Menguatkan Dialog Utara-SelatanRene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 06 Agustus 2014
DI tengah kekerasan dan perseteruan di berbagai pelosok, perang di Gaza, krisis Ukraina, atau status default Argentina karena gagal bayar utang, konferensi tingkat tinggi negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) di Fortaleza, Brasil, Juli lalu, menghadirkan fenomena baru, tidak hanya terkait tata kelola keuangan global. Buat India, keberhasilan berdirinya Bank Pembangunan Baru dan BRICS Contingency Reserve Agreement harus dilihat sebagai keberhasilan diplomasi pertama Perdana Menteri Narendra Modi. Bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, KTT BRICS menunjukkan masih ada yang percaya kepada Rusia di tengah sanksi ekonomi dan keuangan dari Eropa dan Amerika Serikat. Rancangan bank dan kontingensi keuangan BRICS yang dimotori RRT ini bukan hanya ditujukan untuk reformasi struktur keuangan global, melainkan juga menjadi pilihan penting dalam konteks Dialog Utara-Selatan: Adanya alternatif lain bagi negara-negara berkembang memperoleh dana pembangunan, mengentaskan rakyat dari kemiskinan yang berkesinambungan di tengah derasnya arus globalisasi. Mekanisme perbankan dan keuangan baru BRICS pada institusi Bank Pembangunan Baru memiliki modal dasar 100 miliar dollar AS, sedangkan BRICS Contingency Reserve Agreement akan menempatkan dana 50 miliar dollar AS. Yang menarik, modal awal bank baru ini dibagi rata di antara lima negara BRICS sehingga Tiongkok dengan cadangan devisa masif sebesar 3,99 triliun dollar AS terkekang pengaruhnya. Adapun Pengaturan Cadangan Kontingensi (BRICS CRA) mirip Chiang Mai Intitiative (CMI) ASEAN+3 setelah krisis keuangan Asia 1997. Tujuannya, memberi dukungan atas krisis keuangan, khususnya tekanan pembayaran jangka pendek atau berpotensi mengganggu neraca pembayaran. Berbeda dengan CMI ASEAN+3 (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan), BRICS CRA bukan menjadi pusat pengumpulan dana, melainkan dana dikeluarkan sesuai permintaan dan sesuai syarat. Bagi umumnya negara-negara Asia Tenggara, tersedianya pendanaan BRICS ini menjadi penting dalam rangka konektivitas ASEAN memasuki era Komunitas ASEAN 2015, khususnya pengadaan dana proyek infrastruktur. Para penguasa di Beijing berharap Indonesia juga ikut dalam BRICS ini, terutama ketika Tiongkok mulai pembicaraan awal tentang Bank Investasi Infrastruktur Asia (IAIB) untuk menyaingi eksistensi Bank Pembangunan Asia yang dipelopori Jepang. Kita menganggap keterlibatan ASEAN dalam BRICS lebih menguntungkan sebagai kesatuan daripada negara individu terkait kebersamaan gotong royong yang menjadi ciri penting kawasan Asia Tenggara. Konektivitas ASEAN dalam rangka pembangunan ekonomi adalah kebersamaan yang mengikat semua negara Asia Tenggara, tecermin pada statistik perdagangan dan investasi asing kawasan ini. Kerja sama dalam konteks tiga pilar Komunitas ASEAN 2015 membuktikan kebersamaan tersebut mampu menghadapi krisis keuangan Asia 1997, dan ekonomi Asia pulih lebih cepat tanpa terduga. Semangat ini yang harus dipahami Tiongkok dan negara BRICS untuk menguatkan Dialog Utara-Selatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar