Pelecehan StatistikBudi Santosa ; Guru besar dan Ketua Jurusan Teknik Industri ITS |
JAWA POS, 15 Juli 2014
PEMILIHAN umum presiden di Indonesia tidak hanya menimbulkan ketegangan antara dua kubu pendukung capres, namun juga pelecehan terhadap ilmu pengetahuan. Baru kali ini suatu ilmu pengetahuan dilecehkan secara serius gara-gara pemilu presiden. Pelecehan dilakukan oleh mereka yang mengerti dan yang tidak mengerti. Ilmu itu adalah ilmu statistika (selanjutnya disebut statistik). Ketegangan pasca 9 Juli ternyata belum juga berakhir. Kini medannya berubah, dari pengungkapan sisi negatif bahkan black campaign kepada siapa pemenangnya berdasar quick count. Pascapilpres 9 Juli dan penyajian hasil quick count (QC), baik dalam obrolan langsung sehari-hari maupun di media sosial atau lewat alat komunikasi yang lain, QC yang tidak lain adalah aplikasi statistik menjadi bahan bulan-bulanan. Orang berpendidikan maupun orang awam semua meledek. Setidaknya sudah dua artikel di Jawa Pos membahas QC. Yaitu, Ki Supriyoko pada Jawa Pos 12 Juli dan A.S. Laksana dalam Jawa Pos Minggu 13 Juli. Keduanya membahas hal yang berbeda. Apa salahnya QC sehingga dilecehkan sedemikian rupa seperti dia itu adalah anak haram yang tidak punya bapak? Dasar QC adalah sampling, pengambilan sampel. Sampling menjadi jantung statistik terapan. Tanpa sampling, banyak hal akan dilakukan dengan sangat lama dan berbiaya mahal. Yang pernah belajar statistik semestinya tahu bahwa kesimpulan mengenai populasi bisa didasarkan pada beberapa sampel yang mewakili. Puluhan tahun kita dan penduduk dunia yang lain telah dengan tidak sadar sebenarnya menikmati dan memercayai manfaat sampling. Survei pasar, survei konsumen, eksperimen di bidang rekayasa, pertanian, dan kesehatan menggunakan sampling semua. Kita percaya untuk hal-hal lain yang merupakan hasil sampling. Tapi, kita melecehkan hasil QC yang juga hasil sampling. Bahkan, tulisan di rubrik Opini pada sabtu, 12 Juli, juga bernada melecehkan QC. Tidak seharusnya QC disalahkan. Padahal, yang salah adalah lembaga atau individu yang secara salah atau sengaja memanipulasi data atau prosedur untuk mengarahkan ke hasil tertentu. Analoginya, kita tidak seharusnya menyalahkan suatu agama hanya karena beberapa penganutnya menggunakannya untuk tindakan teror. Sejauh QC dilakukan dengan metodologi yang benar, baik itu ukuran sampel maupun sampel yang diambil, sudah seharusnya kita sebagai orang yang pernah belajar statistik memercayai hasilnya. Pada zaman ilmu pengetahuan dan teknologi informasi ini, kita semestinya bisa memanfaatkannya dengan tepat. Ucapan kita tunggu saja hingga 22 Juli, dua minggu sejak pemilu dilakukan, adalah ucapan orang yang sejatinya tidak mengakui kemajuan ilmu dan teknologi informasi. Jika semua dilakukan dengan jujur, hasil pemilu presiden bisa diketahui pada hari yang sama. Kalaupun ada kesalahan, mungkin hanya sebesar margin error yang dinyatakan lembaga pelaksana QC. Kecuali, jika selisih perolehan suara kedua calon sangat tipis, QC bisa memberikan hasil yang salah. Kesalahan bukan hanya dalam angka, tetapi salah dalam hal siapa pemenangnya. Dalam kasus di Indonesia, semestinya audit persepi dilanjutkan dengan tindakan hukum. Kita tidak perlu menunggu UU tentang lembaga survei seperti yang dikemukakan Ki Supriyoko (Presiden Korban Qucik Count). Tuduhan pembohongan publik bisa digunakan dalam kasus ini. Sebab, sebuah lembaga dengan sengaja menyalahi prosedur untuk memberikan informasi yang salah kepada publik. Tanpa tindakan hukum, kejadian serupa akan sering muncul dalam kasus-kasus pilkada atau pilpres berikutnya. Aparat negara sudah seharusnya bertindak tegas dengan adanya lembaga survei yang secara sengaja menyebarkan berita bohong. Bahkan, melihat efek pembohongan itu yang sangat besar bagi bangsa, pelakunya seharusnya dihukum sangat berat. Tidak cukup hanya dihentikan izinnya atau dikeluarkan dari asosiasi. Jika itu terjadi, dalam setiap pilkada atau pilpres atau pileg, energi kita akan habis untuk melayani perdebatan hasil QC. Selain itu, kita akan menjadi bahan tertawaan orang asing. ’’Lihat itu betapa lucunya orang Indonesia.’’ Begitu kira-kira komentar mereka. Sebagai aplikasi statistik, sejatinya QC justru bisa menjadi bukti untuk mengonfirmasi apakah real count oleh KPU (lebih cocok disebut official count) dilakukan dengan jujur. Jika terjadi selisih angka yang tidak masuk akal, QC bisa digunakan untuk mempertanyakan kejujuran panitia pemilu. Sebab, perjalanan surat suara dari TPS ke KPU untuk penghitungan akhir sungguh rawan pelanggaran atau manipulasi. Ada baiknya menunggu penghitungan langsung, namun jangan meremehkan hasil QC. Jika semua jujur, semestinya hasil QC selaras dengan hasil official count oleh KPU. Tidak mungkin berbeda. Jika beda, berarti itulah tanda runtuhnya ilmu statistik di negeri ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar