Gubernur Jenderal Papua?Amiruddin al-Rahab ; Pemerhati Sejarah-Politik Papua |
TEMPO.CO, 16 April 2014
Herman Willem Daendels, pasti semua tahu sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda di awal abad ke-19 ini. Ia, gubernur jenderal terbesar Hindia Belanda, dengan kerja paksa menguasai Jawa dan sekaligus menaklukkan raja-rajanya. Bagi Jawa, gubernur jenderal adalah kaca buram kenangan pahit yang terpatri dalam jiwa. Tetapi tidak di Papua. Papua di era kolonial Belanda tidak mengenal gubernur jenderal, hanya gubernur, yang memerintah sejak pasca-KMB, yaitu S.L.J. Van Waardenburg, J. Van Baal, dan P.J. Platteel (1950-62). Bisa dikatakan tidak ada memori Papua tentang gubernur jenderal. Jika saat ini muncul permintaan perlu adanya gubernur jenderal di Papua, tentu menarik diperhatikan. Gubernur Papua saat ini, Lukas Enembe, meminta adanya jabatan Gubernur Jenderal Papua melalui draf RUU Otsus Plus kepada Presiden, awal Februari 2014 lalu. Ketika Menteri Dalam Negeri Gamawan, 3 Maret 2014, menyampaikan permintaan Papua agar ada Gubernur Jenderal Papua (GJP) dalam suatu sidang di DPR RI, Priyo B. Santoso, Wakil Ketua DPR RI, kaget dan meminta Mendagri mengulanginya lagi agar lebih jelas. "Apa kita mau kembali ke zaman koempeni?" tanya Priyo. Setelah Mendagri menjelaskan bahwa GJP itu baru diusulkan dari Papua, dengan maksud untuk mengkoordinasikan para gubernur yang ada, Wakil Ketua DPR RI itu bisa memaklumi karena baru usul Papua, belum menjadi kebijakan pemerintah. Dalam draf RUU Otsus Plus Papua itu, pengertian GJP adalah "koordinator kewilayahan, bertanggung jawab mengawasi jalannya pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil pemerintah di Provinsi". GJP harus orang asli Papua. Diangkat oleh presiden berdasarkan usul dari gubernur dan DPRP dengan persetujuan MRP. Masa jabatan GJP adalah 7 tahun. GJP bertugas dan berwenang melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah, pemprov, dan pemkab/kota yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan khusus dan perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua; memantau serta mengevaluasi pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik; memberikan arahan dan masukan kepada pemerintah, pemprov, dan pemkab/kota tentang pembuatan Perdasus/Perdasi; pemanfaatan SDA. Kemudian, memfasilitasi penyelesaian sengketa hukum antarprovinsi dan antarkelompok masyarakat yang bersifat masif dan berdampak serius terhadap kamtibmas.; memfasilitasi penyelesaian masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan di antara pemerintah dengan pemprov dan pemkab/kota. Untuk bisa menjalankan seluruh kewenangan, GJP memiliki hak meminta keterangan ke semua pihak, melakukan rapat koordinasi berkala, menyusun program kerja dan anggaran tahunan, melakukan monitoring dan supervisi, serta mendapatkan hak protokoler dan keuangan. Jika kita simak secara seksama, tugas dan kewenangan GJP dalam draf RUU itu tampak tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas dan wewenang gubernur sebagaimana diatur dalam UU Otsus saat ini. Lantas, untuk apa? Jika pun GJP ini dibentuk, ia hanya akan kian merumitkan penyelenggaraan pemerintahan di Papua, karena pemerintahan di seluruh Papua akan berjalan dengan empat kaki, yaitu GJP, gubernur, DPRP, dan MRP. Rumit karena muasal legitimasi setiap badan berbeda-beda. GJP yang ditunjuk oleh presiden akan berhadapan dengan DPRP yang merupakan representasi partai politik, serta MRP yang merupakan representasi kultural. Maka, tidak akan mudah mengambil kata sepakat. Atau GJP yang dibayangkan Gubernur Enembe itu adalah seorang pejabat senior yang menjadi titik tumpu bagi Papua untuk bernegosiasi dengan Jakarta dalam kerangka memperkuat otonomi khusus. Artinya, GJP bisa menjadi benteng bagi Papua dari intervensi pusat yang berlebihan. Dengan demikian, tangan Jakarta berhenti di GJP. Sedangkan ke dalam, GJP adalah representasi utama Papua dan sekaligus pengikat Papua secara keseluruhan. Jika konstruksi politik GJP seperti itu, Enembe perlu melangkah lebih jauh, yaitu bupati dan wali kota di Papua cukup berkoordinasi dengan gubernur dan tidak perlu lagi ke Jakarta. Adapun para gubernurlah yang berurusan dengan GJP. Dengan kata lain, para gubernur se-Papua tidak lagi menjadi wakil pusat di daerah. Jika demikian, Gubernur Enembe bisa dikatakan jenius dalam menempatkan titik tawar dengan Jakarta, karena gubernur sebelumnya tidak pernah berani sejauh itu. Itulah esensi Otonomi Khusus Papua sebagai asimetri otonomi. Dengan posisi seperti itu, ada dua pesan tersirat dari permintaan GJP ini. Pertama, MRP, yang selama ini hendak dijadikan simbol representasi pemersatu Papua, tidak memadai. Kedua, gubernur sebagai wakil pusat di Papua kurang diberi tempat yang layak oleh presiden dan para kementerian, sehingga dibutuhkan GJP untuk jembatan berkoordinasi dan berkomunikasi. Jika memang seperti itu, penunjukan GJP semestinya hak prerogatif presiden sebagai kepala negara. Tantangan terberatnya adalah, elite-elite Papua harus bisa menyakinkan orang-orang di luar Papua bahwa kehadiran GJP bukan untuk membuat jarum sejarah berputar ke belakang. Sekaligus bukan pula sebagai ancaman. Ke dalam Papua, GJP harus menjadi pemersatu, bukan lagi tempat bertengkar baru. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar