Implementasi Pendidikan AntikorupsiSiti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta |
KORAN JAKARTA, 16 Juli 2014
Tahun ajaran baru telah bergulir lagi. Oleh karena itu, perlu diingatkan agar pendidikan di Indonesia harus kembali menegakkan kejujuran dan kepedulian. Apalagi kini bulan Ramadan, dan puasa identik dengan kedua kata tersebut. Manusia harus jujur pada diri sendiri dan Tuhan. Orang berpuasa harus peduli sesama. Ini menjadi refleksi penting karena korupsi Indonesia berakar dari kejujuran dan kepedulian yang telah hilang. Padahal, hampir semua koruptor adalah kaum terdidik dari berbagai kampus bergengsi. Di sinilah tahun ajaran baru harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dalam mencari jawaban strategis berbagai problem pendidikan, khususnya terkait gerakan antikorupsi. Pada tahun 2012, Kemendikbud dan KPK sebenarnya sudah menyepakati kerja sama menerapkan pendidikan antikorupsi. Sayang, kesepakatan ini belum sepenuhnya menjadi komitmen bersama seluruh bangsa. Padahal, program tersebut merupakan gebrakan besar dunia pendidikan. Ini sangat tepat menjadi blue print konsep dan implementasi pendidikan karakter guna membentuk pribadi berintegritas (caracter education for integrity). Pendidikan antikorupsi sangat tepat demi masa depan bangsa yang berkeadilan (justice for suistanable future). Kalau diamati secara saksama, pendidikan justru melahirkan para koruptor karena terjebak sebagai alat kekuasaan. Pendidikan tidak lagi netral dan sudah menjadi ajang pertarungan kekuasaan penuh interest dan konflik. Pendidikan tidak ojektif dan sering kali penuh muatan kepentingan ideologis. Dalam kondisi demikian, pendidikan berubah dari sarana mencari kebenaran dan autentisitas diri manusia menjadi “pembenaran” dan arena pencarian jati diri semu dan abstrak. Pendidikan menjadi jauh dari nilai moralitas kemanusiaan. Dalam keterpautan ekonomi, pendidikan hanya menjadi lembaga “pengeruk” keuntungan, tidak peduli pada kemiskinan bangsa. Permainan kekuasaan dan ekonomi telah membawa pendidikan bangsa ke lembah keterpurukan. Maka, tak heran para tersangka dan terdakwa berbagai kasus korupsi adalah kaum elite berdasi. Mereka lulusan dari lembaga pendidikan tinggi. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, bukannya negeri tambah maju, tetapi justru menyuburkan korupsi. Ini mendendangkan lonceng kematian demokratisasi. Lembaga pendidikan menjadi pencetak koruptor (corruptors creator) paling prestisius yang setiap saat mengadang laju kemajuan bangsa. Korupsi kaum berdasi telah membawa kehancuran bangsa. Wajar ketika A Syafii Maarif (2005) berujar, kerusakan bangsa karena korupsi sudah hampir sempurna. Filsuf Franz Magnis-Suseno menandaskan Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang. Gerakan Dari fenomena demikian, apa yang harus dilakukan lembaga pendidikan, untuk tidak hanya menghapus stereotip pencetak koruptor, namun juga membangun ideologi kehidupan antikorupsi? Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam membangun ideologisasi pendidikan antikorupsi, di antaranya menempatkan pendidikan sebagai sarana membentuk karakter. Atau dalam bahasa pedagog Jerman, FW Foerster (1869–1966), bangsa harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Foester, pendidikan karakter mengandung ciri-ciri keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, dan teguh pada prinsip. Kemudian, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut mengambil risiko, memberi otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar agar menjadi nilai bagi pribadi. Ciri lain, membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran keadilan (Doni Kusuma, A: 2006). Kematangan atas nilai-nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam segala tindakan. Sosok menjadi pribadi tangguh yang siap menerjang ketimpangan masyarakat, khususnya korupsi. Langkah berikut dalam pendidikan karakter antikorupsi perlu membangun kurikulum guna menekan korupsi. Dalam setiap materi pelajaran, seorang guru seharusnya tidak hanya menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan. Dia juga harus mampu mengontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial masyarakat. Dengan integrasi teori dan realitas, kurikulum pendidikan, selain tidak menjemukan siswa, mampu mengantarkan mereka menuju hamparan pengetahuan luas dan dahsyat. Mereka tidak hanya kaya pengetahuan, tapi juga pengalaman hidup sebagai bekal masa depan. Kemudian real action memberantas korupsi. Aksi nyata ini bisa bekerja sama dengan lembaga peradilan yang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi. Dengan aksi nyata tersebut, siswa atau bahkan mahasiswa menangkap, korupor adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikan paling tinggi. Dengan begitu, anak didik akan “tertampar” untuk bangkit mengembalikan moralitas pendidikan. Akhirnya mereka berdedikasi seara positif ikut serta memberantas korupsi demi kelangsungan bangsa. Tahap selanjutnya, mendirikan arus baru lintas sektoral pendidikan sebagai gerakan masif lembaga pendidikan pusat dan daerah dalam menentang ulah para koruptor. Gelombang arus baru tersebut akan selalu diliput media dan lama-kelamaan menjadi mainstream pemikiran kemanusiaan masa depan. Dengan menjadi mainstream baru, pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana. Dia menjadi sebuah gerakan rakyat untuk kemajuan moral bangsa. Gerakan ini akan diperhitungkan. Beberapa langkah ideologisasi tersebut harus menjadi refleksi bersama bangsa sebagai wujud tanggung jawab global (global responsibility) atas berbagai kemelut yang selalu menimpa bangsa. Korupsi dan dua saudara kembarnya, kolusi dan nepotisme, yangs selama ini menjadi “trilogi” penyakit bangsa harus segera lenyap dari bumi Nusantara. Jangan sampai trilogi penyakit tersebut menjadi kejahatan abadi dan sulit terendus karena selalu membentuk sindikasi rumit. Lebih-lebih, jangan sampai kejahatan itu merasuk ke struktur kekuasaan politik ekonomi karena hanya bakal semakin menggerogoti kekayaan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar