Dewi Sartika dan Kartini BerdukaDedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia |
KOMPAS, 21 April 2014
ADA dua isu penting yang harus dibicarakan kalau kita membahas korupsi dan jender. Pertama, apakah perempuan kurang koruptif ketimbang laki-laki dalam birokrasi, institusi politik atau bisnis. Tiga institusi penting di mana korupsi biasanya bersimpul. Kedua, bagaimana dampak korupsi pada perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal. Informasi tentang kecenderungan perempuan dan laki-laki melakukan tindakan korupsi ini penting untuk membangun strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kalau benar perempuan kecenderungan perilakunya kurang koruptif, maka bisa didorong perempuan mengisi posisi penting dalam institusi birokrasi, bisnis, dan politik. Perempuan dan anak-anak, terlebih dalam masyarakat patrilineal, biasanya lebih rentan dan berisiko tinggi termarjinalkan dalam masyarakat. Ketika korupsi terjadi, bisa jadi perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal yang paling dirugikan. Informasi tentang dampak korupsi pada perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal penting untuk memperbaiki desain kebijakan, pengalokasian sumber daya, dan pembangunan supaya tidak hanya menyejahterakan, tetapi juga memperbaiki relasi jender di masyarakat. Dewi Sartika dan Kartini, dua pionir pemberdaya perempuan, di alam baka sana, mungkin senang sekaligus berduka melihat perkembangan relasi jender di Tanah Air saat ini. Senang karena ketimpangan jender makin menyempit. Sekarang ini akses perempuan untuk menguasai informasi, teknologi, pendidikan, bisnis, dan kekuasaan politik makin terbuka. Demikian juga profesi dan jabatan apa pun sekarang ini bisa diisi perempuan. Kecewa karena lebih dari satu dekade terakhir bukan hanya makin banyak, melainkan juga makin berbobot dan meluas perempuan terlibat kasus korupsi. Makin berbobot artinya makin tinggi jabatan dan prestise perempuan yang terlibat korupsi. Makin meluas artinya profesi perempuan yang terlibat korupsi makin beragam. Data yang ada menunjukkan kecenderungan itu. Korupedia, Ensiklopedia Korupsi Indonesia, selama periode 2000-2012 mencatat ada 202 laporan kasus korupsi yang sudah berketetapan hukum. Dari 202 kasus tersebut, 12 kasus atau 5,94 persen melibatkan perempuan, selebihnya laki-laki. Proporsi perempuan yang korup masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Dari kedua belas kasus korupsi yang melibatkan perempuan tersebut, sebanyak 1 kasus terjadi pada 2006, 2 kasus pada 2007, 1 kasus pada 2008, 1 kasus pada 2009, 4 kasus pada 2011, dan 3 kasus pada 2012. Korupedia belum memutakhirkan lagi datanya sehingga luput merekam empat putusan yang terjadi pada 2012. Dengan demikian, pada 2012 tersebut kalau direkapitulasi, ada tujuh perempuan yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jumlah perempuan yang terbukti korupsi sangat mungkin bertambah. Sebab, saat ini sekurangnya ada tujuh perempuan tersangka korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Secara kualitatif, perempuan yang terbukti bersalah atau masih menjadi tersangka makin hari makin berkelas. Terakhir mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan. Konstruksi sosial Terungkapnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan perempuan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perempuan bukanlah makhluk khusus yang imun terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Perempuan juga bisa tergoda untuk serakah dan berbohong, bisa egois mementingkan diri sendiri, curang dalam persaingan bisnis, menyikut lawan dalam persaingan politik dan jabatan, dan lain-lain. Pendek kata, ketika berkuasa di birokrasi, lembaga politik atau bisnis, perempuan juga berpotensi menyelewengkan amanah dan kekuasaannya. Dewi Sartika dan Kartini barangkali tidak menduga sekarang perempuan pun bisa jadi musuh publik yang mencemaskan. Keterlibatan perempuan dalam korupsi juga bukan peristiwa kebetulan. Di sana ada motif, rencana , dan tujuan. Mereka harus lihai menyuap ketika harus mendapatkan tambahan jatah kuota impor daging sapi, ketika berusaha memenangi tender proyek, ketika menginginkan jabatan publik yang lebih tinggi, atau ketika berusaha memperoleh izin untuk mengonversi lahan untuk berkebun kelapa sawit, dan lain-lain. Kalau sekarang kita mendapati kecenderungan perilaku koruptif perempuan juga menguat, maka itu pertanda mungkin tidak ada diferensiasi jender dalam tindakan koruptif. Studi terbaru lintas negara yang dilakukan Justin Esarey dan Gina Chirillo dari Rice University tentang ”Fairer Sex” or Purity Myth? Corruption, Gender, and Institutional Context menunjukkan di negara-negara demokratis yang prevalensi korupsinya endemik, kecenderungan koruptif laki-laki dan perempuan sama saja. Kecenderungan perempuan koruptif yang rendah bisa menjadi manifes dan membesar kalau institusi politik dan hukum juga koruptif, kontrol publik terbatas, dan mekanisme pengawasan internal dan eksternal dalam organisasi tidak bekerja. Implikasi Apa implikasi meningkatnya kecenderungan perempuan korup? Pertama, meruntuhkan keyakinan yang selama ini bercokol dalam benak orang bahwa perempuan kurang koruptif dibandingkan laki-laki. Keyakinan itu bukan tanpa dasar karena ada beberapa bukti empiris yang mendukung. Sebuah studi lintas negara yang mencakup 150 negara di Eropa, Afrika, dan Asia, misalnya, sampai pada kesimpulan bahwa perempuan lebih bisa dipercaya dan rendah risikonya melakukan tindakan koruptif. Lihat, misalnya, studi David Dollar, ”Are Women Really the Fairer Sex? Corruption and Women in Government” dalam World Bank Working Paper Series No 4 tahun (1999). Kedua, relasi jender yang tak seimbang menyebabkan perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal biasanya lebih rentan dan berisiko tinggi termarjinalisasi dalam masyarakat. Kalau yang mendistorsi dan menjarah sumber daya publik itu perempuan, maka perempuan dan anak-anak jugalah yang menjadi korban korupsi. Ironis dan menyakitkan. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal (DPPIDT) yang di antaranya melibatkan seorang politisi perempuan bisa dijadikan contoh menarik. Dalam keadaan daerahnya tertinggal dan infrastrukturnya yang buruk, perempuan dan anak-anak sudah menjadi korban dengan sendirinya. Mereka menjadi korban untuk kedua kalinya ketika dana yang dialokasikan untuk pembangunan daerahnya dikorupsi. Kasus ini menunjukkan sangat mungkin terjadi perempuan menindas perempuan dan anak-anak. Inilah barangkali yang menjadikan Kartini dan Dewi Sartika kecewa. Ketiga, tidak relevan lagi mendorong perempuan masuk dan mengisi jabatan publik, politik, dan bisnis dilihat sebagai bagian dari strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Karena dalam keadaan demokratis tapi endemik korupsi, kecenderungan koruptif laki-laki dan perempuan sama saja. Di sini kita harus memisahkan dengan jelas isu keadilan jender dengan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Mendorong perempuan yang sadar jender masuk ke dalam institusi birokrasi, politik, dan bisnis merupakan isu keadilan jender, yang harus tetap diperjuangkan. Agenda utama Apa bisa kita lakukan untuk mengatasi kecenderungan perempuan koruptif? Di negara-negara demokratis yang korupsinya minimum, perempuan memang risiko korupnya lebih rendah daripada laki-laki. Konstantasi ini memberikan inspirasi bagi kita untuk, pertama, terus memperbaiki kualitas demokrasi dan meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi. Memastikan adanya pergantian pemerintah secara tertib dan teratur; bebas dan mandirinya institusi peradilan; kuatnya partai politik oposisi; mandiri dan bebasnya media; dan kuatnya gerakan sosial antikorupsi merupakan jalan keluar yang harus ditempuh. Ajeknya kelima pranata sosial itulah yang memberikan kontribusi besar pada rendahnya prevalensi korupsi di negara-negara demokrasi liberal. Kedua, sekecil apa pun kecenderungan perempuan koruptif, kita harus mengembangkan jaringan pengaman bagi korban korupsi, khususnya perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal. Kita harus memastikan dan memulihkan hak-hak dasar mereka atas kecukupan pangan dan air bersih, kesehatan, perumahan, dan kesempatan kerja dan berusaha. Sayangnya, sejauh ini korban korupsi itu sulit ditemukan dan dikenali baik karena ada hambatan metodologis maupun nilai sosial dalam masyarakat. Karena korban korupsi sulit ditemukan dan dikenali, maka studi tentang penelusuran korban korupsi menjadi strategis dan penting. Selain untuk memperkaya khazanah pengetahuan tentang dampak korupsi pada relasi jender, perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal, studi ini juga berguna untuk memperbaiki praksis keterlibatan perempuan dalam institusi birokrasi, politik, dan bisnis. Sukses mengerjakan kedua agenda itu bukan hanya akan memperkecil kecenderungan perempuan koruptif, tetapi juga bisa mengatasi dampak korupsi terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal. Itu akan cukup membuat Dewi Sartika dan Kartini bahagia dalam tidur panjangnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar