Kesatria dalam DemokrasiSaurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster Kasad |
KOMPAS, 18 Juli 2014
KESATRIA dapat diartikan sebagai sikap dan watak yang berani tampil terdepan membela kepentingan rakyat, bangsa, dan negara; berani mengakui kesalahan diri; serta menghormati kelebihan atau keunggulan orang lain. Sikap dan watak itu mengantar bangsa ini bisa merdeka lalu mempertahankannya meski hanya bermodal semangat dan bambu runcing menghadapi kekuatan bersenjata canggih dengan risiko mati sekalipun. Makam pejuang kemerdekaan yang gugur dalam perang kemerdekaan dan berserakan di banyak daerah, fakta sejarah tak termungkiri. Sungguh luhur para pendiri TNI yang menggariskan kode etik bagi anak bangsa yang memilih jalan hidup jadi anggota TNI. Tercantum dalam marga kedua Sapta Marga: ”Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Esa membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Penonjolan utama dalam kode etik itu ialah anggota TNI adalah kesatria di samping tuntutan moral ketakwaan dan pembelaan pada kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dalam penghayatan dan pengamalan kode etik itu, seluruh norma yang ada dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit adalah satu kesatuan nilai, bukan nilai yang berdiri masing-masing secara mandiri. Maka, sikap kesatria juga mengandung nilai ”tak kenal menyerah” seperti diamanatkan dalam Sumpah Prajurit. Maka, ketika melihat negeri yang dulu semasa dinasnya dibela dengan pertaruhan satu-satunya nyawa, ternyata, kini, mengenaskan akibat salah kelola, tanpa imbalan apa pun purnawirawan TNI—dan Polri—terpanggil jadi tim sukses atau relawan pasangan capres. Keliru fatal apabila ada yang memersepsikan mereka jadi tim sukses atau relawan karena tamak, apalagi rakus kekuasaan. Jika, toh, ada yang kemudian di antara mereka kelak tampil sebagai menteri atau jabatan lain, niscaya karena komitmen keprajuritannya yang tak mungkin menolak panggilan negara. Bukan kalah perang Berbeda dengan Pilpres 2004 dan 2009, pada Pilpres 2014 keberadaan figur capres dari purnawirawan hanya di satu kubu: Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Jadi, ketika sejumlah purnawirawan berdiri di belakang capres nomor 2 (Jokowi), secara fisik terkesan ada perpecahan di antara purnawirawan TNI. Harus diakui pula cara berpikir taktis militer yang tertanam pada purnawirawan dalam mendukung capres pilihannya sedikit banyak telah membuat pemilu disamakan dengan perang yang hanya mengenal kawan atau lawan. Padahal, pemilu tak lebih sarana menghitung jumlah suara kepercayaan rakyat sebagai pemilik Republik atas pilihan program dan siapa yang bakal dipercaya memimpin negeri ini. Karena itu, pihak yang belum bisa mengumpulkan kepercayaan rakyat dalam jumlah terbanyak sama sekali bukan kalah perang, melainkan sekadar hilang kesempatan yang bisa diulang kelak dalam pemilu lima tahun berikutnya. Sebaik apa pun program dan karakter capres, jika tak sesuai tuntutan rakyat banyak kini, ia tak akan menang di pemilu. Dampak tak terhindari akibat silang pendapat purnawirawan TNI adalah munculnya gundah anggota TNI aktif. Terlontar komentar miring, seolah senior purnawirawan tak bisa kasih contoh. Sikap itu tak bisa disalahkan karena reformasi TNI belum tuntas, terlebih dari sisi kultur, sehingga yang berkomentar itu telah melanggar norma demokrasi. Tugas TNI mengawal demokrasi, bukan menghakimi dinamika demokrasi, te tapi menyiapkan diri menyelamatkan negeri. Ketika kaum sipil gagal berdemokrasi, jangan rakyat jadi korban demokrasi. Timbul pula pertanyaan, mengapa purnawirawan tak kompak utuh mendukung capres yang mantan TNI? Jawaban pasti ada di setiap pribadi. Dalam berdemokrasi, pilihan dalam pemilu adalah hak asasi manusia, sebagaimana diamanatkan konstitusi kita. Bagi mereka yang sudah paham makna kedaulatan rakyat, beda pilihan sama sekali bukan penyebab lunturnya jiwa korsa, termasuk bagi para purnawirawan. Sesepuh TNI di Pemilu 1955 telah membuktikan bahwa keikutsertaan TNI aktif menggunakan hak pilihnya dalam pemilu sama sekali tak bikin TNI terkoyak, apalagi pecah belah. Membawa hikmah Pengalaman pengelompokan purnawirawan dalam Pilpres 2014 ini juga membawa hikmah bahwa pemilu bukanlah momen yang akan membuat purnawirawan pecah belah. Dengan sekali silaturahim yang digelar pemimpin TNI sesudah pilpres saja, niscaya publik akan tahu tak ada perpecahan di antara purnawirawan dan tak juga merenggangkan hubungan purnawirawan dengan TNI aktif. Harus diakui, perbedaan dalam menilai capres nomor 1 yang mantan TNI, terlebih dalam kasus penculikan aktivis 1998, juga sangat manusiawi. Di satu pihak, ada keinginan mendudukkan sejarah apa adanya (karena publik sudah tahu apa dan bagaimana yang terjadi saat itu). Sayang sekali ada upaya memoles kasus itu untuk membuat seolah keputusan pemimpin TNI dan presiden selaku Pangti ABRI adalah karena penzaliman terhadap Prabowo. Bagi penulis, cara ini dirasakan amat merugikan Prabowo karena secara tak disadari telah merusak kebesaran sikap dan watak kekesatriaan Prabowo sendiri. Lagi pula, untuk menang dalam pemilu, tak perlu menihilkan sikap dan watak kesatria yang sudah mendarah daging dalam tubuh Prabowo karena tak setiap perwira berani ambil alih dan pikul risiko atas apa-apa yang dikerjakan anak buah (apalagi Prabowo memilih bungkam, tak mau buka mulut dalam sidang DKP siapa sebenarnya yang memerintahnya hingga bawahannya menculik aktivis). Ditilik dari fakta itu, dan penulis sendiri kenal dekat Prabowo, sangat keliru jika ada pihak yang mengkhawatirkan sikap Prabowo menghadapi hasil Pilpres 9 Juli yang akan diumumkan pada 22 Juli 2014. Jika Prabowo tampil sebagai pemenang, niscaya tak akan umuk (euforia berlebihan); apabila kalah, juga tak mungkin akan amuk (mengamuk). Jangankan cuma rugi materi dan peluang membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa lain. Nyawa pun telah berulang kali ia pertaruhkan di medan tempur. Kontribusi membangun demokrasi yang telah ia contohkan dalam Pilpres 2014 adalah warisan yang akan dikenang bangsa, terutama generasi penerus TNI yang kelak terjun dalam politik. Satu-satunya kekurangan yang harus distop Prabowo apabila keluar sebagai pemenang pemilu adalah dalam menunjuk pembantu dan orang kepercayaannya agar tak terjadi lingkaran setan di sekeliling dirinya, apalagi setan yang berjejer mengelilinginya seperti yang telah mengantar ia harus bertanggung jawab dalam penculikan aktivis 1998 dan harus menanggung sanksi diberhentikan dari dinas aktif. Kelemahan sejenis yang dialami kawannya, yaitu Presiden SBY, perlu jadi pelajaran berharga. Bagaimana mungkin keagungan jabatan tertinggi di Republik berakhir tanpa warisan berharga dan kenangan indah seperti yang kita ketahui saat ini juga bakal kita saksikan kelak setelah SBY lengser keprabon? Kerja keras SBY 10 tahun mengantar transisi demokrasi ternyata baru melahirkan demokrasi transaksional yang melahirkan berandal politik, bandit ekonomi, dan hukum wani piro yang membelit orang dekat dan kepercayaannya, bahkan partainya sendiri. Semoga satu-satunya pertaruhan yang tersisa saat ini, yaitu apakah Pilpres 2014 bisa sukses dalam arti tak ada curang dalam penghitungan hasil pemilu, bisa ia wujudkan. Mari kita saksikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar