Indonesia Makin Menarik(Wawancara) Richard Robison ; Guru Besar Emeritus bidang Ekonomi-Politik di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia |
KOMPAS, 20 April 2014
Kota Fremantle di tepi pantai yang berudara segar, sekitar 30 km dari Perth, Australia Barat, memberi pengaruh baik bagi Prof Richard Robison. Guru besar emeritus bidang ekonomi-politik di Asia Research Centre, Murdoch University, itu tetap sigap secara fisik dan cergas dalam lingkup intelektual pada usia melebihi 70 tahun. Indonesia menjadi subyek penelitian Robison selama 40 tahun mengenai isu sosial-politik, neoliberalisme, dan perubahan. Nama Robison terkenal di masyarakat keilmuan internasional melalui penelitian tentang politik-ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru untuk disertasi doktor. Dia membuktikan tengah terjadi hal yang belum pernah ada di Indonesia, yaitu pembentukan kekuatan di tangan elite yang menggabungkan politik, bisnis, dan militer akibat kosongnya kekuasaan setelah penjajah Belanda meninggalkan Indonesia. Robison menuliskan hasil penelitiannya dalam buku yang sering dikutip dalam penelitian ekonomi-politik Indonesia dan hampir menjadi klasik, Indonesia: The Rise of Capital (Allen & Unwin, 1986). Buku ini mengubah pendekatan sebelumnya tentang Indonesia yang umumnya memakai teori dependensi dan kolonialisme. Harian Kompas berbincang dengan Prof Robison di Asia Research Centre, Murdoch University, Perth, Australia, Kamis (20/3), bersama Prof Vedi Hadiz, juga dari Asia Research Centre, dan Dr Joko Kusnanto Anggoro dari Universitas Pertahanan Indonesia. Bagaimana proses lahir Indonesia: The Rise of Capital? Benarkah karena melihat pungli di kantor imigrasi? Ketika saya datang ke Jakarta untuk riset doktoral, akhir 1973 hingga awal 1974, ada beberapa pandangan tentang Indonesia. Ada yang mengatakan militer tengah memodernisasi diri. Ada yang menyebut masalah budaya. Secara bertahap saya melihat terjadi perubahan di Indonesia. Muncul kelompok baru, berbeda dari sebelumnya, yaitu orang-orang yang mengintegrasikan politik, bisnis, dan militer. Tentang kantor imigrasi, saya ke sana karena urusan visa. Visa saya untuk setahun, tetapi baru berjalan tiga bulan perlu kembali ke Australia. Saya harus mendapat izin masuk lagi ke Indonesia. Saya menunggu sekitar empat jam dan melihat orang-orang bisnis datang, memberi uang kepada petugas yang sedikit banyak terlihat jelas dari tempat saya menunggu. Akhirnya kepala imigrasi menemui saya dan saya jelaskan saya harus ke Australia karena ayah sakit. Dia memberi stempel (di paspor) izin kembali ke Indonesia. Kejadian itu tidak ada hubungannya dengan riset saya, tetapi ini pengalaman menarik. Untuk riset, saya mencoba berbicara dengan banyak pebisnis pribumi, tetapi sangat kentara mereka tengah surut. Muncul pebisnis baru dan hubungan dengan keluarga penguasa. Seperti dalam cerita detektif, menelusuri siapa memiliki apa dan apa hubungan mereka dengan penguasa dan kelompok bisnis lain. Indonesia tidak mengalami eksploitasi seperti dikatakan para ahli teori dependensi saat itu. Juga tidak berhubungan dengan budaya. Bukan budaya? Bukan. Ini situasi setelah kemerdekaan tidak ada satu pihak cukup kuat mengambil alih kekuasaan menyeluruh. Tentu ada militer, partai PSI, PNI, dan yang lain. Dalam kekosongan kekuasaan setelah penjajahan Belanda berakhir, Soeharto membangun konsentrasi kekuasaan yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini yang dibangun Orde Baru. Lalu, saya melihat Orde Baru bukan terdesak ke luar. Orde Baru mulai runtuh dari dalam sendiri karena Soeharto tidak dapat memberi visi ke depan dan orang-orang yang melakukan reformasi adalah produk Orde Baru juga. Buku saya (The Rise of Capital) adalah tentang kemunculan apa yang diharapkan menjadi kelas penguasa di Indonesia. Saya bertemu para pebisnis dan menyadari mereka bukan yang akan menggerakkan masa depan Indonesia, melainkan mereka yang ada hubungannya dengan kelindan baru antara kekayaan dan kekuasaan. Indonesia kini Setelah reformasi 1998 Indonesia semakin menantang bagi Robison sebagai peneliti. Pemilu 2014 menarik perhatian dalam konteks munculnya gejala populisme dan surutnya peran parpol ideologis. Apakah perspektif dalam The Rise masih berlaku? Menurut saya, ya. Dalam buku lebih baru, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (ditulis bersama Vedi Hadiz, 2004), argumennya adalah perginya institusi Orde Baru. Tetapi, pada akhir Orde Baru terdapat kelompok baru. Bukan hanya oligarki yang sama, tetapi juga intelektual dan kelas menengah. Pada akhir era Soeharto, militer kehilangan kekuasaan. Tetapi, kemudian reformasi, terutama pada tingkat lokal, terjebak dalam kepentingan-kepentingan lama. Jadi, tesis dalam The Rise of Capital masih berlaku saat ini, yaitu kekuasaan dan politik masih dikendalikan oligarki yang sama, hanya lebih longgar. Ada media dan pers yang hidup dan terbuka, orang bebas berbicara, dan kampus lebih terbuka. Yang terjadi bukan revolusi liberal oleh sedikit individu independen menggugat negara, tetapi sesuatu yang tumbuh dari dalam negara sendiri. Peran militer sekarang sangat surut, tetapi hubungan antara partai politik, pebisnis, dan orang-orang di pemerintah kira-kira seperti oligarki 1970-1980-an? Sekarang lebih kompleks. Dulu pebisnis mendapat lisensi dari patron politik dan mereka memakai lisensi itu. Sekarang, grup-grup bisnis begitu besar dan berkaitan dengan mitra internasional. Mereka menaruh uang di bank-bank di Singapura dan negara lain. Tetapi, tetap saja grup-grup usaha setelah mundurnya Soeharto membangun aliansi politik dengan kekuasaan, kali ini dengan partai politik di parlemen. Sebelumnya, aliansi itu dengan militer dan birokrasi. Ada perubahan. Satu hal penting di Indonesia, reformasi hukum tertinggal jauh dari reformasi politik dalam menghadapi isu korupsi dan tata kelola, meskipun ada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak cukup? Kemajuan sistem hukum tak tersinkronisasi dengan reformasi politik. Dalam Reorginising Power, itu tentang perebutan kekuasaan. Bukan sekadar sejumlah lembaga berubah sehingga kelompok-kelompok yang punya kekuasaan dapat hidup mudah dalam demokrasi di Indonesia. Ini terjadi di banyak negara, tetapi tidak berarti ada reformasi dalam tata kelola dan sistem hukum. Saat ke Jakarta bersama sejumlah wartawan Australia (semasa Orde Baru), kami bertemu Menteri Penerangan yang seorang jenderal. Dia mengatakan, pemerintah sudah melonggarkan kontrol kebebasan pers. Pers boleh menulis lebih kritis dan mereka kaget karena tidak terjadi revolusi. Artinya, pers yang lebih bebas boleh ada dan kelompok-kelompok pemegang kekuasaan tetap dapat mengontrol keadaan. Ini seperti menjadi temuan besar. Mereka menyadari kelompok-kelompok oligarki tetap dapat terus memerintah dengan tidak perlu merepresi (pers). Pengaruhnya pada demokrasi Indonesia? Salah satu masalah di mana-mana adalah terbatasnya pilihan parpol. Setelah Soeharto jatuh, parpol praktis hanya ada Golkar dan PDI-P. Keduanya tidak punya platform politik. Mereka hanya menawarkan pemimpin karismatis atau daya tarik pada stabilitas sehingga sebenarnya tidak ada pilihan nyata bagi masyarakat. Presiden SBY mengatakan akan mengatasi korupsi, dan menurut saya, tanpa dukungan dia mungkin tidak ada KPK. Tentang pemilu kali ini? Sebenarnya yang terjadi di Indonesia kali ini populisme mengambil alih. Setiap orang di dunia sedang membahas akhir dari partai politik ideologis. Parpol tidak menarik masyarakat dengan basis ideologi. Mereka telah menjadi humas kampanye, berkoneksi dengan massa, mengontrol dengan televisi. Di Australia yang berkuasa sekarang partai yang berhasil meyakinkan publik bahwa partai lawan (Partai Buruh) tidak kompeten dan pemboros. Partai Buruh tidak bisa menjawab serangan itu. Jadi, Australia sekarang memiliki partai liberal, partai yang fundamentalis pasar, tetapi partai ini ideologis. Perubahan di Australia ini sungguh penting. Di Indonesia saya melihat tidak ada partai sosial-demokrat, partai yang orientasi (ideologinya) pasar, bahkan tidak ada partai konservatif dalam arti sesungguhnya. Kelihatannya tidak penting (ada partai ideologis). Apakah meneliti Indonesia masih menarik Anda? Saya rasa masih. Salah satunya apakah Indonesia bisa melakukan transisi dari politik lama ke baru. Itu yang orang bicarakan tentang Jokowi. Kita bisa mengatakan Golkar dan PDI-P adalah sisa-sisa partai lama yang terpusat dan diorkestrasi. Jokowi membawa politik Indonesia ke panggung baru, apa itu? Apakah pentas baru populisme? Ataukah pentas di mana partai ideologis dapat mulai muncul kembali. Tentang globalisasi, di mana-mana orang menentang karena menimbulkan ketimpangan kesejahteraan? Populisme bisa ke mana saja, bisa menjadi instrumen neoliberalisme, yaitu masyarakat individu yang membuat pilihan sendiri sehingga tidak perlu ada parpol karena dapat memilih pemerintahan secara individual. Sebaliknya, populisme bisa digunakan untuk sikap nasionalistik dan anti asing. Ada juga bentuk populisme yang fasis. Tetapi, ada yang mengatakan, internet dan sosial media membuat segala sesuatu terfragmentasi, tidak ada kohesi, sehingga populisme adalah bentuk alamiah politik. Jadi, mungkin saja pada masa depan pemerintah dipilih melalui Twitter, pemerintah bisa berganti tiap 10 menit. Yang lain? Pertanyaan tentang korupsi, tata kelola negara, dan dapatkah sistem hukum menyelesaikan masalah ini karena sudah berlangsung lama. Juga menarik melihat politik perdagangan luar negeri Indonesia, pergeseran paradigma ekonomi, politik lingkungan. Jadi, menurut saya, Indonesia jauh lebih menarik daripada era 1990-an. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar