Memutus Rantai Kekerasan Seksual pada Anak Ary Ginanjar Agustian ; Pakar Pembangunan Karakter |
KORAN SINDO, 19 April 2014
Kasus kekerasan seksual pada anak TK di sebuah sekolah bertaraf internasional mengejutkan banyak orang. Betapa rentannya keamanan dan perlindungan anak kitasaatini. Bahkan”kecolongan” bisa terjadi di tempat yang dikenal sebagai sekolah yang aman dengan penjagaan ekstraketat. Pelaku kejahatan itu pun tidak lain para petugas cleaning service dari perusahaan jasa yang bereputasi, bahkan terlaris di dunia. Karena terjadi di sebuah sekolah ternama, kasus ini mendapat pemberitaan dan sorotan media cukup luas. Namun, sesungguhnya masih banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Seorang ibu mengaku memilih tidak melapor kasus yang menimpa putrinya yang kelas 3 SD. Dia mendapat pelecehan seksual di dalam mobil jemputan saat mengantar anak tersebut pulang ke rumah. Jarak dari rumah terakhir anak yang diantar ke rumahnya sejauh 5 km. Si ibu tak dapat membayangkan apa yang dilakukan si sopir pada anaknya di sepanjang jalan itu. Mengingat untuk melapor ke polisi harus ada bukti, juga visum dokter, serta harus ada pemeriksaan membuat sang ibu khawatir malah akan membuat anak semakin trauma. Dia hanya ingin fokus pada pemulihan psikis anaknya. Artinya, hal seperti ini ibarat gunung es, yang mencuat hanya seujung. Kenyataannya, di lapangan kasus serupa begitu banyak jumlahnya. Pada 2013 Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi menyatakan bahwa tahun 2013 merupakan tahun darurat kekerasan seksual pada anak. Hal itu didasarkan pada fakta kekerasan seksual pada anak yang sudah berada titik yang sangat mengerikan dan memprihatinkan secara kuantitas maupun kualitasnya. Dalam tiga tahun, setiap bulan ratarata 45 anak mengalami kekerasan seksual, sedangkan kejahatan seksual pada anak belakangan ini makin sadis dan di luar nalar sehat. Mengikuti berita-berita semacam ini sungguh membuat hati dan kepala kita sakit. Betapa zaman saat ini banyak manusia yang bukan manusia. Anak-anak yang berangkat ke sekolah untuk mendapat siraman ilmu sehingga jiwa dan pikirannya tumbuh kembang, malah dirusak sehingga masa depannya terhantui bayangbayang trauma masa kecil. Melihat fenomenakekerasan seksual yang juga tak kunjung surut, maka tahun darurat kekerasan seksual akan berlaku setiap tahun. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus berlangsung? Sebuah fakta yang juga mengkhawatirkan menurut para psikolog, korban kekerasan seksual sodomi cenderung menjadi pelaku sodomi di kemudian hari. Seperti yang dilakukan Baekuni alias Babe. Dia pernah melakukan kejahatan seksual pada 14 anak yang sebagian korbannya dibunuh. Ternyata menurut pengakuannya, saat berusia 12 tahun dia pernah di sodomi di Lapangan Banteng. Demikian juga dengan Sartono yang diketahui sudah melakukan hal serupa pada 96 korban. Pada umur 13 tahun dia pernah menjadi korban sodomi di Stasiun Cirebon. Jika saat ini makin banyak korban yang sebagiannya kemudian menjadi pelaku, bagaimana angka-angka kekerasan seksual pada anak di tahuntahun mendatang? Kemudahan mengakses konten pornografi baik berupa gambar maupun video adalah faktor penyebab meningkatnya perilaku seks saat ini. Adapun anak-anak adalah korban yang paling rentan karena dari sisi fisik sangat tidak berdaya dan tidak mampu melawan. Akankah bola salju ini akan kita biarkan bergulir hingga angkanya makin mengerikan? Tentu harus ada langkah dan upaya konkret untuk menghentikan semua ini. Upaya seperti apa upaya yang harus dilakukan? Di sekolah internasional yang sedang mendapat sorotan luas itu, setelah terjadinya insiden pihak sekolah langsung memasang closed-circuit television (CCTV) pada area toilet. Sehingga diharapkan kejadian serupa tidak terulang. Banyak orangyangmelihat fenomenaini sebagai permasalahan sistem atau perangkat. Terbukti pasca kejadian ini, pemasang iklan perangkat CCTV meningkat terutama di media online. Banyak sekolah yang kemudian memasang alat ini karena khawatir kejadian serupa menimpa sekolahnya. Jika masalahnya pada CCTV, sekolah internasional tersebut ternyata sudah memasang 400 CCTV yang dipasang di berbagai sudut di sekolah. Begitu pula standard operating procedure (SOP) pengamanan pun sudah dilakukan pihak sekolah dengan sangat luar biasa. Lalu apa masalahnya? Sarana atau perangkat tentu sangat mendukung, namun bukan satu-satunya solusi dan yang terpenting. Bagaimanapun sarana adalah alat ciptaan manusia yang juga dapat disiasati manusia. SOP juga adalah sebuah standar yang ditulis oleh manusia dan yang menjalankannya juga manusia. Jadi kembali yang terpenting adalah faktor manusia yang menjalankannya. Perlu upaya untuk membangun karakter dan mental manusia-manusia yang dekat dan ada di sekitar anak. Seringkali dalam menyiapkan SDM sebuah lembaga lebih sibuk pada pelatihan membangun skill. Para cleaning service dijejali teori bagaimana cara membersihkan lantai yang mengkilat, yang efektif, dan memuaskan. Para sopir dilatih cara berkendara yang baik, diberi tahu arti rambu-rambu lalu lintas, diajari cara merawat kendaraan. Namun mereka lupa bagaimana mengasah hati nurani agar mereka mendapatkan makna dari pekerjaan yang mereka lakukan. Bahwa sesungguhnya apa pun pekerjaan mereka akan sangat bernilai bagi orang lain, dan pekerjaannya itu akan dipertanggungjawabkan. Bahwa mereka bisa begitu mulia dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Hal inilah yang sudah 14 tahun kami kampanyekan melalui ESQ 165. Membangun manusia yang memiliki kesadaran akan tujuan hidup, dari mana asal kita dan mau ke mana. Hal itu sangat penting untuk membangun mental dan karakter manusia. Sudah berbagai lapisan kami memasuki dunia korporasi, sekolah, organisasi, namun masih banyak wilayah yang belum tersentuh. Kami berharap jika pelatihan ini juga diberikan pada pihak-pihak yang juga bersentuhan dengan dunia anak, maka makin banyak anak yang terselamatkan, tidak lagi jadi korban kekerasan seksual yang saat ini angkanya terus meningkat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar