Warna dan Entitas Politik Akhmad Saefudin ; Pegiat Forum Studi Al-Mustaqbal (FSA) Purwokerto |
SUARA MERDEKA, 08 April 2014
SUATU ketika ada seorang wanita muda keluar rumah, berselempangkan selendang berwarna merah. Entah, mungkin kurang pas menyampirkannya di pundak atau karena sebab lain, selendang itu terjatuh. Tak lama kemudian, ada burung elang melintas terbang, menyambar selendang itu karena mengiranya sekerat daging. Si wanita itu melapor selendangnya hilang. Semua anggota keluarga pun mencari, namun tak jua terjumpai. Akhirnya, pembantu keluarga wanita tersebut, seorang budak wanita berkulit hitam menjadi tertuduh: pencuri selendang. Pembantu itu serta-merta digeledah: pakaian yang melekat di tubuhnya diperiksa dengan penuh rasa curiga. ”Kenapa kalian semua menuduhku, padahal aku tidak melakukannya?” Saat penggeledahan berlangsung tiba-tiba melintas seekor burung elang. Hewan itu menjatuhkan selendang warna merah di atas orang-orang yang sedang diliputi amarah. ”Itu selendangnya! Itu dia!” pekik budak sahaya itu seraya menunjuk ke arah selendang yang melayang-layang di udara. Setelah kejadian itu, hamba sahaya tadi menemui Rasulullah saw dan menyatakan masuk Islam. Sejak itu, ia bermukim di sekitar masjid. Suatu hari duduklah dia di sisi Ummul Mukminin, Sayidah Aisyah ra. Ia bergumam, ”Hari kejadian selendang itu adalah keajaiban dari Allah. Sungguh peristiwa itu melepaskanku dari belenggu kekafiran.” Terbilang kerap ia menggumamkan kalimat itu hingga membuat penasaran Sayidah Aisyah, ”Kenapa gerangan tiap kali engkau duduk di dekatku selalu berucap begitu?” Maka, bertuturlah wanita itu kepada Sayidah Aisyah tentang kisah selendang merah. Cerita tersebut adalah kisah nyata, tersua dalam Shahih Bukhari (1992/I:161; hadis ke-262). Warna merah bagi bekas budak tersebut, sebagaimana kisah selendang, sangat boleh jadi merupakan pengalaman pahit. Dari segi psikologis, mungkin ada kesan batin nan subjektif: traumatis, kenangan pahit tak terlupakan, dan sebagainya. Disadari atau tidak, dalam kehidupan perpolitikan di Tanah Air, warna sering diklaim menjadi milik entitas politik tertentu. Entitas politik berbasis massa Islam misalnya, identik dengan pilihan warna hijau atau putih. Dalam kehidupan politik kontemporer, warna bahkan telah mewujud menjadi semacam identitas. Tapi betapa pun, kisah selendang merah tidak boleh dijadikan justifikasi untuk menyerang entitas politik yang menggunakan warna merah sebagai identitas. Dengan kata lain, selera atau pilihan warna dalam kehidupan tidak perlu selalu disangkutpautkan dengan politik, apalagi disandarkan pada (dalil) hadis. Andaikata dibilang fanatisme pilihan warna seorang muslim karena adanya rujukan hadis, hal itu pun tak dapat menjadi alasan pembenar. Pasalnya, bila mau mencermati, ternyata Rasulullah saw memberikan apresiasi terhadap beragam warna. Masih terkait dengan warna merah, Al Baihaqi meriwayatkan dari Jabir ra bahwa,” ”Rasulullah pernah memakai pakaian bercorak merah pada dua Hari Raya dan pada hari Jumat.” Begitu pun warna yang lain. Terkait dengan warna kuning, kita dapat merunut dari kisah berikut. Suatu hari Ummu Khalid mengikuti sang ayah (Khalid bin Said ra) menemui Nabi Muhammad saw. Ketika itu Ummu Khalid mengenakan baju warna kuning, dan Rasulullah berkata, ”Sanah! Sanah!” Cincin Nabi Kata sanah dalam Bahasa Habsyi berarti ”bagus”. Lebih lanjut dikisahkan bahwa si kecil Ummu Khalid mempermainkan cincin Nabi. Melihat hal itu, sang ayah Khalid bin Sa’id berusaha mencegah putrinya. Namun, dengan bijak Rasulullah saw perlahan berujar, ”Biarkan.” Bahkan, Beliau berpesan kepada Ummu Khalid, ”Pakailah baik-baik baju kuningmu ini sampai habis!” Ucapan itu diulanginya tiga kali (Shahih Bukhari, 1992/III:147; hadis ke-1.381). Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumaddin berkata, ”Yang mengesankan hati Rasulullah saw adalah warna putih.” Dalam hadis lain disebutkan, yang paling disukai Nabi Muhammad adalah warna hijau (Mukhtarul Ahaadits, 1993:683; hadis ke-903). Adapun Ibnu Ady meriwayatkan dari Jabir rayang berkata, ”Aku pernah melihat Nabi saw bersorban hitam yang dipakainya pada Hari Raya.” Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dia berkata, ”Pernah Nabi keluar dengan kepala berbalut sehelai kain berwarna kelabu.” Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra, bahwa ia pernah melihat Nabi Muhammad menutup kepalanya dengan kain bercorak warni-warni. Karena itu, muslim selayaknya memahami bahwa Rasulullah tidak pernah menganjurkan secara ekstrem untuk memilih warna tertentu ataupun melarang (baca: mengharamkan) warna tertentu. Dalam konteks kekinian, implikasinya adalah berbagai entitas politik yang beraneka warna harus menghormati satu sama lain. Jadi, dalam pesta demokrasi pada Rabu, 9 April lusa kita tidak perlu ragu menentukan pilihan (warna) partai atau caleg, yang sesuai dengan hati nurani. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar