Persepsi Budaya PilegChusmeru ; Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto |
SUARA MERDEKA, 16 April 2014
PESTA demokrasi Pileg 2014 sudah berakhir, tinggal menunggu hasil resmi dari KPU. Secara umum pemilu berjalan lancar dan aman, bahkan KPU mengklaim sukses dengan tingkat partisipasi tinggi pemilih. Terlepas dari masih adanya kesalahan teknis pengadaan logistik, dan banyak terjadi pelanggaran saat kampanye dan pencoblosan, kita harus mengakui Pileg 2014 relatif aman. Namun dari rangkaian pelaksanaan kampanye dan pencoblosan, ada beberapa catatan menarik untuk diamati dari sisi komunikasi dan budaya. Berdasar hasil hitung cepat (quick count) CSIS, jumlah pemilih yang berpartisipasi 75,3%, sedangkan angka golput 24,7%. (antaranews.com, 9/4/14). Mencermati angka itu tentu kita tidak boleh menyalahkan KPU dengan menganggapnya gagal menyosialisasikan pemilu mengingat peran parpol pun ikut berkontribusi terhadap realitas golput. Orientasi dan persepsi budaya pemilih dalam pileg juga menjadi sisi lain yang mendorong kelahiran golput. Pragmatisme politik kini menjadi acuan budaya dan orientasi pemilih. Pragmatisme politik secara perlahan membentuk persepsi budaya pemilih dalam menentukan sikap dan perilaku politiknya. Pemilih tidak hanya menyimak visi misi parpol dan caleg. Mereka juga tidak lagi terbius oleh janji-janji perubahan, perbaikan, atau tawaran peningkatan pelayanan publik. Bagi mereka, politik dan pileg adalah kontekstual dan koherensi. Sepanjang visi misi, perubahan, perbaikan, dan pelayanan hanya janji-janji manis kampanye maka pemilih akan mengambil sikap apatis. Bagi pemilih, janji kampanye haruslah mewujud secara konkret sebelum ia melangkah ke bilik suara. Di sisi lain, parpol juga memberi kontribusi terhadap fenomena amnesia politik. Masyarakat digiring untuk menjadi pemilih yang lupa rekam jejak para caleg. Dimensi temporal sebagai bagian dari komunikasi politik parpol dan persepsi budaya pemilih kurang diperhatikan dalam proses seleksi caleg. Bahkan tak hanya dalam konteks pileg, dimensi temporal itu juga kurang menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara . Dalam pelayanan publik misalnya, ketika warga mengurus keperluan administrasi di suatu instansi, dijanjikan selesai dalam waktu sehari atau besok. Namun, dimensi temporal besok dalam pelayanan publik bisa berarti 2-3 hari, seminggu, bahkan sebulan proses administrasi itu baru selesai. Melawan Lupa Persepsi budaya berkait proses memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasi penilaian tentang parpol atau caleg mendasarkan lingkungan budayanya. Persepsi budaya itu bisa diperoleh lewat keluarga, sekolah, atau media massa. Rekam jejak caleg mestinya dengan mempertimbangkan sikap dan perilakunya pada masa lalu, kini, dan asumsi esok. Pemilih memiliki persepsi budaya yang terbangun secara temporal sejak lama tentang figur politik. Dimensi temporal inilah yang kurang diapresiasi oleh parpol. Kemunculan caleg yang bermasalah berkait moral, korupsi, dan kejahatan lain pada masa lalu, menandakan ada pengabaian dimensi temporal dalam seleksi caleg. Parpol beranggapan bahwa pemilih sudah lupa, atau sengaja dibuat lupa. Padahal secara temporal, pemilih sudah sejak lama memiliki persepsi budaya tentang perilaku caleg. Karena itu, supaya pemilu berikutnya berjalan lebih bersih, para caleg lebih berkualitas, dan pemilih pun menjadi lebih cerdas, semua pihak perlu menggalang ”Gerakan Melawan Lupa” terhadap caleg dan parpol yang bermasalah pada masa lalu. Kekeliruan memahami persepsi budaya pemilih juga dapat menyebabkan perilaku politik caleg yang tak cerdas. Semisal ada caleg menjalani ritual mandi di sungai atau pergi ke ‘‘orang pintar‘‘ dengan harapan terpilih. Perilaku itu dianggapnya bagian dari nilai yang ada dalam lingkungan budayanya. Padahal, persepsi budaya pemilih tentang caleg muncul dengan penuh kesadaran, bukan terbangun atas dasar irasionalitas. Seharusnya para caleg menunjukkan performance dan kinerja sosial politiknya untuk mendapat elektabilitas. Bukan melakukan tindakan yang dianggap berbudaya tapi irasional. Sisi menarik lain dari pelaksanaan pemilu di Indonesia, baik pileg maupun pilpres, adalah keharusan bagi pemilih mencelupkan jari tangan ke dalam cairan tinta setelah mencoblos. Signifikansi penjelasan akan keharusan ini masih belum jelas kaitannya dengan kualitas penyelenggaraan pemilu. Apakah dengan mencelupkan jari tangan ke tinta menjadi pertanda seseorang sudah melaksanakan hak pilih? Ataukah upaya menciptakan pemilu yang jujur dan menghindari kecurangan mencoblos lebih dari satu kali? Sudah sebegitu tak bisa dipercayakah para pemilih dalam pesta demokrasi? Andai itu alasannya berarti kejujuran dalam proses demokrasi cukup diukur dengan jari tangan ternoda tinta. Bukankah persepsi budaya tentang kejujuran sudah sejak dini tertanam dalam nilai dan norma sosial budaya masyarakat kita? Sungguh ironis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar