Memercayai Quick Count?Anton A Setyawan ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta |
SUARA MERDEKA, 16 Juli 2014
HAL yang paling dikhawatirkan dari proses pilpres akhirnya terjadi, yaitu hitung cepat (quick count) oleh sejumlah lembaga survei tapi memberikan hasil yang jauh berbeda. Sejak masa kampanye, penulis sudah mulai khawatir oleh kemunculan banyak survei tentang popularitas capres-cawapres dengan hasil bervariasi. Hal itu ternyata terus terjadi sampai dengan proses hitung cepat pilpres yang menyebabkan kebingungan masyarakat. Ada dua hal penting terkait dengan kebiasaan survei politik yang dilakukan beberapa lembaga survei di Indonesia. Pertama; kebanyakan lembaga survei politik tidak pernah menjelaskan metode survei yang mereka lakukan atau pakai, terutama berkait proses pengambilan sampel. Padahal metode pengambilan survei menentukan akurasi hasilnya. Biasanya, juru bicara lembaga survei menyebut diri ia atau mereka sebagai peneliti senior dan menyatakan hasil survei mereka punya margin error 1-2 % sehingga meyakinkan masyarakat bahwa survei tersebut akurat. Kedua; masyarakat Indonesia masih awam terhadap survei sehingga mereka tidak kritis mencermati hasil sebuah survei. Hal ini sebenarnya bisa dimengerti karena memahami proses survei bukan hal mudah. Namun masyarakat harus sadar bahwa sebuah survei politik hanya panduan dan belum bisa dijadikan untuk menarik kesimpulan. Dalam konteks quick count Pilpres 2014, hasil itu hanya panduan sementara karena hasil akhir atau hasil sah tetap harus menunggu real count dari KPU tanggal 22 Juli 2014. Perangkap Survei Menurut Fink (1995) sebuah survei adalah sistem untuk mengoleksi informasi dengan subjek luas dari pembahasan yang terpisah menurut pendidikan, sosiologi, demografi, kesehatan, psikologi, ekonomi, bisnis, dan hukum. Penelitian survei merupakan jenis penelitian yang paling populer dan istilah itu kerap dipakai oleh masyarakat umum. Beberapa hal yang sering muncul dalam pertanyaan survei adalah perilaku, sikap/kepercayaan/opini, karakteristik, harapan, pengelompokan diri, dan pengetahuan. Ada lima hal yang menyebabkan metode survei menjadi lebih berkembang, yaitu perkembangan teknologi komputer, perkembangan organisasi, perkembangan teknologi penyimpanan data, pendanaan dan perkembangan metodologi (Neuman, 2000). Secara komersial, penelitian survei adalah penelitian yang paling ”laku dijual”. Hal ini karena jenis penelitian ini menggambarkan pendapat/persepsi responden terhadap sebuah fenomena. Responden dalam sebuah penelitian survei sering dianggap mewakili masyarakat, padahal tidak sesederhana itu. Ada dua hal utama yang dianggap menjadi kelemahan penelitian survei, yaitu besarnya variabel pengganggu/asing atau extraneous variable. Variabel ini muncul karena beberapa hal, yaitu sejarah, perubahan psikologis responden, dan responden yang dipilih (Fink, 1995). Variabel pengganggu ini menyebabkan kemungkinan terjadinya bias sangat besar. Dalam sebuah survei politik, kemunculan variabel pengganggu karena situasi yang berbeda sewaktu diadakan survei dan pada saat pemilihan karena calon pemilih mendapatkan informasi baru, atau bahkan karena faktor-faktor yang tidak terjelaskan (random alamiah). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar