Ketahanan Energi dan Pilpres 2014 Maydin Sipayung ; Managing Director PT Coalindo Energy (PMA) |
KOMPAS, 17 April 2014
KETAHANAN energi berarti terjaminnya ketersediaan energi bagi masyarakat (Dewan Energi Nasional, Februari 2014). Peran ketahanan energi sangat vital sebagai penggerak urat nadi perekonomian, menjamin beroperasinya mesin-mesin industri yang menghasilkan barang dan jasa, penerangan untuk kantor pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Ketahanan energi erat terkait dengan cadangan sumber daya. Saat ini, sumber kebutuhan energi kita yang tecermin dalam energi mix nasional yang masih bertumpu pada energi fosil 94,6 persen (ESDM, 2010), yaitu minyak 46,93 persen, gas bumi 21,29 persen, dan batubara 26,38 persen. Jika lifting minyak 850.000 barrel per hari, maka umur cadangan tinggal 10 tahun. Perkiraan 10 tahun adalah waktu yang cukup singkat, walaupun pada saat bersamaan kegiatan eksplorasi ditingkatkan tetapi hasilnya baru diketahui lima tahun kemudian. Posisi gas dengan tingkat produksi 76,25 bcm per tahun, maka umur cadangan hanya 40 tahun. Adapun batubara jika rencana kuota produksi dibatasi pada 400 juta ton per tahun, maka umur cadangan masih 70 tahun. Berkaitan peran batubara ke depan, rencana pemerintah menerapkan kuota produksi menjadi dilema terutama untuk pembangkit tenaga listrik. Sebagaimana kita pahami, listrik memerlukan bahan bakar murah salah satunya batubara. Dari sisi pengusaha, karena menyangkut modal besar dan pengembalian investasi, mereka berharap memperoleh return secepatnya dengan meningkatkan produksi. Idealnya, Indonesia tidak lagi meningkatkan produksi energi fosil, tetapi harus mempertahankan tingkat produksi saat ini untuk memperpanjang umur cadangan. Jika masih tetap meningkatkan lifting minyak, produksi gas dan batubara, maka kondisi ketahanan energi Indonesia semakin mengkhawatirkan. Pilpres 2014 Proyeksi komposisi energi mix nasional hingga 2025 menurun menjadi 83 persen energi fosil, berasal dari batubara 33 persen, gas 30 persen, dan minyak 20 persen, serta sisanya 17 persen, diharapkan dari energi baru dan terbarukan. Khusus pengembangan energi baru dan terbarukan (biofuel, panas bumi, energi baru dan terbarukan lainnya, dan batubara yang dicairkan) masih mengalami kendala terkait pembangunan infrastruktur yang memerlukan investasi besar. Maka, pilihan strategis bagi Indonesia baik untuk jangka pendek maupun menengah adalah memberdayakan dana subsidi energi (bahan bakar minyak dan listrik). Jika tahun 2013 dana subsidi menghabiskan Rp 274,7 triliun dan 2014 diproyeksikan Rp 328,7 triliun, maka Rp 300 triliun adalah perkiraan dana subsidi saat ini. Setelah pemilu legislatif, kita akan menyelenggarakan pemilu presiden (pilpres) dan wakilnya, 9 Juli 2014. Sebagaimana pilpres sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menyelenggarakan debat para calon presiden dan wakil presiden. Pada kesempatan ini saya mengusulkan agar KPU merancang satu sesi khusus debat para kandidat yang dipimpin panel ahli dengan topik ”Program Menghapus Subsidi Energi Dalam Lima Tahun ke Depan”. Terhadap pasangan pilpres terpilih, program tersebut harus menjadi program nyata dan bukan hanya wacana. Misalkan pengurangan subsidi energi dilakukan secara gradual mulai 20 persen tahun pertama meningkat menjadi 40 persen pada tahun kedua, lalu 60 persen di tahun ketiga, maka pada akhir jabatan presiden periode pertama, subsidi energi berhasil ditiadakan. Dalam melaksanakan program pengurangan subsidi energi harus berpegang pada dua (hal) pokok, yaitu (i) subsidi harga terhadap minyak harus berkurang bertahap hingga menjadi tidak ada; (ii) kompensasi langsung terhadap rakyat miskin tetap diutamakan. Jika program ini berhasil, Indonesia akan mengalami lompatan besar menyediakan anggaran yang kompetitif. Dengan anggaran tersebut, pemerintah dapat mengintensifkan eksplorasi untuk menemukan sumur-sumur minyak baru, meningkatkan cadangan gas dan batubara, serta pengembangan energi baru dan terbarukan khususnya geotermal. Hemat anggaran Dengan melaksanakan program pengurangan subsidi, negara akan menghemat anggaran Rp 900 triliun dan hanya menanggung subsidi Rp 600 triliun selama periode 2014-2019. Namun, apabila program pengurangan subsidi energi tidak dilakukan, negara harus menyiapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 1.500 triliun selama periode yang sama. Bayangkan kalau dana sebesar ini digunakan untuk menunjang pembangunan berbagai infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, dan peningkatan layanan kesehatan masyarakat. Penolakan DPR pasti akan kencang terhadap opsi ini. Namun, suka tidak suka jika subsidi energi masih ditanggung oleh negara, maka kita hanya menunggu bom waktu, yang sewaktu-waktu siap meledak dan mengancam perekonomian di berbagai bidang. Oleh karena itu kita berharap presiden yang terpilih nanti tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga negarawan sejati yang nyalinya tidak surut menghadapi berbagai tantangan dan kritikan demi kemajuan bangsa dan rakyatnya. Presiden terpilih harus mampu meyakinkan masyarakat, parlemen, dan mendorong kabinetnya memberikan yang terbaik untuk melayani masyarakat. Negarawan Inggris, Arnold J Toynbee, pada abad ke-19 terkenal dengan pemikirannya, challenge and response, yang maknanya kurang lebih sebesar tantangan yang kita hadapi, sebesar itulah usaha untuk maju. Itulah yang kita perlukan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar