Asa Kemandirian Ekonomi Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang |
SUARA MERDEKA, 19 April 2014
PEMILU Legislatif 2014 telah dilaksanakan dan kita menunggu Pilpres pada 9 Juli 2014. Aneka bumbu kampanye yang umumnya terjadi secara kumulatif akan mengganggu pencapaian tujuan asasi mendirikan NKRI. Kutub tujuan mulia itu adalah ketercapaian masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Belajar dari sejarah perjalanan negara kita, menurut Sutherland sebenarnya tidak jauh berbeda dari perjalanan zaman kerajaan dulu. Kalau sekarang yang banyak menentukan adalah para petinggi negara maka maju tidaknya pada masa lalu sangat bergantung pada peran raja. Sekarang ini penyakit paling parah negara kita adalah tak adanya kemandirian bangsa-negara, termasuk kemandirian ekonomi. Data makro pertumbuhan ekonomi terkesan tinggi tapi ketimpangan distribusi pendapatan membesar. Keadaan ini menggambarkan yang menikmati kue pertumbuhan ekonomi kurang banyak dan belum merata, dan bahkan bisa jadi malah pihak asing. Aviliani (30/3/14) menyatakan meskipun pasar uang Indonesia sekarang ini menggeliat kencang di bawah China, dengan IHSG peringkat kedua di dunia, bubble economy punya peluang bisa kembali terjadi. Kenyataan ini disebabkan sektor unggulan Indonesia banyak dikuasai asing, termasuk perbankan, sehingga ada gangguan sedikit saja perekonomian akan mudah pecah, seperti terjadi tahun 1998. Di tengah keganjilan dan kontroversi perekonomian ekonomi, masih terbuka peluang untuk mengembangkan diri. Meski perekonomian sudah mengarah ke penguatan pasar saham, sekitar 80% perekonomian masih berorientasi pada sektor riil. Keadaan ini jauh berbeda dari perekonomian negara maju yang dikuasai transaksi derivatif. Sebuah data mencengangkan menyebutkan volume transaksi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil 6 triliun dolar AS tiap tahun. Bayangkan dengan 4 hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun (Nurul Huda, et al, 2013). Kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia sudah tidak diragukan lagi ketenarannya bahkan pada tataran mondial sehingga pihak lain akan melakukan berbagai upaya untuk menguasainya. Cara kasar dan halus bisa saja dilakukan asal tujuannya terlaksana. John Perkins menyatakan cara untuk menguasai SDA Indonesia dilakukan melalui utang luar negeri, yang utangnya dikorupsi oleh para pejabat tetapi terus dibiarkan sampai kita semua terperangkap. Sangat Rendah Keadaan ini tentunya memungkinkan Freeport bisa leluasa mengeruk kekayaan dari bumi Nusantara, untuk kemudian dikapalkan dan diolah di AS. Penguasaan SDA lainnya oleh pihak asing dengan tingkat keganjilan yang muncul, pada masa pemerintahan baru nanti harus bisa diselesaikan dengan baik. Artinya pada masa mendatang keuntungan terbesar harus ada di tangan Indonesia sebagai pemilik sah sumber daya alam. Kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam, seperti kontrak gas yang merugikan Indonesia harus dinegosiasi ulang dengan keuntungan berimbang. Keunggulan lainnya sebenarnya ada pada sektor agroindustri dan UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja, tapi kurang perhatian dari pihak pemerintah. Sebagian besar dari penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 230 juta, berada di sektor tersebut tapi selama ini mereka jadi sasaran empuk pihak asing. Indonesia mengekspor barang-barang dalam wujud bahan mentah tapi mengimpor barang serupa dalam wujud setengah jadi. Daya saing ekonomi Indonesia umumnya sangat rendah, dan hal ini menunjukkan tidak adanya kemandirian ekonomi. Bagaimana mungkin dalam statistika produksi dunia Singapura menduduki peringkat atas produksi rempah-rempah, sementara mereka tak punya lahan penanaman. Itu artinya rempah-rempah yang diekspor dari Indonesia dalam wujud barang mentah, kemudian mereka olah dan diberi label buatan Singapura. Indonesia dikarunia berlimpah kekayaan alam dan menduduki peringkat atas mondial tapi justru pihak asing yang menikmati. Ke depan para pemimpin Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus punya keberpihakan kuat dan nyata pada sektor agroindustri dan UMKM. Mereka harus membenahi ekonomi domestik dan kerakyatan. Sektor pangan yang selama ini menjadi sasaran empuk pihak asing, seperti kemunculan aneka kartel, harus diatasi. Jangan sampai muncul keanehan ketika surplus beras tapi kita justru impor dan ternyata beras impor itu bisa membahayakan kesehatan. Kasus kedelai juga demikian, padahal kedelai dari Grobogan sudah diakui berkualitas terbaik tapi kita masih impor kedelai produk transgenik. Sudah waktunya para pemimpin mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin, sehingga sifat amanah ada padanya. Negara lain yang memakai sistem ekonomi pasar bebas atau campuran, sangat bertumpu kepada ketaatan peraturan. Termasuk menerapkan hukuman berat kepada pelaku kejahatan, terutama koruptor. Hukuman maksimal 20 tahun untuk koruptor harus diubah menjadi hukuman maksimal atau hukuman mati. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar