangan, terdiri atas delapan poin. Poin-poin itu di antaranya melarang mereka yang kontak dengan ebola (sampai 21 hari), dan juga penanganan mereka yang mengeluh sakit lain, penanganan apabila ada dugaan kasus ebola di pesawat dan proses pelaporan jika ada dugaan kasus ebola di pesawat terbang. Juga ditetapkan pedoman umum pencegahan infeksi di pesawat, yang harus dilakukan jika seseorang menduga tertular dan kapan harus berkonsultasi ke petugas kesehatan. Pedoman untuk penerbangan juga berisi petunjuk bagi petugas pembersih pesawat udara serta petunjuk bagi petugas penanganan kargo udara. Untuk Indonesia, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI sudah menyiapkan laboratorium untuk dapat memeriksa ebola, jika nanti diperlukan. Di Indonesia, kita akan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang akan dilakukan di laboratorium Biology Safety Level (BSL) 3 yang ada di Balitbangkes yang sudah lengkap alat, petugas, dan prosedurnya. Sekali lagi, ini hanya bentuk kewaspadaan awal, sejauh ini amat kecil kemungkinan ebola menyebar sampai ke Asia. Secara umum ada enam metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi virus ebola pada seorang pasien, yaitu metode antibody-capture enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antigen detection tests, serum neutralization test, dan juga tentu dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction assay. Pemeriksaan juga dilakukan dengan electron microscopy dan Evirus isolation dengan cell culture. Ebola adalah salah satu penyakit yang kini jadi masalah penting kesehatan masyarakat dunia. Sejauh ini kasusnya hanya ada di beberapa negara Afrika, dan sedang ditangani amat intensif dengan bantuan WHO dan masyarakat dunia. Tentu kita berharap agar ebola dapat diatasi dengan baik dan tidak menyebar luas ke negara lain di dunia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar