Indeks Demokrasi KitaSyaiful Arif ; Peneliti Forum Demokrasi |
SINAR HARAPAN, 06 Agustus 2014
Pemilihan presiden (pilpres) yang telah kita laksanakan pada 9 Juli bisa menjadi objek evaluasi menyeluruh atas kualitas demokrasi yang kita miliki. Evaluasi ini dibutuhkan agar pilpres yang memakan energi bangsa tidak menjadi euforia sesaat, tanpa signifikansi mendalam terhadap proses demokrasi itu sendiri. Evaluasi ini terbantukan oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 4 Juli 2014. Oleh karena itu, sebelum melakukan evaluasi atas kualitas demokrasi berbasis Pilpres 2014, kita perlu meninjau IDI 2013 yang dirilis BPS. Indeks demokrasi 2013 naik sedikit dibanding IDI 2012, yakni 63,68 dari 62,63. Dengan angka ini, indeks demokrasi 2013 masuk kategori sedang. Hal ini bisa dipahami sebab pada tahun tersebut tidak ada pemilu yang menjadi puncak indikator pelaksanaan demokrasi. Satu hal yang berbeda pada 2009, ketika IDI mencapai angka tertinggi (67,3) karena keberadaan pemilu. IDI 2014 baru akan dirilis pada April 2015. Dalam penentuan indeks, BPS berangkat dari tiga aspek demokrasi yang berisi 11 variabel. Pertama, kebebasan sipil (civil liberty) terdiri atas variabel kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, serta kebebasan dari diskriminasi. Aspek kebebasan sipil ini memiliki nilai 79,00, naik dari 2012 yang berjumlah 77,94. Kedua, Hak politik (political right) terdiri atas hak memilih dan dipilih, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintah. Aspek hak politik bernilai 46,26, turun dari 2012 yang mencapai 46,33. Ketiga, institusi demokrasi (institution of democracy) terdiri atas pemilu yang bebas, peran DPRD, partai politik, birokrasi pemerintah daerah, dan peradilan independen. Nilai institusi demokrasi naik menjadi 72,11 dari 2012 yang 69,28. Rendahnya aspek hak politik disebabkan cara penyampaian aspirasi yang masih menggunakan kekerasan, demonstrasi, dan modus konfliktual. Tiga aspek yang menjadi indikator IDI di atas memang mencukupi penilaian dasar demokrasi, tetapi belum menggambarkan perkembangan progresif dari demokrasi itu sendiri. Di satu sisi, ia telah melampaui ukuran minimalis demokrasi elektoral Schumpeterian yang hanya menempatkan pemilu sebagai parameter utama demokrasi. Dengan menambahkan kebebasan sipil, IDI telah menggeser parameter demokrasi dari proseduralisme formal kepada kebebasan esensial. Hal pertama merupakan bangunan sistemik demokrasi, yang kedua menjadi budaya demokrasi. Parameter IDI juga dekat dengan konsep Poliarki dari Robert Dahl yang memuat kontestasi terbuka untuk maju ke dalam pemerintahan, serta partisipasi publik dalam bentuk kebebasan ekspresi, akses atas informasi alternatif, dan kebebasan berserikat. Satu hal yang juga menjadiukuran demokrasi liberal sebab kebebasan sipil memuat kebutuhan atas pluralisme sipil (civic pluralism) yang menghargai kebinekaan (Bunte, Ufen, 2009:6). Masa Pilpres Evaluasi seperti di atas bisa kita lakukan pada Pilpres 2014. Pertama, kebebasan sipil. Menariknya, dalam momen pilpres, kebebasan sipil memuat tiga kecenderungan yang bertentangan. 1. Politisasi terhadap isu-isu SARA dalam rangka black campaign. Isu seperti keturunan Tionghoa, keturunan PKI, Syiah, dan kebijakan pro liberalisasi (kemeneterian) agama diarahkan demi penjatuhan karakter capres. Dalam rangka ini, perlu dilihat pula dukungan kelompok islamis garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI), kepada pasangan Prabowo-Hatta. Satu dukungan yang menjadi alasan kalangan nonmuslim menjauhi pasangan ini. 2. Masifnya penggunaan media sosial bagi kontestasi politik di dunia maya. Facebook dan Twitter menjadi medan efektif untuk memengaruhi opini publik. Untuk kepentingan ini, sebuah pasangan membentuk cyber army yang terkenal sebagai "Pasukan Nasi Bungkus" (Panasbung). Tiap pasukan digaji Rp 2,5 juta sebulan untuk membela pasangan capres-cawapres dari berita yang menyudutkan. 3.Masifnya voluntarisme politik. Masyarakat, terutama kalangan muda, memberikan dukungan sukarela melalui kampanye kreatif. Konser "Salam 2 Jari" pada 5 Juli di Gelora Bung Karno menjadi kreasi fenomenal yang menandai bangkitnya elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) menjelang pencoblosan suara. Voluntarisme ini menandai meningkatnya partisipasi pemilih, terutama dari pelaku golongan putih (golput). Kedua, hak politik dalam rangka kontestasi elite mencalonkan diri sebagai capres. Untuk hal ini, kita melihat ciutnya nyali beberapa bakal capres, seperti Abu Rizal Bakrie (ARB) dan Wiranto yang tak jadi mencapreskan diri. Wiranto gagal karena tak memenuhi electoral threshold. ARB tak percaya diri melawan Jokowi dan Prabowo Subianto. Dalam konteks ini, terdapat perbedaan mendasar antara kubu pasangan nomor 1 dan 2. Nomor 1 masih menggunakan korporasi politik berbasis oligarki partai. Nomor 2 lahir dari keterbukaan PDIP mengajukan orang muda non-ketua umum sebagai capres. Ketiga, institusi demokrasi. Hal yang patut disyukuri adalah mapannya lembaga-lembaga penyelenggara pilpres, dari KPU, Bawaslu, hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Keterbukaan KPU mengunggah formulir C-1 di website www.kpu.go.id membuat rakyat secara langsung bisa mengontrol perhitungan suara. Ijtihad www.kawalpemilu.org untuk mengawal penghitungan KPU sekali lagi menunjukkan voluntarisme publik yang luar biasa efektif. Dari sini bisa dipahami nilai tertinggi aspek demokrasi terletak pada lembaga demokrasi. Dengan catatan, putusan MK atas gugatan Prabowo-Hatta bisa ditangani secara adil. Atas kualitas ini, kita patut berbangga karena proses politik kita telah memasuki fase konsolidasi demokrasi. Lembaga dan mekanisme demokrasi mampu mewasiti benturan kepentingan politik. Aspek kebebasan sipil masih bermuka dua. Di satu sisi, kegairahan publik yang melahirkan voluntarisme kreatif dan partisipasi elektoral membuat Pilpres 2014 menaikkan pamor demokrasi di Indonesia di mata dunia. Namun di sisi lain, politik kita masih belum menjauhkan diri dari politisasi atas kultur primordial. Berbagai "penggorengan isu" SARA demi menarik sentimen primordial masih digunakan demi menjatuhkan lawan politik. Aspek hak politik membawa angin segar dengan pencapresan Jokowi oleh PDIP. Pencapresan ini menandai deoligarkisasi regenerasi kepemimpinan nasional, sebab untuk mencapreskan diri, seseorang tak perlu menjadi pucuk pemimpin partai. Indikator Deliberatif Segenap evaluasi di atas bisa menjadi data kualitatif bagi kuantifikasi indeks demokrasi 2014. Dengan data tersebut, IDI 2014 semestinya naik dari kategori sedang menuju kategori baik. Hal ini karena Pilpres 2014 tidak semata momen elektoral. Sebagai pemilu, ia melibatkan tiga aspek demokrasi IDI di atas. Artinya, Pilpres 2014 mampu menyedot isu-isu kebebasan sipil, keterbukaan hak politik, serta akuntabilitas lembaga demokrasi. Hanya saja, IDI ala BPS memiliki kelemahan di level paradigma demokrasi. IDI tersebut masih terbatas dalam paradigma liberal democracy yang hanya berkutat di dua hal; kebebasan dan kesetaraan. Kualitas prosedur dalam mengartikulasikan kedua hal itu luput dari penilaian. Ke depan, BPS perlu memperkaya perspektif demokrasi, misalnya melalui asupan teori demokrasi deliberatif. Dalam teori ini, demokrasi belum terlaksana hanya ketika kebebasan dan kesetaraan dipenuhi. Lebih dalam dari hal itu, kemampuan memperjuangkan kebebasan-kesetaraan secara demokratis (rasional dan imparsial), juga urgen diteliti. Kealpaan atas hal itu terlihat dalam penggunaan kebohongan, manipulasi, isu SARA, dan intimidasi oleh sebagian pelaku Pilpres 2014. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar