Deparpolisasi dan Politik Uang dalam Pemilu Burhanuddin Muhtadi ; Dosen FISIP UIN, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia |
REPUBLIKA, 17 April 2014
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyimpulkan bahwa praktik politik uang dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014 makin vulgar dan masif. Modus operandi politik uang juga makin canggih dan variatif. Politik uang telah menjadi bahasa komunikasi politik yang mempertemukan relasi antara politisi dan pemilih. Seberapa permisif masyarakat kita terhadap politik uang? Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi politik uang? Secara umum, politik uang dapat dipahami sebagai bentuk mobilisasi elektoral dengan cara memberikan uang, hadiah, atau barang ke pada pemilih agar dicoblos dalam pemilu. Sejumlah studi merujuk politik uang pada teori distribusi politik yang dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, politik uang yang secara spesifik menunjuk pada strategi ritel jual beli suara (vote buying). Dari segi waktu biasanya dilakukan menjelang pemilu (serangan fajar). Kadang dilakukan prabayar sebelum hari-H pemilihan, tapi ada pula yang sesudahnya setelah terbukti dukungan cukup signifikan. Kedua, strategi politik uang grosiran dan lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan kebijakan programatik, seperti bantuan sosial atau hibah maupun dana pork barrel untuk kepentingan elektoral. Tiga faktor Setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi politik uang. Pertama, faktor desain kelembagaan. Sistem proporsional terbuka cenderung mengarah pada politik elektoral yang bertumpu pada kandidat dan personal vote. Dibanding proporsional tertutup, proporsional terbuka memberikan insentif lebih kepada calon dalam melakukan politik uang. Kompetisi antarcalon di internal partai makin sengit. Tak terkecuali daerah pemilihan (dapil) yang alokasi kursi yang diperebutkan lebih banyak juga mendorong politik uang lebih masif ketimbang di dapil yang kursinya lebih sedikit. Faktor institusi lainnya adalah desentralisasi yang juga dipercaya meningkatkan politik uang. Selain itu, politik uang lebih marak terjadi dalam arena elektoral dengan populasi pemilih lebih sedikit. Ilmuwan politik Susan Stokes (2007) menyatakan, "The smaller the constituency, the more vote buying." Oleh karena itu, politik uang dalam pemilihan anggota DPRD lebih masif ketimbang pemilihan DPR pusat. Pemilih yang diperebutkan calon anggota DPRD jauh lebih sedikit. Dalam pemilihan presiden dengan pemilih sekitar 185 juta, sulit dibayangkan tim sukses calon presiden membagikan uang kepada ratusan juta pemilih. Maka, semakin besar pemilih yang diperebutkan, politik uang dilakukan secara grosiran dengan memanfaatkan program pemerintah yang bersifat populis. Faktor kedua adalah tingkat pendidikan dan pendapatan. Pemilih miskin cenderung menerima pemberian jangka pendek dan konkret meski nominalnya tak seberapa ketimbang janji-janji programatik pada masa depan yang ditawarkan politisi (high discount rate). Dari perspektif elite, harga suara pemilih miskin juga jauh lebih murah ketimbang membeli suara pemilih menengah ke atas. Faktor ketiga adalah politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat. Hubungan patron-klien menjadi humus yang menyuburkan maraknya politik uang. Patron memberikan barang atau uang untuk mengikat loyalitas klien. Dalam konteks ini, hubungan timbal balik (norms of reciprocity) menjadi basis kultural yang menopang praktik politik uang. Politisi tak bisa mendapat dukungan jika tidak disertai uang atau pemberian. Deparpolisasi Dalam riset disertasi saya pada Australian National University (ANU) tentang "The Logic of Money Politics: Its Forms, Determinants, Actors and Electoral Outcomes in Post-Suharto Indonesia", ketiga faktor di atas menyumbang sikap dan perilaku terhadap politik uang. Survei nasional Indikator Politik Indonesia pada Maret 2014 menunjukkan tingkat toleransi pemilih terhadap politik uang sangat tinggi. Sebanyak 41,2 persen pemilih menilai praktik politik uang sebagai suatu kewajaran dan hanya 58,5 persen yang menilai politik uang tak bisa diterima. Di antara pemilih yang menilai politik uang sebagai suatu kewajaran, 25 persen responden akan memilih calon yang memberi uang dan 6,4 persen memilih calon yang memberi uang paling banyak. Namun, lebih dari separuhnya akan menerima pemberian, tapi tetap memilih sesuai hati nurani (58,9 persen). Sebagian kecil di antara mereka akan menolak uang meski menilai praktik itu sebagai suatu yang lumrah (9,3 persen). Bahkan, dalam survei exit polls yang dilakukan Indikator pada 9 April 2014, dua dari 10 pemilih mengaku sebelum mencoblos didatangi tim sukses atau orang yang membujuk agar memilih partai atau calon tertentu. Ketika memakai teknik disguised question untuk menghindari bias social desirability, lebih banyak responden yang menjawab ada serangan fajar yang terjadi di lingkungan mereka. Separuh di antaranya mengaku diberi uang atau barang. Uniknya, selain tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, praktik politik uang ternyata berkaitan dengan rendahnya partyID atau identifikasi pemilih terhadap partai. PartyID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Data tren menunjukkan selama sepuluh tahun terakhir tingkat kedekatan pemilih terhadap partai rendah sehingga memicu gejala deparpolisasi. Deparpolisasi atau party dealignment adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai. Menurut Biorcio dan Mann heimer (1995), gejala ini bisa dilihat dari dua dimensi yang menghubungkan pemilih dengan partai: partyID dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional). Pada saat ikatan pemilih terhadap partai melemah, fungsi partai untuk menghubungkan kepentingan pemilih dan keputusan-keputusan publik yang dibuat di DPR atau pemerintah juga memburuk. Data tren Indikator juga menemukan dibandingkan institusi demokrasi yang lain, kepercayaan publik terhadap partai paling lemah. Dalam survei yang saya lakukan ditemukan bahwa pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai (partyID) cenderung menolak pemberian politik uang. Secara logis, jika pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai, ia cenderung menolak tawaran material dari tim sukses atau calon dari partai lain. Sebaliknya, dalam survei ditemukan bahwa pemilih cenderung toleran dan menerima politik uang karena mereka tidak memiliki kedekatan dengan partai. Pemilih kemudian melakukan relasi transaksional dengan partai. Tingkat kepercayaan terhadap partai lemah mendorong relasi antara partai dan pemilih menjadi bersifat jangka pendek dan materialistis. Dengan demikian, politisi tak bisa sekadar menyalahkan pragmatisme pemilih yang membuat biaya politik semakin mahal. Politik transaksional antara politisi dan pemilih akibat kegagalan partai dalam meningkatkan diferensiasi ideologis dan kedekatan dengan pemilih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar